1. Salsabila Asyanti adalah sosok perempuan yang begitu mengagumi Elga. Ia bahagia karena diberi kesempatan untuk menjalani masa pelatihan kerja selama 3 hari di PT Altar Coal, perusahaan milik Elga. Namun, kesempatan itu gugur karena ia melakukan kesalahan. Kesalahan yang diperbuat membuat Salsa melihat sifat asli Elga yang menyebalkan. Ia jadi membenci pria itu. Sampai akhirnya Elga datang ke restoran yang dikelola oleh Kekasih Salsa yang bernama Andri, dan gadis itu langsung mengusirnya. Hal itu membuat Elga marah sampai ia mengguncang bisnis restoran Kekasih Salsa itu. Andri murka. Ia memutuskan hubungannya dengan Salsa meski mereka telah bertunangan. Akibatnya, Salsa depresi. Ia mabuk-mabukkan dan mendatangi tempat Elga guna memaki pria itu. Elga yang sedang kalap dengan masalah peralihan tatha perusahaan pun melampiaskan emosinya pada Salsa. Elga melecehkan Salsa dengan harapan gadis itu dapat memberinya keturunan laki-laki agar Elga bisa dinobatkan sebagai penerus perusahaan. Dan benar, Salsa dinyatakan hamil. Namun akankah Salsa menerima kehamilan itu dan bersedia menikah dengan Elga? Apakah Elga bisa mendapatkan perusahaan karena ia berhasil menghamili Salsa?
Di ruang kerja yang bernuansa elegan, Elga menatap sekretarisnya dengan tajam. Ia kesal pada wanita berusia tiga puluhan itu.
"Kamu sedang bercanda?" Suara berat Elga akhirnya terdengar setelah beberapa menit diam. Netranya melirik surat pengunduran diri yang diajukan oleh Rara, sekretaris pribadinya.
"Tidak, Pak. Saya serius dengan niat saya untuk mengundurkan diri. Saya telah lama mengabdi di perusahaan ini, dan sekarang saya ingin mengistirahatkan diri."
Rara ingin menikah dengan pria yang dicintainya. Ia pikir kekasihnya sudah terlalu lama menunggunya. Jadi, Rara memutuskan untuk mengundurkan diri demi kekasihnya.
Sebenarnya Rara bisa menikah dan tetap bekerja dengan Elga. Namun setelah dipikirkan, ia tidak akan memiliki waktu untuk suaminya jika tetap bekerja di perusahaan ini. Karena ia harus melayani Elga baik di dalam maupun di luar perusahaan. Rumah tangganya pasti akan terguncang karena Rara tidak bisa merawatnya dengan baik.
Helaan nafas Elga terdengar sampai di telinga Rara. "Baiklah jika itu keputusanmu. Saya akan menandatangani surat ini setelah kamu membawa penggantimu dan mengajarinya segala pekerjaan yang kamu lakoni selama ini. Latih dia sampai terampil, baru setelahnya kamu bisa meninggalkan perusahaan ini!"
"Tapi dalam peraturan perusahaan, saya hanya perlu melatihnya selama satu bulan--"
"Kamu ingat dengan semua kesalahan yang kamu lakukan karena masa pelatihanmu hanya satu bulan dulu?" cecar Elga tidak mau Rara membantah perkataannya.
Rara tentu ingat dengan kenangan memalukan itu. Dimana ia melakukan banyak kesalahan karena orang yang ia gantikan tidak mengajarinya dengan baik. Berulang kali Rara salah mengatur jadwal kerja Elga. Hal itu membuat Elga hampir saja memecatnya.
"Pengunduran dirimu bergantung pada penggantimu nanti. Ingat hal itu!" tegas Elga.
Meski Rara sudah lama bekerja dengannya, Elga tetap memperlakukannya dengan sangat tegas. Karena jika ia tidak tegas, Rara pasti akan menganggap enteng seluruh masalah dalam pekerjaannya karena mengira Elga mudah untuk dibujuk. Elga tidak mau memiliki sekretaris yang tidak kompeten.
"Baik, Pak," balas Rara pasrah. Matanya terpejam selama beberapa sekon guna mengontrol pikirannya. "Ah ya, saya ingin mengingatkan jika Pak Bima menyuruh Anda pulang sore ini untuk melihat anaknya Pak Fabian."
Elga mengangguk. Tangannya bergerak menyuruh Rara keluar dari ruang kerjanya. Elga perlu memulihkan konsentrasinya agar bisa melanjutkan pekerjaannya. Karena pengunduran diri Rara membuat kepalanya pening seketika.
Wanita itu sudah pandai melakoni semua pekerjaannya. Jadi, Elga merasa tidak rela jika harus menerima pengunduran diri wanita itu. Namun, karena Elga tidak mungkin menahan Rara di sini, Elga akan menandatangani surat pengunduran diri itu jika Rara sudah melatih penggantinya agar bekerja dengan baik. Karena Elga tidak suka bekerja dengan orang yang datang ke perusahaannya hanya untuk uang dan tidak berkontribusi dalam memajukan perusahaan.
Saat jam menunjuk pukul 3 sore, Elga menutup laptopnya. Sesuai dengan apa yang diingatkan oleh Rara, Elga akan pulang ke rumah ayahnya untuk melihat anak Fabian, adiknya.
Mini cooper yang Elga kendarai berhenti di halaman luas kediaman Bima Sandiaga. Tanpa menunggu waktu lagi, ia langsung masuk ke rumah mewah--bisa dibilang mansion-- yang sudah ramai didatangi oleh keluarga besar mereka.
Mereka pasti sengaja datang dari jauh untuk melihat cucu pertama keluarga Sandiaga itu.
"Elga!" seru Fabian. Pria itu tersenyum lebar melihat kedatangan kakaknya. "Lihatlah! Anakku sudah lahir!" lanjutnya gembira sembari menarik Elga untuk melihat bayi mungil yang berada di ranjang bayi.
"Banyak yang bilang dia mirip denganku. Kamu setuju dengan hal itu?" tanya Fabian percaya diri.
Elga menatap bayi itu tanpa minat, kemudian netranya beralih pada wajah Fabian. "Tentu saja. Dia anakmu," katanya singkat.
"Kamu tidak ingin memiliki bayi sepertinya, Elga?" tanya James, pamannya dari sang ibu. Pertanyaan itu berhasil mengundang perhatian seluruh keluarganya.
Gelengan kepala Elga membuat semua yang di sana terdiam. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Elga tidak memiliki keinginan untuk menikah. Namun, tidak ada yang tau kenapa Elga tidak ingin memulai hidup baru dengan orang yang dicintainya. Padahal usia Elga sudah hampir mencapai angka 35.
"Ck! Padahal aku ingin keponakan dari Kak Elga!" celetuk Putri, salah satu adik dari ibunya. Mereka yang di sana memang didominasi oleh keluarga dari Tiara Atmadjaya, istri dari Bima Sandiaga. Itu disebabkan karena dalam keluarga Sandiaga, mereka hanya memiliki satu atau dua keturunan. Jadi, Keluarga Sandiaga lebih sedikit jumlahnya.
"Karena Fabian memiliki anak laki-laki, aku rasa dia sudah pantas menjadi pewaris dari perusahaanmu, Bima."
Refleks, Elga menoleh pada pria yang usianya lebih tua dari Bima. Fabian menjadi pewaris perusahaan? Apa ia tidak salah dengar? Selama ini dirinya yang mengelola perusahaan dengan baik. Jadi seharusnya Altair, kakak Bima, menunjuknya sebagai pewaris perusahaan. Bukan Fabian!
"Ah, Fabian masih terlalu muda untuk menjadi pewaris," kekeh Fabian. Meski berkata begitu, semua orang bisa melihat rona bahagia yang terpancar di wajahnya karena ditunjuk sebagai pewaris perusahaan.
"Tapi kamu sudah memiliki bibit unggul, Fabian. Anakmu itu bisa menjadi penerusmu nanti," timpal Romzi. Pria itu menepuk bahu Fabian untuk meyakinkan keponakannya itu. "Om setuju kalau kamu memimpin perusahaan."
Sekali lagi Fabian hanya tertawa. Netranya lalu melirik pada Elga yang entah sedang menatap apa. Pandangan pria itu terlihat kosong meski netranya terarah pada kedua tangannya yang mengepal erat.
"Untuk saat ini biarkan saja perusahaan dikelola oleh Elga. Dia mengurusnya dengan baik," ucapnya bangga sembari menyenggol lengan Elga. "Benarkan?"
Elga tidak menjawabnya. Ia cukup tersinggung dengan perkataan Fabian tadi. Bukankah Fabian sama saja menyuruhnya menjaga perusahaan dengan baik agar semuanya baik-baik saja saat pria itu menjadi pemiliknya? Cih, Elga yang bekerja keras kenapa Fabian yang harus mendapatkannya?!
"Aku harus membersihkan tubuhku," kata Elga. Ia harus pergi dari sana sebelum emosinya meledak karena pembahasan itu.
Bima yang sejak tadi memperhatikan Elga jelas tau apa yang dipikirkan oleh anak sulungnya itu. Tanpa menimbulkan kecurigaan, ia mengikuti Elga. Beruntung karena ia datang tepat sebelum Elga menutup pintu kamarnya. Jadi, pria itu bisa mendengar panggilannya.
"Kamu cemburu pada Fabian?" tanya Bima. Tanpa izin, ia masuk ke dalam kamar Elga dan mengunci pintunya dari dalam sana. Membuat obrolan mereka tidak bisa didengar oleh siapapun.
"Mereka tau Elga yang mengurus perusahaan selama ini. Tapi kenapa mereka menunjuk Fabian untuk menjadi pemiliknya, Ayah?"
Suara Elga begitu rendah. Hal itu membuktikan bahwa Elga sedang berusaha meredam emosinya. Ia tidak ingin kemarahannya sampai menyakiti Bima.
"Kamu tau, sudah menjadi aturan dalam keluarga kita bahwa seorang pewaris harus memiliki keturunan yang bisa melanjutkan perusahaan kita di masa depan. Dan, Fabian memilikinya, Elga," kata Bima menjelaskan.
"Hanya karena itu lalu Fabian bisa mendapatkan perusahaan padahal selama ini dia tidak pernah sekalipun mengurusnya? Jadi, kerja kerasku selama ini tidak ada artinya, Ayah?"
Kedua buku tangan Elga mengeras. Sampai semua otot tangannya menonjol jelas. Bima tau bahwa Elga sangat marah saat ini.
"Jika kamu tidak ingin perusahaan menjadi milik Fabian, maka menikahlah dan hasilkan keturunan--"
"Ayah tau jika aku tidak ingin menikah!" sela Elga. Netranya memerah karena Bima tidak bisa memahaminya. Kadar kemarahannya semakin bertambah.
"Itu artinya, selamanya kamu tidak bisa mendapatkan hasil kerja keras kamu selama ini, Elga. Kamu menyerah tanpa mau berjuang sedikitpun."
"Ayah!" geram Elga.
"What? Ayah tidak bisa melakukan apapun untukmu, Elga. Kamu sudah dewasa. Jadi tentukan pilihanmu sendiri."
Sepeninggalnya Bima dari kamar, Elga berseru keras sembari melempar nampan berisi susunan gelas sloki ke sembarang arah. Membuat kamarnya menjadi berantakan dengan pecahan kaca.
"Brengsek!" serunya menggema. Ia beruntung karena kamarnya kedap suara. Jadi dirinya bisa berteriak sesukanya guna melampiaskan kekesalannya.
Peraturan turun temurun itu sangat tidak masuk akal menurut Elga. Bagaimana bisa para orang tua menyerahkan perusahaan pada mereka yang memiliki keturunan laki-laki? Apa mereka tidak bisa menilai mana yang jauh lebih berpotensi dalam mengurus perusahaan?
Fabian tidak pernah turun tangan dalam mengatasi masalah yang terjadi dalam perusahaannya. Pria itu tidak pantas untuk memiliki perusahaan yang selama ini Elga jaga dengan baik!