Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perfect Soulmate

Perfect Soulmate

Swan Lake

5.0
Komentar
2
Penayangan
10
Bab

Sudah lima tahun Rose dan Jayden tidak bertemu. Sepasang kekasih itu melakukan hubungan jarak jauh- Korea-Amerika. Rose berusaha untuk tidak canggung saat bertemu dengan Jayden. Jayden pun demikian. Dengan semua hal yang terjadi pada Rose tanpa Jayden ketahui di Korea, dan begitu pula sebaliknya, yang terjadi pada Jayden sendiri di Amerika, apakah keduanya mampu tetap untuk menjalani hubungan cinta? Terlebih datang nya seorang perempuan bernama, Chaeyon, si pengganggu yang telah pergi namun datang kembali untuk mengungkit masa lalu dan merobohkan masa depan di hadapan Jayden dan Rose. Apa rasa cinta yang mekar tanpa pupuk bisa bertahan di tengah gelombang ujian yang menghantam hubungan yang baru saja dimulai?

Bab 1 Masih Sama dan Berbeda

Senyum manis dan lebar terpatri di wajah Rose. Menjadikan Rose semakin terlihat cantik.

"Kau sangat bersemangat untuk hari in!" ujar Mama Rose dengan nada menggoda sang putri. Namanya Clara.

Meski tinggal di Korea, Rose memanggil namanya dengan sebutan 'Mom', tidak Eoma, karena sebelumnya Rose tinggal di Australia.

"Bersemangat, tapi Rose gugup." Clara mendekati Rose, kemudian memperhatikannya melalui cermin.

"Tidak perlu gugup. Kau sudah cantik, Jay pasti akan memuji mu."

"Bukan masalah itu Mom. Rose malu, di saat Jay dengan kejeniusan nya sudah lulus S2 di Amerika, Rose belum menyelesaikan kuliah di sini. Dimana Rose harus menaruh muka?!" Clara tertawa mendengar pernyataan itu.

Rose berbalik dengan raut wajah tidak sedap karena sedikit kesal dengan sang mama.

"Mom.... Jangan membuat Rose semakin insecure. Apalagi jika Jay tahu bahwa Rose tidak mengambil jurusan akuntansi, dan malah masuk jurusan musik." Rose semakin frustasi, hampir saja ia mengacak-ngacak rambutnya. Tapi rambutnya di sanggul, membuat dirinya tidak jadi melakukan hal tersebut.

Clara mengelus lembut kepala Rose. Sesekali ia membenarkan tatanan rambut sang putri yang sebenarnya sudah rapi.

"Tidak akan, tidak mungkin. Jay bukan tipe laki-laki yang seperti itu, bukan?!" Clara berusaha untuk menghibur Rose.

Rose berdecak. "Mom tidak tahu. Sebelum Jay pergi ke Amerika. Dia bilang bahwa aku harus jadi lulusan terbaik, dengan nilai cumlaude. Jay meninggalkan beban yang berat."

Clara membayangkan sosok Jayden yang berucap demikian pada putrinya.

"Dia ingin kau menjadi perempuan rajin dan bersungguh-sungguh. Kau tahu bahwa Jay seperti itu, bahkan di usia yang sangat muda dia bisa membantu perusahaan ayah nya."

"Iya. Sebelum bertemu dengan ku, Jay adalah alien yang tidak tahu dunia luar."

"Dasar kau ini." Clara menepuk pundak Rose, gemas.

"Cepat ke bawah, tidak baik membuat Nyonya Jeon menunggu lama."

"Oh iya. Aku hampir lupa dengan kehadiran Eoma."

Ya, Rose sudah memanggil Mama Jay dengan sebutan Eoma.

Rose bangkit dari kursi rias nya, menghadap pada Clara dan menciumnya singkat sebelum ngacir keluar.

"Kau ini, selalu begitu, seperti anak kecil." Clara menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum faham.

***

"Kau sangat cantik hari ini, Rose."

"Terimakasih Eoma. Rose harus benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan putra Eoma."

Rose tidak canggung bicara dengan Nyonya Jeon, Nara. Nara tertawa kecil.

"Terimakasih telah melakukan nya. Eoma jadi tidak khawatir menitipkan pemuda Eoma pada mu."

"Terimakasih kembali, Eoma."

"Papa Jeon tidak ikut Eoma?! Apa akan menyusul juga, seperti Mom." tanya Rose.

Berbeda halnya kepada Nara, meskipun sudah kenal lama, Rose masih merasa canggung jika dengan ayah Jayden. Jadi Rose memanggilnya tanpa menghilangkan marga.

Nara menggeleng. "Dia harus terbang ke Tokyo hari ini, berbenturan dengan jadwal kepulangan Jay. Cabang JJ di sana mengalami masalah," jawab nya, sekalian berbagi cerita.

"Sayang sekali Eoma. Semoga masalah nya cepat terselesaikan."

Rose seperti biasa adalah perempuan yang bertutur baik dan positif. Jika pun ingin bertanya dan memberikan pendapat, Rose merasa tidak berhak dan bukan bagian dari itu.

"Sebentar lagi sampai." Nara melirik sejenak jendela kaca mobil.

Jantung Rose berdebar-debar. Lima tahun tidak bertemu Jayden membuat dirinya merasa gugup. Apalagi hubungan jarak jauh mereka tidak berjalan dengan baik, karena laki-laki itu super sibuk dan Rose pun begitu.

Terakhir kali keduanya menghubungi via video call adalah lima bulan lalu, seterusnya mereka saling menghubungi satu sama lain lewat email.

Rose mengeluarkan kaki jenjangnya yang terbalut sepatu sport putih dari mobil mewah milik keluarga Jeon. Begitu pula dengan Nara. Setelah keduanya keluar, seorang pengawal menutup pintu mobil itu kembali.

Rose dan Nara melangkah menuju le ruang tunggu VIP bandara. Belum sampai ke sana, salah satu dari dua orang pengawal memanggil nama Nara dengan sebutan Nyonya Besar.

"Ada apa?!"

"Tuan Muda rupanya sudah menunggu di pintu keluar, beliau akan naik taksi jika kita tidak kesana dalam waktu lima belas menit."

Nara menghela nafas, melirik Rose yang menganggukkan kepala kepadanya.

"Maaf Rose."

"Kenapa harus minta maaf Eoma?! Mari kita ke sana. Jay Eoma sudah menunggu."

Rose selalu seperti itu. Perkataannya sungguh manis.

***

Jeon Jayden, laki-laki berkaus hitam oversize yang tengah menunggu jemputan dari sang bunda.

Jayden melepaskan topi hitam nya sekelebat, merasa sedikit kesal. Ia lelah dan ingin segera beristirahat.

Tak lama seorang wanita paruh baya yang perawakan tubuh nya sangat Jayden kenali berjalan ke arahnya.

Sambil tersenyum tipis, Jayden mengambil langkah lebar dan memeluk perempuan yang telah melahirkan nya itu.

"How are you, my love?!"

"Aku baik," jawab Jayden yang memang pelit untuk bicara banyak, kecuali jika menasehati.

"Kata mama Rose datang." Pelukan perlahan dilepas oleh Jayden.

"Dia ingin ke toilet."

"Hah, sempat-sempatnya dia ingin pergi ke toilet saat menjemput ku."

"Rose manusia sayang, bukan robot."

"Dia pernah memanggil ku alien. Jadi itu tidak masalah." Nara tertawa kecil mendengar penuturan sang putra.

"Paling parah dia pernah mengatai ku manusia purba, padahal jelas-jelas aku pintar teknologi," lanjut Jayden kesal.

"Iya, si paling pintar teknologi," ujar Nara dengan nada mencibir. Tapi itu hanya bercanda. Anak laki-laki nya memang cukup pintar dalam menyombongkan diri.

Jujur, Jayden merindukan perempuan itu. Bagaimana Rose sekarang, dia potong rambut atau ganti warna rambut? Rose memang memiliki hobi mewarnai rambut. Tapi semua itu tidak lah begitu penting.

Rose akan menjadi tetap Rose, si gadis baik, ceria, rendah hati dan taat beribadah.

"Sudah lima tahun," batinnya.

***

Di kamar mandi Rose mengubah tatanan rambut nya, yang semula di gelung rapi menjadi terurai kembali.

"Akan sangat berlebihan jika di gulung, dan formal. Enaknya di kuncir atau seperti ini saja?!" tanya Rose pada diri sendiri sambil melihat cermin.

"Seperti ini saja, sepertinya," gumam Rose kemudian menyelipkan rambutnya ke telinga kiri.

"Lumayan. Rapi, cantik, menawan dan tidak berlebihan."

Clara saja yang agak berlebihan sehingga Rose harus di gelung seperti hendak ke pesta. Tapi sebenarnya tampilan Rose sebelumnya pun tidak begitu buruk untuk perempuan yang hanya sekedar menjemput orang terkasih di bandara.

Tapi, Rose berpikir tampilan itu takutnya malah membuat canggung. Rose ingin terlihat kalem dan tenang.

Rose melangkah menuju tempat dimana Jayden berada sekarang setelah keluar dari kamar mandi.

Kaki jenjang Rose terhenti saat seorang laki-laki berpakaian serba hitam menatapnya.

Jantung Rose yang sebelumnya memang berdetak tidak karuan, semakin tidak karuan.

"Jeon Jayden. Apakah benar itu kau?! Kau sedikit urakan sekarang," batin Rose. Ia melihat laki-laki itu mengenakan tindik di sudut bibirnya.

Rose dan Jay paling menatap pada jarak yang cukup jauh. Satu detik kemudian mereka sama-sama mengulas senyum, senyum tipis bercampur canggung.

Jayden lebih dulu melangkah mendekat dan memeluk Rose. Pelukan yang tidak didapatkan selama lima tahun, cukup membuat dirinya canggung.

Rose semakin melebarkan senyuman ketika merapatkan tubuhnya pada dada bidang Jayden.

"Detak jantung nya masih sama, seperti ini," batin Rose yakin bahwa perasaan Jayden tidak berkurang selama kepergian nya di Amerika.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku