Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Soulmate From My Heart (Series 2)

My Soulmate From My Heart (Series 2)

Soffia

5.0
Komentar
1.3K
Penayangan
10
Bab

Dijodohkan oleh mamanya dengan Cheryl, membuat Arland menentang keras semua itu. Ia tak ingin jika dirinya menikah tanpa rasa cinta. Apalagi dengan Cheryl yang sudah dianggap seperti adik sendiri. Kiran, tiba-tiba gadis itu memasuki kehidupannya. Niat awal pura pura menjadi sepasang kekasih untuk menggagalkan niat mamanya, kini justru dirinya malah diserang karma. Yap, cintanya yang sebenarnya benar-benar muncul untuk Kiran. Saat apa yang diharapkan terjadi, justru masalah kembali muncul. Hubungan keduanya justru tak mendapat restu dari mama Arland.

Bab 1 Pertama

Kurang apalagi coba. Punya orang tua, punya adik kembar dan ditambah lagi dengan harta berlimpah. Setidaknya ia bisa memiliki yang namanya kebahagiaan dunia. Ya ... itu menurut semua orang yang beranggapan tentang dirinya. Tapi sebenarnya ia tak sebahagia itu. Karena sampai saat ini, masalah hati, ia masih kalah. Meskipun banyak wanita yang berminat untuk menjadi pendampingnya, tetap saja menurutnya belum ada yang cocok.

Arland bisa dibilang fotokopi 100% dari Alvin, papanya. Sikapnya dingin jika sedang serius, meskipun dia selalu serius di setiap waktu.

Seperti hari-hari biasanya. Pekerjaan membuat tak ada ruang untuk meliburkan diri. Lebih tepatnya, sengaja tak libur.

"Pagi," sapanya pada Alvin dan Kim yang saat itu sudah berada di meja makan.

"Kamu mau ke kantor?" tanya Kim melihat penampilan putranya yang sudah rapi dengan setelan kantor.

"Iya, Ma," jawab Arland yang langsung duduk di kursi.

"Berkas-berkas semalam sudah selesai, kan?" Giliran Alvin, papanya yang bertanya.

"Sudah, Pa."

"Hari ini nggak ada jadwal ke Rumah Sakit?"

"Ntar, agak siangan, Ma," jawabnya singkat.

Tipenya adalah satu jawaban untuk satu pertanyaan. Jadi, jangan berharap kalau ia akan menambah penjelasan pada jawabannya.

Baru saja ia akan menikmati roti tawar dengan selai kacang ... bahkan makanan itu sudah ada di depan mulutnya, tiba-tiba terhenti saat mendengar suara kehebohan diiringi langkah kaki berlarian dari lantai atas. Napsu makannya hilang seketika dan menaruh kembali makanan itu di piring.

"Kenapa nggak dimakan?" tanya Kim.

"Tiba-tiba saja aku jadi kenyang," jawabnya sambil bersandar di kursi dengan kedua tangannya berada di saku celananya.

Benar saja feeling-nya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba dua makhluk imut nan menggemaskan datang sambil berlarian. Mereka adalah saudari kembarnya ... Lauren dan Lhinzy.

"Pagi Ma, Pa ... pagi Kakak tersayang," sapa keduanya sambil duduk di kursi masing-masing.

"Kalian berdua meributkan apalagi?" tanya Alvin yang sedang membaca koran.

"Kami tidak ribut ... benar, kan, Zy?" Lauren mengarahkan pandangannya kearah saudarinya yang ada di sebelahnya.

"Iya, tidak ribut. Kami hanya bingung mau memakai jepitan rambut yang mana? Soalnya semuanya bagus," jelas Lauren sambil meneguk susu coklat miliknya hingga habis tak tersisa.

"Dan nggak mungkin juga kalau kami akan memakai semuanya sekaligus. Sungguh-sungguh tidak mungkin," tambah Lhinzy lagi dengan gaya bicaranya yang dibuat se-drama mungkin.

"Ya ... itu semua salah Mama," tunjuk Lauren pada Kim.

Kim memasang wajah heran saat telunjuk itu mengarah lurus padanya. "Loh, kok malah Mama yang disalahin?"

"Kenapa Mama membelikan jepitan itu semua sekaligus? Kan kami bingung mau pake yang mana terlebih dahulu."

Mendengar jawaban dari anak-anaknya, membuat Alvin malah tersenyum. Mempermasalahkan jepitan rambut saja tingkah mereka sudah heboh seperti gagal tender.

"Sudah ... kalian berdua ribut terus, kapan mau berangkatnya ini," lerai Arland menghentikan perdebatan antara adik dan juga mamanya yang kalau dibiarkan akan semakin panjang tak akan ada ujungnya.

"Oke, kita sarapan dulu," balas Lhinzy yang langsung melahap nasi goreng kesukaannya, begitupun dengan Lauren.

"Kenapa Kakak nggak sarapan?" tanya Lauren pada Arland yang sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Kenyang," jawabnya singkat. Tapi tak mengubah fokusnya dari layar ponsel.

"Kan sarapannya belum dimakan, kok bisa kenyang, sih?" tanya Lhinzy menyambung.

"Aku kenyang mendengar omongan kalian berdua," balas Arland.

"Emang omongan bisa dimakan, ya, Kak?" tanya Lhinzy menatap ke arah Arland dengan tampang cengonya.

"Makan omongan bisa kenyang, ya, Kak?" Lauren ikut-ikutan bertanya.

Bukannya mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang barusan ditanyakan, mereka berdua malah mendapatkan tatapan membunuh dari Arland.

"Oke ... nggak usah dijawab, Kak," Lauren kembali melanjutkan makan.

"Nanti Kakak nggak kuat," tambah Lhinzy.

Sebenarnya saat mendengar ocehan kedua putri kembarnya itu, Alvin ingin sekali tertawa. Tapi, ia coba untuk menahan. Takutnya Arland malah kesal.

Punya adik dua sekaligus, dan kecerewetannya bisa dibilang sama persis, itu rasanya sesuatu banget. Apalagi kalau dua-duanya ngoceh sekaligus, itu makin parah. Kalau lagi berdua, mereka akan semakin kuat memberondongi kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang jawabannya bisa di bilang sulit. Berdebat sama mereka berdua, itu bagaikan berdebat sama Kim, mamanya. Karna nggak akan pernah mengalah, meskipun sudah terbukti salah.

Omongan mereka bisa di bilang kayak bikin cerita. Yang satu bicara, yang satu nyambung lagi dan begitu seterusnya. Hingga bisa bikin satu novel.

"Siapa yang nganterin kami berdua ke Sekolah?" tanya keduanya melemparkan pandangan pada Alvin dan Arland secara bergantian setelah selesai sarapan.

"Hari ini kalian berdua berangkat bareng Kakak," jawab Arland.

"Kenapa bukan Papa?" komentar Lauren.

"Soalnya Papa sama Mama mau pergi dulu," jawab Alvin.

"Papa sama Mama jahat, ya ... kalau pergi-pergi kita berdua pasti selalu nggak diajak," celoteh Lauren saat pamit pada kedua orang tuanya.

"Sayang ... Papa bukannya jahat. Masa iya kalian berdua ngikut ke acaranya orang tua."

"Kalau Kakak ada acara, nanti ajak kita berdua, ya?" ujar Lauren tertuju pada Arland.

"Iya ... Kakak kan masih muda, jadi kita boleh kan ikut sama Kakak?"

"Kakak nggak ada acara apapun . Jadi sebaiknya kita semua berangkat. Karna Kakak nggak mau telat ke kantor gara-gara ngedengerin obrolan kalian dulu. Oke."

"Oke," jawab keduanya berbarengan.

"Hati-hati, ya," pesan Kim pada ketiga buah hatinya.

"Iya, Ma."

Jadilah, pagi ini Arland mengantar adik-adiknya dulu ke Sekolah sebelum menuju kantor, di karenakan papanya tak bisa mengantar. Minta supir but nganterin, malah mereka yang nggak mau.

"Belajar yang rajin, ya? Jangan main-main. Buat hari ini, siapa yang dapat nilai 100 Kakak kasih hadiah," ujar Arland saat sampai di depan gerbang Sekolah.

"Beneran, Kak?"

"Iya," jawabnya. "Ya sudah, sana masuk," suruhnya.

"Bye ... Kak," pamit mereka bergantian turun dari mobil.

Setelah mengantar Lauren dan Lhinzy, barulah ia lanjut menuju kantor. Di saat perjalanan menuju ke kantor, karena masih sibuk dengan ponsel di tangannya, tiba-tiba tak sengaja ia malah menabrak sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan.

"Astaga," gumamnya merasa bersalah dengan ketoledorannya yang masih sibuk dengan panel saat menyetir mobil.

Si pemilik mobil yang ia tabrak pun keluar sambil memegangi dahinya.

Seorang gadis, ya ... seorang gadis manislah yang keluar dari mobil itu. Semoga saja ucapan yang akan dia lontar kan padanya juga semanis wajah itu.

Gadis itu menghampiri dan mengetuk kaca mobil milik Arland. Setidaknya dari suara ketukan itu ia sudah paham bagaimana reaksi gadis itu padanya.

Arlandpun segera keluar dari dalam mobil. Ia langsung berdiri berhadap-hadapan dengan si gadis.

"Maaf," ujar Arland singkat.

"Apa, maaf?" Ia terkekeh. "Kamu nggak lihat jidatku jadi korban? Mobilku juga penyok gitu karena kelalaian kamu dalam berkendara. Dan sekarang cuman bilang maaf?"

Ia langsung mengomeli Arland dengan semangat berapi-api.

Ternyata dugaannya salah, wajah manisnya tak sepadan dengan omongannya .

Arland tak membalas Omelan yang diterimanya. Ia masuk ke dalam mobil dan mengambil sesuatu dari sana.

"Saya minta maaf," ucapnya sekali lagi. "Saya tahu kalau salah dan saya akan mempertanggungjawabkan itu semua," jelasnya.

Ia mengeluarkan sebuah kapas dan cairan antiseptik. Sementara si gadis masih bingung dengan apa yang akan dilakukan Arland. Tangannya langsung membersihkan dahi gadis itu dengan kapas barusan dengan lembut dan hati-hati.

Mendapat perlakuan manis seperti itu, cewek mana yang nggak akan luluh hatinya. Ditambah lagi dengan wajah tampannya itu. Luka menganga tak akan berasa sakit.

"Dasar tidak sopan!" Bentak si cewek tiba-tiba menepis tangan Arland yang hendak menempelkan plester.

"Saya sedang bertanggung jawab atas perbuatan saya yang salah," balasnya yang merasa tindakan yang ia lakukan sudah benar.

"Nggak perlu!" Ketusnya langsung pergi meninggalkan Arland begitu saja.

Apalagi yang bisa ia lakukan kalau bukan hanya memandangi kepergian gadis itu.

"Dasar cewek aneh. Awalnya minta pertanggung jawaban dan sekarang malah mengomel nggak jelas," gumamnya kembali masuk ke dalam mobil dan kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda.

Saat ia sampai di kantor, ternyata di sana sudah ada seseorang yang menunggunya. Seseorang yang tak ia harapkan sama sekali.

"Kak Arland!!!" Hebohnya langsung memeluk Arland secara tiba-tiba. Ya siapa lagi yang memiliki sifat agresif dan heboh begitu kalau bukan Ceryl.

"Lepasin aku, Ceryl. Kamu nggak ada sopan-sopannya sama sekali," ketus Arland melepaskan pelukan gadis itu di tubuhnya.

"Ih ... Kakak mah gitu. Aku kan kangen. Kita udah seminggu nggak ketemu. Emang Kakak nggak punya rasa yang sama dengan apa yang kurasakan?"

Ini nih, sifat dan perilaku Ceryl yang sangat tak ia sukai.

"Sayangnya enggak," jawabnya singkat dan meninggalkan gadis itu begitu saja.

"Kak!!!" teriak Ceryl yang tak dihiraukan Arland.

Bayangkan saja, ia dipeluk di depan semua karyawannya ... jelas saja ia kesal. Setelah sekian lama, sifatnya Ceryl memang tak berubah sama sekali. Masih seenaknya melakukan sesuatu, meskipun itu memalukan. Malah bisa dikatakan makin parah.

Begitulah kehidupannya setahun belakangan ini. Di rumah, ada dua orang bocah yang selalu heboh ditambah dengan mamanya. Sedangkan di luar rumah, ada Ceryl yang terus-terusan mengekori kemanapun kakinya melangkah.

Apa dia tidak memiliki pekerjaan yang lebih bermanfaat. Daripada menyia-nyiakan waktu untuk mendapatkan dirinya. Karena ia tidak bisa memberikan hatinya pada gadis itu.

"Kak Arland.'' Tiba-tiba Ceryl langsung saja menyelonong masuk ke dalam ruangan Arland tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Kamu masih di sini?"

"Tentu saja."

"Ada apa lagi? Tak cukupkah setiap hari kamu membuatku malu akan tingkahmu yang bodoh itu?"

"Kakak kok sewot, sih? Aku kan datang kesini mau minta tolong," ujarnya dengan sedikit rengekan dan menempeli Arland yang duduk di kursi.

Ia bahkan tak pernah bersikap baik dan manis pada Ceryl, tapi entah kenapa gadis ini terus saja tak bisa menjauh darinya.

"Minta tolong apa?"

Arland sedikit menjauhkan Ceryl dari badannya. Jujur saja, ia tak suka wanita seperti ini yang seolah tak punya rasa malu.

"Nanti malam temenin ke pesta ulang tahun temenku, ya?"

"Kenapa harus aku yang menemani kamu, cari saja yang lain," tolak Arland.

"Ya jelas harus Kakak lah, kan kita pasangan kekasih," ungkapnya dengan rasa percaya diri yang penuh. Bisa dibilang sedikit akut. Hingga berakibat fatal pada otaknya.

Ia tersentak kaget saat Ceryl mengutarakan itu. "Pasangan kekasih? Sejak kapan kita punya hubungan seperti itu? Rasanya aku nggak pernah menyatakan cinta padamu," komentar Arland tak terima.

"Ya sudah, katakan sekarang saja," pintanya sudah berharap dengan wajah berbinar.

"Apa?"

"Katakan kalau Kakak mencintaiku dan kita akan menikah."

Astaga, apa yang dia katakan. Dia mengulang omongannya dulu lagi. Dulu ia dan Ceryl masih anak anak dan sekarang dirinya tidak akan terjebak dengan perkataan itu lagi .

"Ceryl, kamu ini bicara apa? Nggak mungkin aku nyatain cinta sama kamu. Karna aku nggak punya perasaan itu ke kamu. Itu cuman rasa Sayang layaknya seorang Kakak pada adiknya ... nggak lebih dan nggak akan pernah lebih," jelas Arland dengan nada serius. Tapi, seserius apapun omongannya, yang dihadapinya adalah seorang Ceryl yang tak pernah capek mengganggunya.

"Aku bilang Tante Kim loh," ancamnya.

"Jangan bawa-bawa mamaku. Bersikaplah dewasa, Ceryl. Selama ini aku sudah capek menghadapi mu," ungkap Arland.

"Kakak tidak menyayangiku lagi?"

"Kalau kamu tidak bisa mengubah sikapmu ini, aku tidak bisa menyayangimu lagi," balas Arland.

"Kakak jahat!"

Ia kesal mendengar penjelasan Arland dan berlalu pergi begitu saja dengan gebrakan suara pintu yang sengaja ia hempaskan dengan kuat.

Arland menghembuskan nafasnya berat. "Aku bisa gila dibuatnya. Apa semua wanita memang seperti itu? Mulai dari Nenek, Mama, si kembar, Ceryl dan ditambah lagi cewek tadi,'' gumamnya bicara sendiri. Heran, kenapa malah ada gadis itu yang malah nyelip di pikirannya?

Pada saat ia sedang frustasi akibat ulah para wanita yang ada di sekitar hidupnya, seseorang datang menghampirinya.

"Pagi, Pak Bos," sapanya langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Arland.

"Nah, kebetulan lo datang di saat yang tepat. Gue minta tolong sama lo. Gue pusing," ujarnya pada Tristan sahabatnya, yang kebetulan adalah anak dari rekan bisnis papanya yang bekerja di sini.

"Ada masalah?" tanya Tristan yang melihat raut wajah Arland yang tak bersahabat.

"Itu si Ceryl, makin kesini malah bikin gue tambah pusing tahu, nggak."

Kalau masalahnya adalah Ceryl, Tristan sudah paham kemana arah pembicaraan sobatnya itu. Karena apa? Ini bukan kali pertamanya Arland mengeluh tentang sikap gadis itu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Soffia

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku