Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Second Marriage With The Perfect Husband

Second Marriage With The Perfect Husband

Nifii1

5.0
Komentar
101
Penayangan
8
Bab

Naina Ghifari Alba, seorang wanita muda yang yang diceraikan karena sang suami lebih memilih cinta lamanya. Naina benar-benar hancur, sebab ia sangatlah mencintai sang suami. Di tengah kehancurannya, orang tua Naina malah menjodohkannya dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya sama sekali. Menjadi janda di usia muda dan menikah lagi dengan laki-laki yang tak dikenal, membuat Naina sempat berpikir, hidupnya benar-benar hancur. Siapa sangka suami barunya yang terlihat dingin itu malah sangat manis. Akankah Naina mendapatkan kebahagiaan di pernikahan keduanya? Bisakah Naina melupakan bayangan kelam masa lalunya? Cover : Free lisensi dari pexels, koleksi pribadi, dan diedit di picsart.

Bab 1 Awal Perpisahan dan Pertemuan

"Aku akan menikahi Wina ...." Ucapan ini dikatakan oleh lelaki yang telah menjalin rumah tangga denganku selama 3 tahun lamanya.

Jdeeer!

Bagai petir yang langsung menyambar tepat di lubuk hatiku.

Mataku langsung berkaca, tetapi kualihkan dengan lagak tawaku. "Hahaha!" Aku tertawa dengan perasaan pahit. Hatiku berharap itu hanya candaannya saja. Nyatanya harapanku hanyalah fantasi di dalam khayalanku. Wajah suamiku jelas serius dan aku sadar kalau ucapannya bukanlah candaan belaka. Aku pura-pura sedang bicara dengan teman di telpon, "ada-ada aja kamu," tambahku berpura-pura.

Aku takut. Dan aku tak tahu harus bagaimana. Emosi di dadaku melonjak naik. Setelah suamiku mengatakan itu, aku memutuskan pergi keluar untuk menghindar, "Jangan banyak bercanda deh, ya udah aku ke sana," sambungku di telpon.

"Mas aku izin keluar dulu ya! Temenku lagi kena masalah katanya, haha!" Aku tertawa lagi. Tawaku adalah kebohonganku, semua perkataanku sebelumnya juga sebuah kebohongan.

Sebenarnya aku hanya ingin menghindar saja, memberi waktu pada suamiku untuk berpikir. Berharap dia mengubah pemikirannya tentang menikah lagi.

"Naina ...," Panggilnya pelan.

Ya, Naina. Itulah namaku. Entah mengapa kali ini hatiku sakit saat dia memanggil namaku. Rasanya aku tak siap mendengar ucapan selanjutnya.

Saat tanganku menyentuh pintu, Aku memejamkan mataku erat, berusaha untuk tetap tegar. Aku berbalik untuk mengatakan sesuatu padanya, "aku mencintaimu mas," ucapku dengan senyuman.

Sudah sering aku mengatakan cinta padanya, tetapi dia tak pernah sekalipun membalas cinta itu, walau hanya dengan ucapan saja. Kali ini pun sama, dia hanya diam, aku benar-benar seperti orang bodoh dibuatnya, "dah ...," sambungku seraya melambaikan tangan lalu pergi.

Di luar pintu, kupegang erat-erat dadaku. Tanpa sadar air mataku menetes begitu saja.

Sakit!

Hatiku sangat sakit!

Aku berlari cepat untuk sampai di garasi mobilku. Aku ingin pergi secepatnya. Aku ingin menjauhi kenyataan pahit ini.

Rasa cinta yang kutunggu selama ini hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dia ... Tidak mencintaiku. Sungguh kenyataan yang manyakitkan.

Hah .... Aku lelah, ke mana aku akan pergi sekarang? Batinku.

Mobilku melaju dengan kencang, berkali-kali kuhapus air mataku. Aku sungguh tak bisa menahannya, air matanya tidak bisa berhenti.

Akhrinya aku memutuskan untuk pergi ke pantai, tempat yang menenangkan bagiku. "Hai," ucapku pada pantai yang kudatangi.

Indahnya pemandangan sedikit mengobati rasa sakitku, hembusan anginnya menyapu rasa lelahku, kaki yang menapak di pasir membuatku lebih dekat dengan alam di sekitarku, walau sendirian aku merasa memiliki banyak teman. Mereka adalah pasir-pasir yang menyentuh kulit kakiku, angin-angin sejuk yang menyapa kulitku, serta suara ombak yang menghilangkan kesunyianku.

"Hah ...," hembusan napas pelan. Ini benar-benar nyaman. Aku merasa lebih baik dibanding sebelumnya.

Aku memutuskan untuk duduk dan berdiam lebih lama di jembatan pantai.

Saat menatap pantai yang indah aku kembali menangis. "mengapa rasanya sangat menyakitkan." Tetesan air mataku menyentuh air pantai yang biru.

Di saat aku sedang menangis tersedu-sedu, air pantai di hadapanku terlihat sedikit aneh. Ada gelembung air di sana, aku mencoba melihatnya, tapi aku tak bisa melihat apa yang ada di dalam air itu, "apa itu ikan hiu," ucapku takut. Aku tak bisa berpikir jernih, pikiranku ke mana-mana. Dengan refleks aku berusaha untuk mundur. Di hadapan kematian, sekejap aku lupa akan semua kesedihanku, air mataku berhenti keluar.

Byuur!

Apa yang aku cemaskan keluar dari dalam air. "Aaaaa!" Sontak aku berteriak hebat. Aku refleks menutup mataku saking takutnya.

"Nona ...." Suara lelaki yang menawan terdengar di telingaku.

Apa yang kudengar ini? Suara lelaki? Batinku. Dan lagi suaranya terdengar sangat indah. Apa aku salah dengar, pikirku lagi.

"Nona ...." Suaranya terdengar lagi, namun kali ini terasa lebih dekat.

"Nona ...," Panggilnya lagi.

Ini memang suara dari seorang lelaki, Oh syukurlah bukan hiu, Batinku. Perlahan-lahan aku membuka mataku, seorang lelaki sedang duduk di sebelahku. Lelaki ini sangat tampan hingga membuat aku terdiam. Matanya tajam dan indah, bagaimana bisa ada perpaduan seperti ini batinku, ada keindahan yang manis, namun juga ada api yang membara di matanya itu. Hidungnya mancung, bibirnya bahkan sangat menggoda dengan warna merah muda alami. Di tambah rambut hitamnya yang masih basah dengan beberapa titik air yang jatuh. Terlihat jelas, di balik bajunya yang basah itu, tubunya yang luar biasa sempurna.

Aku bisa memastikan seratus persen kalau lelaki ini sangatlah tampan. Dia bagai titisan surga. Aku tidak menyangka kalau di dunia ini, ada manusia setampan dirinya.

"Nona ... mengapa kau menatapku seperti itu," tanyanya dengan raut wajah terheran.

Suaranya menyadarkanku. "Aaaa!" Aku kembali berteriak, dengan cepat aku berdiri dan menjaga jarak darinya.

"Siapa kamu!" Tanyaku spontan sembari menunjuk wajahnya.

"Tidak mungkin ada manusia setampan ini, dia mungkin siluman laut yang sedang menyamar menjadi manusia tampan, aku harus berhati-hati, " gumamku dalam hati. Pandanganku tak sedikit pun beralih darinya, aku benar-benar waspada terhadapnya.

Lelaki itu menggeleng, "hah ...." Dia bahkan menghembuskan napas pelan. "Wanita aneh," sambungnya sembari mendatangiku.

Karena masih merasa takut, aku mundur untuk menjaga jarak darinya. "K ... Kau jangan mendekat," ucapku sedikit terbata.

Melihat sikapku barusan, lelaki itu berhenti dengan pasrah sambil berkacak pinggang. "Apa kau tahu, tangisanmu tadi sangat mengganggu hewan-hewan laut di sini, aku manusia ini juga bisa mendengarnya dengan jelas," ucapnya seakan meminta penjelasanku.

"Hah?" Ucapku spontan. Aku ingin berkata padanya kalau aku sedang sedih, apa kau paham dengan kesedihan manusia. Apakah aku tidak berhak menangis dengan benar, apa ada undang-undang yang melarang seseorang menangis keras. Perasaan takut dan waspadaku berubah menjadi kekesalan. Lelaki ini sangat menyebalkan.

"Hah?" Ucapnya seakan mengolok-olok perkataanku, "nona ..., kalau kamu sedang bersedih, jangan buat orang lain menderita juga," sambungnya lagi.

Mendengar itu emosiku melonjak naik, lelaki ini benar-benar menyebalkan, "hei kau lelaki ta ...." Sebenarnya aku akan keceplosan menyebutnya tampan. Namun segera kuhentikan itu.

"Tampan?" Sambungnya dengan percaya diri, senyum miring terbit diwajahnya yang memukau. Tangannya melipat sambil menatapku seakan menangkap isi pikiranku.

"Terlalu percaya diri! Maksudku lelaki tak berperikemanusiaan!" Sahutku kesal.

"Benarkah ...," ucapnya sambil menggodaku.

"K ... Kau! Semua lelaki sama saja!"

"Hah ...," lelaki tampan ini kembali menggeleng sambil mendatangiku.

Tak seperti sebelumnya, kali ini aku tak ingin mundur sedikit pun. Aku tidak takut padanya.

"Nona ..., wajahmu yang bengkak ini sangat jelek," ucapnya sembari melemparkan sebuah saputangan putih basah dari sakunya tepat di wajahku.

Emosiku melonjak naik, kali ini aku benar-benar marah. Andai dia memberikanku saputangan kering, aku juga tak masalah. "Kau ...!"

"Nona ..., hapuslah dahulu air matamu itu, maaf aku tidak punya saputangan kering untukmu," ucapnya saat aku hampir menyemprotnya dengan kata-kata marahku. Lelaki ini malah mengatakan sesuatu yang membuat aku terkejut. "Untuk apa menangis sampai seperti itu, apa yang kamu tangisi itu benar-benar berharga?" Tanyanya padaku. "Aku beritahu ya, semua lelaki itu tidak sama," tambahnya lagi.

Spontan aku pun terdiam.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku