Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Serendipity's Match

Serendipity's Match

Sweetyp_

5.0
Komentar
5
Penayangan
1
Bab

Saat Emily secara tidak sengaja menyelamatkan Nathan dari kecelakaan mobil, takdir mempertemukan mereka dalam keadaan yang mengejutkan. Keduanya saling melengkapi, tetapi rahasia dari kehidupan Emily yang kelam tiba-tiba terungkap. Bagaimanakah perasaan Nathan?

Bab 1 1. Insiden

Diantara ramainya jalan lalu lintas, sebuah mobil melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Mobil yang mengebut dan akan menerobos lampu merah.

Seorang pria di dalamnya sedang mabuk, tangannya memegang stir mobil dan tangan yang lainnya memijat kepalanya yang terasa pusing.

Pandangan matanya berputar-putar seolah ia sedang menaiki rolercoaster.

Suara kalkson mobil yang bersahutan dan umpatan kesal karena Natan berkendara dalam keadaan mabuk.

Dalam waktu yang singkat, pertigaan yang mempunyai rampu merah itu ada beberapa mobil dan motor yang masih menyebrang.

Namun, mobil Nathan mendekati sebuah mobil yang akan menyebrang. Mata Nathan terbelalak saat melihat ke depan. Kakinya berusaha menginjak rem berharap kecepatan mobilnya bisa berkurang.

Sayangnya, kecepatan mobil Nathan sudah tidak bisa di kendalikan lagi.

Suara tabrakan pun terdengar begitu keras, menghentikan mobil dengan tiba-tiba.

Tubuh Nathan terhempas ke depan akibat benturan tersebut. Kaca depan mobil retak, karena Nathan tidak memakai sabuk pengaman, tubuh Nathan terlempar beberapa kilometer dari tempat kejadian.

Tubuh Nathan berguling-guling yang kemudian membentur trotoar jalan. Kepala Nathan mengeluarkan cairan darah. Mata Nathan sedikit terbuka tapi ia tidak sanggup menahan luka di sekujur tubuhnya, luka akibat dari pecahan kaca mobilnya.

Orang-orang yang berada di sekitar segera berkerumun untuk melihat apa yang terjadi

"Astaga, segera telepon ambulance!"

"Cepatlah! Dia terluka parah!"

Salah satu dari mereka pun menghubungi nomor ambulance. Melaporkan kejadian kecelakaan dan dua korban yang terluka parah.

Tidak butuh waktu lama, ambulance pun datang. Beberapa dokter dan petugas medis membopong Nathan dan korban satunya. Mereka segera memasukkannya ke dalam ambulance dan menuju ke rumah sakit.

Di dalam mobil ambulance, seorang wanita begitu panik dan tidak tega menatap wajah Nathan yang tertutupi oleh darah.

"Kau mau menangisinya?" Tanya Fera, seorang petugas medis. Ia duduk melihat Nathan yang berada di tengah-tengah yang di baringkan diatas tandu.

Emily tidak menjawab. Ia diam, melihat darah itu membuatnya teringat dengan bundanya saat melahirkan anak kedua, calon adiknya yang tidak bisa di selamatkan. Dengan tidak adilnya, sang ibunda juga ikut menyusul dan pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya.

"Aku benci darah," gumam Emily menggelengkan kepalanya. Sudah sejak satu tahun berlalu, ingatan itu masih membekas di pikirannya.

Fera mengerti dengan perasaan Emily. "Sabar ya? Ikhlaskan kepergian bundamu. Dia sudah tenang di surga."

Tanpa sadar, mata Emily meneteskan cairan bening, ia menangis. "T--tapi, apa dia akan selamat? Apa dia bisa bertahan?" Ia menoleh menatap Fera. Entah bagaimana perasaan kelurga korban nanti jika mengetahui salah satu anggotanya mengalami kecelakaan yang menimbulkan luka parah.

Fera mengangguk. "Pasti, dia adalah laki-laki. Ia pasti bisa bertahan. Kita doakan saja yang terbaik kepada Tuhan."

"Maaf, apakah kalian sudah menghubungi pihak keluarganya?" Tanya dokter Richard, ia sejak tadi hanya mendengarkan orbolan Fera dan Emily.

"Belum," Fera menggeleng. "Kita belum menemukan kartu identitas atau ponselnya."

"Astaga, cobalah periksa pakaiannya. Carilah dompet dan pasti ada KTP atau kartu namanya," ucap dokter Richard menghela napasnya. Menghubungi pihak keluarga itu penting agar mereka segera mendampingi pasien dan mengurus administrasinya.

Fera merogoh saku pakaian Nathan, dari celana hingga kemeja. Ia akhirnya menemukan kartu namanya saja.

"Nathan Thomson, alamat rumah kota Manhattan, nomor telepon, dan pekerjaan bodyguard," Fera membaca kartu nama Nathan. Ternyata tempat tinggalnya cukup jauh.

"Apa kau hanya menemukan kartu namanya saja? Apa tidak ada KTP?" Tanya dokter Richard.

"Kartu nama saja. Mungkin kita bisa ke alamat yang tertera dan menanyakannya ke warga sekitar. Huh, sayang sekali dia tidak membawa KTP."

"Bagaimana dengan ponsel?" Tanya dokter Richard lagi.

Fera menggeleng. Ia menunjukkan ponsel Nathan yang sudah retak. "Kemungkinan ponselnya rusak."

"Tapi masih ada kartu dan memori. Kemari, berikan itu kepadaku," dokter Richard menengadahkan tangannya.

Fera melepas casing ponsel Nathan, membukanya dan mengambil kartu nomor serta memorinya.

Dokter Richard memasang dua benda itu di ponselnya.

Setelah di muat kembali, dokter Richard mencari kontak keluarga Nathan.

"Syukurlah ada," ia tersenyum. Nama kontak bertuliskan 'IBU' membuatnya bernapas lega. Ia langsung menghubunginya.

Nada tersambung, cukup lama sampai pesan telepon dari operator menyatakan nomor yang sedang di hubungi sibuk.

"Bagaimana? Apa dokter berhasil menghubungi?"

Emily tidak berbicara, ia terus memandangi wajah Nathan. Tangannya terulur dan mengusap bekas darah di wajah Nathan, darah yang masih basah. Bau yang amis.

"Aku berharap, kau segera sadar. Bertahan ya?" Bibir Emily tersungging, tersenyum tipis. Semoga saja Nathan berjuang dan mampu bertahan melawan segala luka itu.

Dokter Richard menggeleng. "Nomornya sibuk."

"Ya ampun, telepon sekali lagi, dok. Sampai terjawab," Fera mendesak dokter Richard untuk mencoba menghubungi lagi pihak keluarga Nathan.

Sudah kelima kalinya dokter Richard menelepon tapi nomor yang di hubungi tetap sibuk.

"Sudahlah, kita bisa menghubunginya lagi nanti. Yang terpenting, kita harus segera menangani pasien ini," mata dokter Richard menatap Nathan. Setengah wajah Nathan terlihat sedikit, ia tau pasti Emily yang menyingkirkan darah-darah itu dengan tangannya.

***

Tiba di rumah sakit, mereka membawa Nathan ke ruangan UGD.

Para petugas medis seperti suster, juga dokter mulai menangani Nathan.

Emily membersihkan luka Nathan. "Tidurmu damai sekali ya. Sampai luka parah saja kau tidak merasaksnnya," ucap Emily ketika mengelap darah yang ada di wajah Nathan dengan menggunakan tisu.

Suara Elektrokardiogram mengisi keheningan ruangan itu. Kesibukan 2 dokter dan 3 suster termasuk Emily masing-masing sibuk menjalankan tugasnya.

Namun beberapa saat saja, suara Elektrokardiogram itu melemah.

"Detak jantungnya lemah. Segera ambil CPR. Semoga dia bertahan," ucap Emily.

Dokter Richard segera melakukan tindakan CPR dengan hati-hati dan penuh konsentrasi. Upaya penyelamatan itu dilakukan dengan harapan memulihkan detak jantung pasien.

Setelah beberapa saat yang tegang, Nathan akhirnya menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam pemantauan elektrokardiogram. Dengan perawatan yang telaten dan bantuan dari tim medis yang berdedikasi, Nathan mulai mengalami pemulihan. Suasana di ruangan itu perlahan-lahan menjadi lebih tenang, suara Elektrokardiogram kembali terdengar seperti biasanya, normal kembali.

"Emily, untungnya telingamu peka mengetahui suara Elektrokardiogram yang mulai terdengar lemah. Ahh, terima kasih. Terkadang aku terlalu fokus dan tidak mendengar apapun," ujar dokter Richard, pelipisnya berkeringat setelah mengatasi Nathan yang di ujung kematian tadi.

"Sekarang, kita hubungi keluarganya. Aku pinjam ponselmu," pinta Emily pada dokter Richrad.

"Dokter tadi menghubungi siapa?" Sambil membuka kontak, Emily mencari nama keluarga Nathan, seperti kemungkinan ada ibu, ayah atau kakak.

"Ibunya. Telepon saja."

Emily mengangguk, ia mulai menghubungi nomor ibu Nathan.

Nada tersambung, kemudian suara seorang wanita terdengar sangat ketus.

"Ada apalagi? Kau menelepon ibu disaat jam kerja. Kau tau sendiri bagaimana bos di perusahaan ibu itu pemarah dan tidak mau ada yang mengganggu meetingnya!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Serendipity's Match
1

Bab 1 1. Insiden

08/08/2023