Tepat pada puncak kegemilangannya, kehidupan Berona justru harus hancur karena pesawat yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Beruntung, gadis itu berhasil selamat dan terdampar di desa pelosok yang tidak pernah ia ketahui. Di sanalah dia bertemu Athan Lance, yang ternyata merupakan seorang vampir berusia ratusan tahun. Keduanya sepakat membuat perjanjian untuk membantu Berona kembali ke negaranya. Sayang, keamanan yang sangat ketat membuat jalan Berona untuk kembali ke negaranya menjadi tidak mudah. Semakin cepat Berona ingin kembali, semakin lama dia menetap di desa. Sementara di negaranya, semua orang mengira Berona telah meninggal dalam kecelakaan hingga kakaknya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil alih perusahaan fashion gadis itu. Dapatkah Berona yang terbiasa hidup tanpa kekurangan menjalani keseharian di desa terpencil? Apakah Athan, yang notabene seorang vampir, menepati janjinya tanpa tergoda untuk mengisap darah Berona? Mungkinkah keduanya dapat menahan perasaan cinta yang pastinya akan memperburuk keadaan mereka?
Setiap membuka mata, Berona akan menemukan pemandangan kamar mewah miliknya atau tempat kerja yang rapi. Setiap membuka mata, Berona akan merasakan ranjang yang empuk, selimut yang hangat, atau tumpukkan proposal yang harus ditandatangani.
Seharusnya demikian.
Namun, kali ini, saat membuka mata, Berona justru melihat lempengan besi abu-abu yang asing. Leher dan sekujur tubuhnya terasa kaku, bahkan kakinya mati rasa karena tertekuk begitu lama dalam ruang besi sempit ini.
"Apa yang terjadi?" Perempuan itu bergumam, melihat mikrofon dan tombol aneh yang terpasang. Terkesan seperti berada dalam pesawat ruang angkasa. "Ah, benar. Pesawat yang kutumpangi mengalami kecelakaan. Untung saja aku adalah anggota VVIP, jadi aku mendapat ruang besi ini."
Berona memijit kepala dan mengambil mikrofon. "Di sini Berona, di sini Berona. Aku berhasil selamat dari kecelakaan pesawat, bisakah kalian menjemputku?"
Tidak ada jawaban.
"Di sini Berona. Halo? Apakah kalian bisa mendengarku?" Perempuan itu mencoba lagi, tetapi tidak terdengar apa pun seolah tidak berfungsi.
Berona mencoba menekan tombol apa pun yang mungkin membantu, tetapi tidak ada perubahan. Hingga dia menemukan tombol merah. Ketika dipijit, pintu ruang besi itu terbuka, menampilkan pemandangan pohon-pohon besar dan suasana matahari terbit.
Rupanya, ruang besi khusus itu terdampar di hutan yang sepi di sisi laut. Tepat saat Berona berhasil keluar dengan tertatih, dia bertemu seorang pemuda berpakaian rapi. Begitu rapi hingga terkesan kontras dengan situasi hutan belantara itu. Namun, Berona segera menemukan alasan yang bagus untuk kejanggalan itu.
"Ah, kau pasti sedang mencariku." Berona menyapa dengan riang. "Bisakah kau memberitahu para penyelamat bahwa aku ada di sini?"
Alih-alih menjawab, pria tampan berkulit putih itu justru mengernyit. "Penyelamat?"
Berona mengangguk polos. Wajahnya tampak kotor dengan rambut berantakan. "Bukankah kau penyelamat yang diutus untuk mencariku? Tidak kusangka mereka akan mengutus penyelamat setampan dirimu."
Alis pria itu mengernyit lebih dalam. "Hanya ada aku dan dirimu di hutan ini." Dia melongok dan melihat kapsul besi yang terhantam di tanah.
"Tidak mungkin!" jawabnya panik. "Mereka seharusnya sudah mengerahkan selusin pasukan untuk mencariku!"
Pria itu hanya memutar bola mata tidak peduli dan bersiap pergi saat tiba-tiba Berona menahan tangannya.
"Tunggu dulu!" Dia berseru. "Setidaknya, bisakah kau menunjukkan jalan menuju Jakarta?"
"Jakarta? Maksudmu, ibukota Indonesia?"
"Ya! Benar! Aku ragu di hutan seperti ini ada orang yang mengetahuinya, tapi syukurlah, sepertinya kau pernah ke sana." Berona mengembuskan napas lega.
Namun, pria tampan itu justru menunjuk ke arah laut.
Berona mengernyit.
"Apakah kau sedang mempermainkanku? Jelas-jelas itu adalah laut," protesnya. "Ah, jangan-jangan kau memang tidak tahu di mana letak Jakarta, ya."
Pria berkulit putih itu menggeleng dan kembali menunjuk ke laut. "Di sana adalah Jakarta. Di seberang laut."
Berona membelalakkan mata dan bibirnya terbuka dengan terkejut. "Jakarta, maksudmu, Jakarta-di mana aku sekarang?"
Raut wajah dan nada suara pria itu tetap datar saat menjawab, "Sichuan, China."
Berona merasa irisnya berputar sebelum ia jatuh pingsan.