Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Anak berusia enam tahun itu terus menatap anak laki-laki berkaca mata yang terlibat fokus dengan buku di tangannya tanpa melihat sekitar.
Sudah satu minggu Anindya ada di sini bermain dengan banyak anak, tapi hanya anak laki-laki itu yang tidak tertarik bermain bersamanya. Hal itu membuat anak itu bertanya-tanya, sebenarnya apa ada yang salah dengan dirinya?
“Jangan melihatnya seperti itu, nanti dia bisa marah,” kata seseorang membuat Anindya tersentak, lalu melihat si pelaku.
Gadis kecil itu menaikkan satu alisnya heran. “Kenapa dia harus marah?” sahutnya heran, lalu kembali menatap anak laki-laki yang masih fokus pada bukunya. “Aku cuma lihat kok.”
Erin, teman baru Anindya di panti berdecak tidak suka. “Aku juga tidak tahu, tapi intinya dia orang yang pemarah.”
“Tapi aku ngga punya salah,” Anindya masih merasa dirinya tidak salah, lalu ia mengalihkan pandangan pada anak berusia sepuluh tahun dengan polos. “Dan–“
“Bagaimana kalau kita main boneka lagi?” Ajak Erin mengalihkan pembicaraan dari anak laki-laki bernama Yezra.
Anak perempuan dengan rambut yang di ikat dua itu mengangguk dengan cepat. “Ayok, tapi tadi kata kakak bosan katanya main boneka terus.”
“Itu kan tadi.” Erin sedikit menyeret Anindya menjauh dari teras dan meninggalkan anak laki-laki yang duduk di bawah pohon sedang menatap mereka.
Seperti yang di janjikan, kedua anak itu bermain boneka di ruang yang berfungsi sebagai tempat meletakkan semua mainan yang di berikan orang baik.
Semua mainan di dalam ruangan ini tidak boleh di mainkan di luar rumah karna akan di curi sebab mereka lupa membawa masuk ke dalam rumah.
“Ngga tahu Dok, tapi anak Yaya tadi pagi bicara sakit panas.”
“Oh, jadi anaknya demam Bu?” Erin pura-pura menulis di atas kertas kosong, lalu mendekat pada boneka yang ada di dekat Anindya.
Anak itu menyentuh kening boneka, lalu tersentak kaget. “Ini panas sekali, Bu.”
“Apakah parah Dok? Apa dia harus di operasi?” Celetuk Anindya dengan polos, membuat Erin tertawa begitu juga dengan si pelaku.
“Sangat parah, tapi ngga sampai di operasi kok,” ucap Erin setelah lelah tertawa. “Aku akan menulis obatnya dan Ibu hanya perlu menebusnya di apotek.”
“Apotek itu apa?” tanya Anindya polos.
“Oh, apotek itu ...” Erin terdiam, anak berusia sepuluh tahun itu bingung mencari cara menjelaskan pada anak enam tahun di depannya. “Ah, apotek itu tempat orang mengambil obat.”
Anindya mengangguk mengerti, namun masih ada yang menjadi tanda tanya untuknya. “Memang apo ... tek, itu ada di rumah sakit? Kalau ngga salah ... Ayah pernah cerita ke Bunda katanya mencari obat untuk Mas Andra jauh.”
“Ada, aku pernah pergi ke apotek!”
“Benar?” Tanya Anindya tidak yakin mendapatkan jawaban berupa anggukan kepala dari Erin. “Berarti selama ini Ayah bohong sama Bunda dong!”
“Belum ...” Erin tidak melanjutkan kata-katanya melihat Anindya sudah berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan bermain.
Sementara itu Anindya sudah keluar dari gerbang panti berjalan menuju rumahnya yang berada di seberang jalan.
Anindya merasa sangat marah karna ayahnya lagi-lagi berbohong pada Bundanya. Pikiran kecilnya terus saja bekerja dengan melangkah mendekati pintu rumah yang terbuka.
“Ayah!” Anindya berteriak ketika baru saja masuk ke dalam rumah. Kaki kecilnya terus berjalan ke kamar pria yang di panggilnya ayah dan mengetuk pintunya dengan brutal.
“Ada apa–“
“Ayah bohongi Bunda lagi ya?” Tanya Anindya tidak membiarkan Adam untuk menyelesaikan perkataannya.
“Bohong?”