Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Tawaran Gila Suamiku
Zara duduk di meja kecil yang terletak di sudut ruangan kantornya yang baru. Suasana di sekitar penuh dengan kebisingan ketukan keyboard, suara telepon berdering, dan percakapan ringan antar karyawan. Namun, di balik semua itu, pikirannya jauh melayang. Ia mengenakan pakaian yang sederhana, berbeda jauh dengan gaya hidupnya yang biasa. Blus putih, celana panjang hitam, dan sepatu flat yang nyaman-semuanya berusaha menciptakan kesan bahwa ia hanyalah seorang karyawan biasa, bukan seorang pewaris kaya yang memiliki segalanya.
Sejak lama, Zara merasa terkekang oleh bayang-bayang nama besar keluarganya. Semua orang mengenalnya sebagai anak pemilik perusahaan besar, namun sedikit yang mengetahui siapa dirinya sebenarnya-termasuk para karyawan yang bekerja di bawahnya. Ini adalah masalah besar, yang menurutnya sudah waktunya untuk diselesaikan. Ia ingin melihat bagaimana para pekerja di perusahaannya berjuang dan bertahan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka, untuk pertama kalinya, Zara memutuskan untuk menyamar.
"Zara, kamu pasti nggak mau datang ke acara makan siang kan?" Tanya Tina, rekan kerja yang baru saja dikenalnya sejak ia mulai bekerja di sana. Suaranya ceria, dan senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.
Zara tersenyum tipis. "Nggak, Tina. Terima kasih, aku lebih suka makan di sini saja," jawabnya pelan.
Tina mengangguk dan pergi dengan langkah cepat, mungkin tidak menyadari bahwa Zara memilih untuk tidak ikut serta karena ia ingin tetap fokus pada identitas barunya. Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan kehidupan barunya ini-hidup tanpa sorotan, hidup tanpa perlakuan istimewa yang selalu datang karena statusnya.
Namun, ada ketegangan yang menggelayuti hatinya. Ia tahu, ia harus berhati-hati. Sebagai pewaris, jika identitasnya terungkap, semuanya akan berubah. Perhatian dari para karyawan, manajer, bahkan CEO sementara-Pak Budi-akan langsung tertuju padanya, dan ia tak tahu apakah ia siap untuk itu.
Seperti yang sudah ia duga, tidak lama setelah Tina pergi, Arman muncul. Pria itu tidak menyapa, hanya melirik sekilas pada Zara dengan tatapan dingin yang tajam. Arman Wijaya, manajer yang sudah terkenal dengan ambisinya di perusahaan. Zara tahu betul siapa dia-mungkin lebih dari yang Arman sendiri sadari. Tapi di sini, di tempat yang jauh dari dunia luar, mereka berdua hanyalah dua orang biasa yang terjebak dalam rutinitas kantor.
"Zara, kan? Baru mulai kerja di sini?" Suara Arman tiba-tiba memecah keheningan, membuat Zara mengalihkan pandangannya.
"Ya, saya baru saja bergabung," jawab Zara sambil menyembunyikan ketegangan di dalam hatinya. Ia mencoba untuk terlihat tidak cemas, tetapi ada sesuatu dalam diri Arman yang membuatnya merasa waspada.
Arman melangkah lebih dekat, memandang layar laptop di hadapannya. "Kamu baru di sini, jadi kamu belum tahu banyak tentang bagaimana cara kerja kita di sini. Tapi aku rasa kamu akan cepat beradaptasi," ujarnya dengan nada suara yang lebih rendah, namun tetap terdengar penuh wibawa.
Zara mengangguk dengan ragu, berusaha untuk tidak terlihat terlalu canggung. "Terima kasih, saya berharap begitu."
"Kalau ada yang perlu ditanyakan, jangan ragu untuk menghubungi saya." Arman berkata tanpa menoleh, seperti sudah biasa mengeluarkan kalimat itu kepada setiap orang yang baru bergabung.
Zara hanya tersenyum kecil. Kalimat itu mungkin biasa, tapi Zara tahu bahwa Arman lebih tajam dari yang ia tunjukkan. Sesuatu dalam cara pria itu menatapnya membuatnya merasa tidak nyaman. Seperti ada yang ia perhatikan-sesuatu yang Zara coba sembunyikan.
Setelah Arman pergi, Zara kembali terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia tahu bahwa Arman tidak bodoh. Jika ia terus bertahan dalam penyamarannya, ia harus benar-benar berhati-hati. Ada banyak hal yang ia masih harus pelajari tentang perusahaan ini, termasuk hubungan antara karyawan dan manajer yang lebih tinggi. Arman, dengan ambisi besarnya, bisa jadi merupakan ancaman besar bagi dirinya.
Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja. Zara berusaha untuk beradaptasi dengan pekerjaan barunya, mengerjakan tugas-tugas ringan yang diberikan kepadanya. Ia bekerja dengan tekun, berusaha menutupi identitas aslinya, namun setiap hari ia semakin merasa terperangkap. Arman semakin sering mengawasi gerak-geriknya. Sesekali, ia menangkap pandangan tajam Arman yang tampaknya menilai dirinya dari berbagai sisi.
Tina, sahabat baru Zara, terus menawarkan dukungannya. Namun, meskipun Zara tahu Tina baik, ia tidak bisa membiarkan siapapun mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Mungkin, hanya Arman yang mulai merasakan ada yang tidak beres.
Pagi itu, Zara sedang duduk di meja kerjanya, mengetik laporan yang diberikan kepadanya oleh Arman. Suasana kantor tidak berbeda jauh dengan biasanya, namun di dalam hati Zara, ada perasaan cemas yang menggelora. Laporan ini, yang seharusnya sederhana, kini terasa sangat berat. Ia tidak tahu mengapa, tetapi semua ini terasa semakin menegangkan.
Tanpa diduga, Arman muncul di belakangnya, berdiri tanpa suara, seolah sudah terbiasa dengan ruang di sekitar Zara. "Zara," panggilnya datar.