Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Nama ku Liya, aku anak ke tiga dari enam bersaudara, aku akan bercerita tentang kisah ku bersama keluargaku, saat itu pertama kali orang tua ku membeli rumah, dan ternyata rumah yang di beli orang tua ku, keluarga yang menghuni nya dahulu telah melakukan persugihan.
Waktu itu kami masih empat bersaudara, tiga perempuan, dan satu laki laki, adik ku yg ke lima, dan ke enam bertaut lima belas tahun kmudian baru lahir di rumah itu.
Aku, dan adik laki-laki ku anak ke empat, hanya berjarak dua tahun beda usia, karena itu aku tinggal di rumah Kakek dan Nenek di Bogor, bukan orang tua ku yang menitipkan, tapi karena Kakek, dan Nenek merasa kasihan melihat Mamah yang kerepotan mengurus empat balita, waktu itu usia kami hanya selisih dua tahun dua tahun, dan orang tua ku juga belum punya rumah sendiri, sering pindah tempat rumah kontrakan.
Oleh sebab itu aku, dan Kakak ku yang sulung tinggal dengan Kekek dan Nenek di Bogor, tapi setiap bulan orang tua kami selalu mengunjungi ke Bogor, menengok sekalian memberikan biaya bulanan untuk kami. Waktu itu Mamah dan Papah belum punya rumah, hingga akhir nya saat umur ku lima tahun, aku mendapat kabar baik, orang tua kami membeli rumah yang mewah, masih teringat betapa senang nya aku, aku yg masih kecil merengek ke Kakek untuk mengantar ku ke rumah orang tua ku di Bandung.
Tak sabar ingin melihat rumah mewah seperti apa yang orang tua ku beli, terbayang rumah yang di impikan, waktu itu belum jaman nya Smartphone, yang ada hanya telepon rumah, jadi belum bisa video call, atau kirim gambar, sekitar THN 90an tepatnya THN 1999 -2000.
Berangkat lah aku bersama Kakek, dan Kakak ku ke Bandung, karena aku terus merengek ingin ke rumah orang tua ku, padahal orang tua ku bilang nanti di jemput, tapi aku sudah tidak sabar, karena orang tua ku sibuk mengurus pindahan rumah, maka mereka meminta Kakek ku mengantar kan aku, dan Kakak ku ke Bandung.
"Tidak usah bawa baju banyak, nanti baju, dan yang lain nya menyusul biar gak repot."
Suara Mamah di sebrang telpon, aku langsung melompat-lompat kegirangan, besok nya kami pun berangkat ke Bandung, naik Bus Rudi, Bus satu-satu nya yang sering lewat depan rumah Kakek, yang mengantarkan kami langsung menuju terminal Leuwi Panjang Bandung.
Singkat cerita, sampai lah aku di rumah orang tua ku di Bandung, dan yah rumah nya memang mewah pada jaman nya, rumah dengan empat kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, dan garasi mobil yang cukup untuk dua mobil.
Di tempat garasi mobil ada tangga menuju ke loteng, tapi di loteng tidak ada kamar hanya jemuran, dan tempat duduk, ada satu tempat di dapur, sebuah ruangan sempit satu kamar, mungkin luas nya sebesar toilet umum nama nya goah.
Aku tidak tau tempat apa itu, seperti anak lain nya yang selalu penasaran serba ingin tau, aku Melihat kedalam goah itu, di sana ada tempat sesajen aku bawa aku tunjukin ke orang tua ku.
"Mah ini apa buat apa, ini buat makanan siapa?, ko ada di tempat sempit itu?."
Celotehan ku waktu itu, Kakek, Papah, dan Mamah ku langsung menoleh, dan tertegun.
"Dapat dari mana itu Liya?."
Tanya Mamah ku kebingungan.
"Dari sana Mah, di tempat sempit itu ayo aku tunjukin."
Aku berjalan, ingin menunjukkan tempat di mana aku temukan bekas sesaji itu, di ikuti Papah, dan Kakek ku di belakang.
"Di sini ada goah buat apa?."
Kata Kakek mengernyit kan dahi nya, lalu Mamah mengambil tempat sesaji itu, dan membuang nya ke tempat sampah.
Keluarga ku bukan tidak percaya soal gaib, mereka percaya yang gaib itu ada, karena percaya pada yang gaib adalah salah satu rukun iman agama kita.
Maka kita harus percaya, bahkan sang pencipta adalah gaib, yang tidak bisa di lihat, tapi kita mempercayai keberadaan nya, dengan segala ciptaan nya, maka kita juga harus percaya yakin, dan mengimani semua rukun iman nya.
Aku, Papah, Mamah, dan Kakek masih di dapur mngamati goah yang gelap itu,
tak ada stop kontak lampu di sana gelap gulita, aku hanya berdiri di balik pintu mengamati, lalu Kakek keluar menggedong ku berjalan menuju ruang keluarga, di susul Papah dan Mamah.
Saudara saudara ku sedang berada di kamar Kakak ku yang sulung, sedang bermain dengan Adik laki-laki ku yang waktu itu masih berumur tiga tahun.
Kangeun sekali rasanya karena kami selama ini tinggal terpisah, kami sekarang akhirnya akan berkumpul satu rumah tidak terpisah-pisah lagi.
Aku duduk di pangkuan Kakek di susul Mamah, dan Papah ku, kami duduk bersama di sopa ruang keluarga, sepertinya mereka akan membicarakan soal goah itu.