Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Menikah adalah sebuah pilihan hidup, semua memimpikan pernikahan yang sempurna. Memiliki pasangan dan jalan hidup yang sesuai keinginan hati. Akan tetapi, ketika Tuhan memberikan pasangan dan jalan hidup yang penuh liku, apakah kita harus menolaknya?
Siapa pun tak ingin memiliki pasangan yang bersifat buruk, tidak ada yang ingin hidup susah. Sejatinya, wanita ingin memiliki suami yang setia dan perhatian. Tapi tidak untukku.
Sebuah takdir yang harus dijalani dengan sebuah keterpaksaan, membuat hidup seperti di neraka.
Tuhan menciptakan wanita dengan kekuatan yang super dahsyatnya. Meski hanya memiliki dua tangan, para wanita mampu melakukan semua pekerjaan rumah dan lainnya. Walaupun kekuatan lelaki lebih besar dari perempuan.
Pun denganku, walaupun lelah menyelimuti tubuh, aku tak pernah mengeluh. Memilih diam adalah caraku untuk tetap bertahan. Tinggal bersama mertua, rasanya seperti bukan menantu saja. Lebih cocok sebagai pembantu.
Sejak hamil anak pertama, Mas Bo'eng memboyongku tinggal di rumah ibunya. Tentu saja, bukan hanya kami yang tinggal di sana. Ada dua adiknya yang masih bersekolah dan bekerja.
Rumah kontrakan kecil dengan dua kamar itu, menjadi saksi betapa tersiksanya aku. Kamar utama, ditempati oleh mertuaku dan dua anaknya, Rian dan Risa. Sedangkan kamar belakang, diisi oleh kami—aku, Mas Bo'eng, dan anak kami.
Tinggal bersama mertua dan ipar, tak membuatku merasa seperti layaknya keluarga pada umumnya. Bahkan, mereka tak pernah menganggap diri ini sebagai menantu dan ipar.
Anakku bernama Fito, umurnya baru satu tahun. Setiap pagi tugasku adalah menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah ini, menyapu, mencuci pakaian, bahkan sampai mengambil air di sumur umum yang terletak di belakang rumah. Untuk kebutuhanku dan Fito, mertuaku tidak memperbolehkan memakai air PAM. Alasannya, penggunaan air jika ada anak kecil, akan memperbesar biaya listrik.
Pernah suatu ketika, aku telat bangun dikarenakan badanku sakit semua. Sindiran dan hinaan tak lupa mereka sampaikan kepadaku. Tentu sakit hati bila mendengarnya, tetapi aku mencoba untuk tetap bertahan dalam keadaan ini.
"Enak, ya, tinggal gratis di sini, makan tidur gak perlu bayar. Nge-charge pun pakai listrik, listrik itu bisa mengalir, ya, harus di bayar!" Risa dan mertuaku saling berbalas.
"Iya, udah numpang gratis bukannya rajin dikit, kek," sambung mertuaku.
Aku hanya mendengarkan mereka dari dalam kamar, tentu saja mereka tahu kalau aku tidak tidur. Suamiku masih tertidur pulas, ia tak mendengar ucapan keluarganya. Telingaku bagaikan sudah kebal dengan hinaan mereka.
"Lebih baik pelihara anjing, ada balas budinya," celetuk Risa. Ingin menangis pun tak ada gunanya bagiku, itu hanya akan memperlihatkan kelemahanku saja.
Risa seorang gadis berusia 17 tahun, ia bekerja di salah satu toko di Jakarta. Sedangkan Rian, masih sekolah di bangku kelas 1 SMP.
"Dasar aja si Bo'eng, ngambil istri pemalas gitu. Asal ketemu aja, sih!" umpat mertuaku.
Serba salah, ingin keluar pun aku sudah malu. Apakah mereka menganggap aku sebagai pembantu? Memang, pernikahan kami tidak direstui oleh keluarganya.
Setelah puas menyindir, mereka pun pergi. Mertuaku setiap paginya mengantarkan Risa sampai ke stasiun kereta, setelah itu ia akan pulang dan kembali melanjutkan tidurnya.
Aku keluar kamar saat Ibu dan anak itu pergi, menyapu, mengelap kaca, serta mencuci piring bekas mereka pakai tadi. Setelah bersih, aku kembali merendam pakaian di halaman depan—perkarangan depan lebih luas, jadi selain menjemur digunakan untuk mencuci pakaian juga—dan menyikat kamar mandi.
Aku memaksakan diri untuk melakukan semuanya, mumpung Fito masih tertidur pulas. Lapar begitu terasa, aku mencari sesuatu di dapur. Barangkali ada yang bisa dimakan. Tidak ada apa pun. Hanya kopi dan teh. Baiklah, aku memilih untuk menyeduh kopi instan.
Ibu menyusui memang mudah lapar. Aku harus bagaimana lagi? Suamiku tidak bekerja, untuk membeli sesuatu pun tidak mungkin. Pukul sembilan pagi, kerjaan rumah tangga telah selesai dikerjakan. Tinggal menunggu mertuaku pulang membawa sayuran dari pasar, itupun jika ia membelinya.
Baru saja ingin menyesap kopi yang hampir dingin, anakku menangis mungkin ia lapar, buru-buru aku menghampiri dan menggendongnya. Takut jika Mas Bo'eng terbangun, ia tidak suka mendengar suara tangis anaknya.
Tak lama, mertuaku pun pulang. Tanpa diperintah, gegas membukakan pintu pagar persis asisten rumah tangga yang sedang menunggu majikannya pulang.
Ada beberapa plastik belanjaan yang tergantung di motornya. Setelah mematikan mesin motor, ia masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sambil menggendong Fito, aku membawa semua belanjaan nyonya besar itu.