Pelakor Sebaya

Pelakor Sebaya

AmyJK

5.0
Komentar
430
Penayangan
20
Bab

Tergodanya seorang lelaki dengan salah satu mahasiswinya sendiri yang notabene sebaya dengan anak sulungnya. Semakin parahnya sakit sang istri hingga penolakan kedua anaknya membuat cerita ini menarik. Akankah dia tetap memilih sang kekasih atau kembali pada wanita yang sudah dia nikahi hampir 25 tahu lamanya?

Bab 1 Wanita Lain Di Ranjang yang Lain

Janice melenguh panjang saat sapuan hangat dari embusan napas lelaki di atasnya menelusuri seluruh tubuh sintalnya. Wanita 23 tahun itu meremas sprei hingga kusut. Mata lentiknya terpejam lama demi menikmati setiap detik kehangatan bersama Satriyo. Lelaki yang 20 tahun lebih tua darinya itu terus meluapkan seluruh kehangatannya pada wanita yang hampir dua minggu ini tidak ditemuinya.

"Mas ... jangan tinggalin Janice lagi, ya!" ucap Janice tak berdaya saat semua kenikmatan mencapai puncaknya. Satriyo tergeletak tak berdaya di samping tubuh Janice. Lengan kokohnya memeluk pinggang aduhai milik wanita itu.

Satriyo tersenyum manis di tengah kelelahannya. "Iya, Sayang." Sebuah kecupan hangat dan lama mendarat di kening sang wanita. Janice memeluk lelaki itu seolah tak ingin dipisahkan.

"Mas, sih, lama nggak ke sini!" Janice merajuk. Satriyo meraih dagu belahnya dan menciumnya sekilas. Wanita itu semakin cemberut.

"Kan Mas harus ngajar semester pendek, Sayang!"

"Ah, bohong!"

Janice melepaskan pelukan dan berbalik, membelakangi Satriyo. Lelaki itu tersenyum menatap punggung mulus Janice. Dia mendekat, meraba kulit sehalus porselen itu, dan mengecupnya. Lengan kokohnya melingkari pinggang Janice.

"Kok, bohong, sih. Mas jujur, lho!"

"Bilang aja lagi sibuk liburan sama mereka, iya, kan?"

Satriyo menarik tubuh Janice untuk menghadapnya. "Kok nggak percayaan gitu, sih, sama Mas?"

Janice masih cemberut. Membuat Satriyo semakin gemas. Dielusnya pipi halus tanpa make-up itu dengan lembut. Bibir sensual dan tebal Janice diusap dengan ibu jarinya. Gemas, Satriyo menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi. Janice berusaha memberontak. Namun sayang, dia juga sangat membutuhkan dan amat menyukai perlakukan Satriyo itu. Jadilah mereka kembali bergumul hangat di balik selimut yang menahan hawa dingin karena hujan di luar. Suara rintik hujan bagai backsound untuk kemesraan mereka di malam itu. Berpadu dengan suara desahan dan jeritan kecil menahan nikmat dari mulut keduanya. Seluruh kerinduan tumpah. Bersamaan dengan keringat dan cairan kenikmatan dari keduanya. Membuatnya terus terbuai hingga akhirnya lelah dan terlelap.

Dering ponsel membangunkan Janice. Wanita cantik itu menggeliat. Memerhatikan sekitar dan tersenyum menatap sosok di sampingnya. Sosok yang tengah melingkarkan lengannya di perut Janice. Sosok lelaki yang tengah tertidur pulas. Jemari Janice bergerak pelan mengusap bibir dan menelusuri wajahnya. Bibirnya tersenyum penuh bahagia.

"Aku sayang banget sama kamu, Mas," ucapnya pelan.

Tiba-tiba Satriyo bergerak dan memeluknya erat. Jemari lelaki itu menggelitik pinggang Janice. Janice berteriak geli dan meronta. Bukannya berhenti, Satriyo semakin beringas. Bukan hanya gelitikan, tapi ciuman dan gigitan kecil menghampiri tubuh seksinya.

"Udah, Mas. Please!" ucap Janice berusaha menahan gerakan Satriyo. Lelaki itu terengah-engah di atas tubuh Janice. Jemari Janice mengusap dada bidang dan kokoh lelaki yang sudah berkepala lima itu.

"Ada telepon tuh!" Janice melirik ponsel Satriyo di atas meja yang terus berdering sejak tadi. Satriyo hanya mencebik dan tak menoleh.

"Aku tidak peduli! Kamu mencuri perhatianku!" Satriyo menjawil hidung bangir wanita blasteran Indo-Rusia itu. Janice hanya tersenyum dan mengecup hidung Satriyo sekilas.

"Mas nggak ngajar?"

Satriyo bergerak. Dia duduk di tepi ranjang, menatap Janice yang berselimut tak sempurna di sampingnya. "Ngajar, kok, nanti jam 10."

Janice ikut duduk. Dia melendot manja dan bersandar di bahu Satriyo.

"Kenapa? Masih kangen, ya?"

Janice mengangguk cepat. Satriyo tersenyum. Dia meraih Janice ke dalam rengkuhannya. Jemari mereka saling bertaut. Menyalurkan kehangatan dan kerinduan masing-masing. Mereka saling tatap penuh arti.

"Nanti malem pasti nggak ke sini!" ucap Janice merajuk. Satriyo mengusap bibirnya pelan.

"Aku sudah dua hari nggak pulang, Sayang. Mereka nanti curiga!"

"Ah, biarin aja!"

"Kok gitu?"

"Ya biar mereka sekalian tahu hubungan kita."

"Ehm, jangan sekarang, ya. Sabar, ya!"

"Sampai kapan?"

Satriyo mengerling dan berpikir. "Entahlah!"

Janice merajuk. Dia bangkit dan meninggalkan Satriyo di ranjang. Tubuh sintal dan padat itu tanpa busana. Dia melenggang menuju kursi. Satriyo menahan napas memperhatikan tubuh yang semalaman dipeluknya itu. Janice meraih kimono dan mengenakannya. Dia duduk di kursi rias, menyisir rambut.

"Aku juga butuh kepastian, Mas."

Satriyo menghela napas panjang. Dia menatap Janice dari pantulan cermin. Wanita itu tengah membersihkan wajahnya dengan kapas dan pembersih.

"Mas tega ngeliat aku hidup begini terus?"

Satriyo menunduk. Matanya menatap benda perak yang melingkari jari manisnya. Cincin yang sudah ada di sana 20 tahun ini. Benda yang juga masih melingkar dengan setia di jari yang lain.

"Emang Mas nggak bosen liat Mbak Manda terus? Masih sakit-sakitan kan dia?"

Dada Satriyo berdesir halus. Mendengar nama Manda, dia mendadak resah. Ada rasa bersalah ketika wanita yang mengenakan cincin satunya itu membayang di dalam pikirannya. Apalagi dia muncul di saat-saat seperti ini. Saat dia tengah bersama wanita muda yang empat bulan ini dia sembunyikan. Wanita muda, cantik, dan menggoda yang sering dia jumpai di kampus tempat dia mengajar.

"Ehm, kamu ujian jam berapa?" tanya Satriyo seolah mengalihakn pembicaraan. Janice menoleh dengan wajah masam. Di kembali merengut.

"Malah ngalihin topik!" rutuknya.

Satriyo hanya tersenyum. Dia berdiri, menutupkan handuk di tubuh bagian bawahnya. Lelaki itu menuju meja, mengambil ponsel. Matanya sempat melihat name tag-nya yang berdekatan dengan kartu ujian Janice. Satriyo Singgih yang bersebelahan dengan kartu nama bertuliskan Janice Michella Harsono lengkap dengan foto cantik wanita itu.

"Mau Mas anterin atau ...."

"Naik mobil sendiri aja! Lagian kan Mas langsung pulang ke rumah!" jawab Janice sewot. "Pulang ke rumah tempat anak dan istri Mas tercinta!"

Janice membanting daun pintu kamar mandi dengan keras, meninggalkan Satriyo yang menggelengkan kepala dan terkekeh.

"Tapi tetap kamu tempat Mas pulang sesungguhnya, Sayang!" ucap Satriyo sedikit berteriak dari lubang kunci daun pintu kamar mandi. Janice yang mendengar itu tersenyum senang. Semakin tersenyum saat menatap pantulan wajah semringahnya di cermin. Dengan cepat dia bergerak, menarik lengan Satriyo yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Lelaki itu terkejut, tapi kemudian langsung mengangkat tubuh Janice hingga menempel di dinding. Mereka berpagut mesra.

Sementara di sebuah rumah mewah yang lain. Seorang wanita dengan wajah pucat menatap ke halaman. Seolah menunggu seseorang. Kacamatanya berembun karena terlalu dekat dengan teras dan terkena embun dari hujan deras yang belum juga reda.

"Mami ngapain di situ, sih?" tegur seorang remaja dengan seragam SMA mendekati kursinya. Gadis berlesung pipi dan berkulit manis itu adalah Pelangi. Kilau Pelangi Princhesa Satriyo, begitu nama di name tag seragamnya. Dia berjongkok di samping sang mami. Hidung dan bibirnya menciumi tangan yang mulai keriput, tapi tetap halus itu.

"Nggak apa-apa, Nak. Seneng aja liat hujan."

"Seneng apa lagi mikir yang lain?" celetuk seorang lelaki dari dalam. Dia mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya yang masih basah. Membuat cipratan airnya mengenai Pelangi.

"Abang Langit! Basah ini!" teriaknya. Yang dipanggil Langit hanya tergelak lantas memapah sang mama untuk masuk ke rumah.

"Haha, kan kamu belum mandi! Weekk!"

Pelangi merutuk kesal. Sementara mami mereka hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Mereka lantas duduk berdekatan di meja makan. Satu kursi masih kosong. Kursi untuk kepala keluarga mereka. Namun kemudian terisi karena Langit duduk di sana.

"Yuk, aku yang pimpin doa!" ucap Langit menengadahkan tangan, memimpin doa sebelum makan.

Sarapan yang dibuat Pelangi memang enak, tapi tetap terasa hambar di lidah Manda. Wanita 50 tahun itu menahan getir ketika menyadari sang suami yang sudah dua hari ini tidak pulang. Entah ke mana dia sekarang, Manda hanya bisa menebak. Berbeda dengan kedua anaknya yang hanya tahu jika papi mereka tengah lembur dan disibukkan dengan tugasnya sebagai seorang dosen. Langit percaya itu, karena di kampus dia masih sering bertemu sang papi. Begitupun Pelangi yang juga sering melihat papinya ketika di musola kampus yang bersebelahan dengan yayasan tempat dia bersekolah.

Hujan terus turun, bahkan semakin deras. Langit memutuskan menggunakan mobil maminya untuk ke kampus sekalian mengantar sang adik. Manda melepas mereka dengan senyum bangga. Senyum yang menutupi luka yang mulai menimbulkan borok bernanah karena terlalu lama dipendam. Luka yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Juno Lane
5.0

Sabrina dibesarkan di sebuah desa terpencil selama dua puluh tahun. Ketika dia kembali ke orang tuanya, dia memergoki tunangannya berselingkuh dengan saudara angkatnya. Untuk membalas dendam, dia tidur dengan pamannya, Charles. Bukan rahasia lagi bahwa Charles hidup tanpa pasangan setelah tunangannya meninggal secara mendadak tiga tahun lalu. Namun pada malam yang menentukan itu, hasrat seksualnya menguasai dirinya. Dia tidak bisa menahan godaan terhadap Sabrina. Setelah malam penuh gairah itu, Charles menyatakan bahwa dia tidak ingin ada hubungan apa pun dengan Sabrina. Sabrina merasa sangat marah. Sambil memijat pinggangnya yang sakit, dia berkata, "Kamu menyebut itu seks? Aku bahkan tidak merasakannya sama sekali. Benar-benar buang-buang waktu!" Wajah Charles langsung berubah gelap. Dia menekan tubuh Sabrina ke dinding dan bertanya dengan tajam, "Bukankah kamu mendesah begitu tidak tahu malu ketika aku bersamamu?" Satu hal membawa ke hal lain dan tidak lama kemudian, Sabrina menjadi bibi dari mantan tunangannya. Di pesta pertunangan, sang pengkhianat terbakar amarah, tetapi dia tidak bisa meluapkan kemarahannya karena harus menghormati Sabrina. Para elit menganggap Sabrina sebagai wanita kasar dan tidak berpendidikan. Namun, suatu hari, dia muncul di sebuah pesta eksklusif sebagai tamu terhormat yang memiliki kekayaan miliaran dolar atas namanya. "Orang-orang menyebutku lintah darat dan pemburu harta. Tapi itu semua omong kosong belaka! Kenapa aku perlu emas orang lain jika aku punya tambang emas sendiri?" Sabrina berkata dengan kepala tegak. Pernyataan ini mengguncang seluruh kota!

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku