Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Suasana kian membaik jika kita menikmati obrolannya.”
Diana Asha Avanti, gadis berumur 17 tahun itu baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengenakan seragam putih abu-abu–terlihat rapi dan cantik.
“Selamat pagi, Bunda.” Diana menyapa Kalya, sang ibundanya dengan wajah ceria.
“Pagi juga sayang,” jawabnya yang tak kalah ceria. “Maaf, ya, bunda udah sarapan duluan mau ke rumah sakit lebih awal. Bunda berangkat dulu, ya.” Kalya mengecup kening putrinya lalu menginjakkan kakinya keluar rumah. “Oh, iya, kamu harus sarapan, ya!” seru Kalya yang sudah di teras rumah.
“Siap, Bunda!” teriak Diana dari dalam.
Sesampainya di sekolah, Diana menyapa teman kelasnya hingga suasana kelas menjadi riuh seketika. Diana duduk bersama Lava, sahabat yang paling mengerti dirinya. Tidak lama kemudian, datanglah Olivia yang membawa sekantong buah manggis untuk dibagi-bagikan ke teman-temannya.
“Diana,” panggil Oliv setelah duduk di kursi–belakang meja Diana.
“Tumben berangkat agak siangan,” ledek Diana yang masih belum tahu kalau Oliv membawakan buah kesukaannya.
“Iya nih, gue habis pilah-pilih manggis soalnya bokap gue baru pulang dari Jakarta.” Oliv memperlihatkan buah manggisnya pada Diana dan Lava. Mata Diana spontan melebar dengan keterkejutan itu.
“Mau, mau,” ucap Diana bersemangat.
“Ambil dua aja, ya! Mau gue bagikan ke teman yang lain,” titah Oliv.
Diana langsung melayangkan tangannya–mengambil dua manggis sesuai instruksi dari Oliv. Sedangkan Lava tidak berminat sama sekali karena ia memang tidak menyukainya.
Setelah Diana mengambil manggis itu, Oliv menuju ke meja teman lainnya untuk membagikan buah manggisnya. Di sisi lain, Lava membunyikan tangannya pada Diana tanda ada pembicaraan yang mau disampaikan olehnya.
“Tahu nggak? Waktu gue naik angkutan umum, gue lihat Pak Danis pake motor. Asli deh ganteng banget! Helm hitam dengan masker hitam, ditambah alis tebalnya itu ... aduh, buat gue meleleh. Rasanya ingin peluk dari belakang!” kata Lava dengan nada bicaranya yang greget.
“Seriusan lo? Biasanya Pak Danis pakai mobil.” Diana tidak mempercayai ucapan Lava.
“Iih seriusan, Na. Pak Danis pakai motor hitam,” balas Lava yang meyakinkan Diana.
“Bener tuh, gue juga lihat,” sahut Shasa dari belakang–teman sebangku Oliv.
Diana menoleh ke samping beberapa detik, lalu menaikkan bahunya sedetik. “Nggak percaya!” ucap Diana dengan sengaja padahal dia sudah mempercayai Lava.
Melihat kelakuan Diana yang menyebalkan dan buat suasana hati Lava hancur. Akhirnya Lava mengeluarkan bukti akurat agar dipercayai sahabatnya. Lava mengeluarkan ponsel dari ransel, mengusap layarnya yang berhenti setelah menemukan foto yang dia cari.
“Nah, ketemu .... Coba lihat baik-baik, Na. Agak ngeblur sih, tapi udah cukup membuktikan bahwa omongan aku itu benar.” Lava menyerahkan ponselnya pada Diana.
“Oh,” respons Diana lalu menghadap ke depan lagi. Lava sungguh kecewa atas responsnya yang begitu menyebalkan. Belum ada 3 detik, Diana kembali menghadap samping untuk melihat ulang fotonya.
“Apa?” tanya Lava dengan nada yang ditinggikan.
Diana belum menjawabnya, ia malah memerhatikan terus foto itu.
“Ganteng kan?” sambar Oliv setelah melihat foto Pak Danis dari belakang.
“Ini ... gue kenal banget sama motornya. Persis motor ayah gue,” kata Diana yang membuat Lava dan Oliv tercengang tidak percaya.
“Seriusan! Itu ada stiker singa juga.” Diana meyakinkan mereka.
"Ah! Nggak percaya," ucap Lava sembari mengerutkan keningnya.
"Ada apa?" tanya seseorang dari belakang Diana.
Diana dan Lava masih saja memperhatikan foto Pak Danis. Kemudian, Oliv yang menjawabnya.
"Itu, katanya Pak Danis pake motornya ayahnya Diana," jawabnya lalu mengalihkan pandangannya pada sang penanya.
Oliv reflek melebarkan matanya, selang beberapa detik ia melepaskan senyuman terpaksa untuk menutupi rasa malunya.
"Pak Danis," gumam Oliv sambil sedikit menunduk.
Disusul Diana dan Oliv setelah mengetahui keberadaan Pak Danis yang sedang dibicarakan itu.
"Sudah, ya! Pelajaran akan saya mulai, silakan duduk dengan benar," titah Pak Danis yang berwibawa. Ia tidak terpancing obrolan mereka bertiga.