Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pertunangan Palsu

Pertunangan Palsu

Lintang Ayu

5.0
Komentar
10
Penayangan
10
Bab

Tidak pernah terlintas dalam benak Larasati Manurva dan Calvin Sanjaya untuk melakukan pertunangan palsu. Namun, gangguan dari para mantan membuat mereka berdua mengambil jalan untuk mengikat pertunangan palsu. Setelah para mantan tak lagi mengganggu mereka, mereka akan berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing dengan tenang. Namun, ketika sebuah kepura-puraan berubah menjadi cinta. Apa yang akan mereka lakukan? Bersatu atau tetap tidak percaya dengan cinta.

Bab 1 Petaka yang Datang Bertubi-tubi

Menjadi wanita berparas cantik bukan hanya sebuah anugerah buat saya, tetapi juga sebuah petaka. Contohnya sekarang, saya harus menanggung malu karena tengah dilabrak di lobi hotel oleh seorang wanita paruh baya dengan dandanan super menor. Saya menatap wanita gembul yang tengah memelotot ke arah saya. Bibir wanita itu merah menyala seperti cabe busuk, alisnya dilukis dengan sangat tebal seperti ulet bulu, dan rona merah di kedua pipi chubby-nya seperti bekas tamparan keras. Penampilannya persis seperti ondel-ondel yang biasa lewat di depan indekos saya. Kami saling tatap cukup lama.

Giginya gemerutuk seakan-akan tengah menahan amarah, sedangkan saya mencoba terlihat tenang.

"Saya harap, kamu tidak lagi menampakkan diri di depan suami saya!" hardik wanita itu. Jangan lupakan telunjuk kanannya yang menunjuk-nunjuk hidung mancung saya.

"Aduh, Bu. Bagaimana saya tidak akan menampakkan diri di depan suami, Ibu. Saya kan sekretarisnya suaminya Ibu," balas saya sedikit gemas.

Mata dan mulut wanita itu membulat sempurna, seakan-akan hendak memakan saya bulat-bulat. Ia seperti tidak memercayai ucapan saya. Bodo amat! Memang seperti itu, kok, kenyatannya. Saya sekretaris dan suaminya adalah atasan saya, bagaimana caranya kami bekerja kalau tidak boleh menampakkan diri di depan suaminya. Hantu kali, tidak menampakkan diri. Saya rasa ibu-ibu memang tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya sudah diselimuti rasa cemburu yang membabi buta.

"Sekretaris? tapi kelakuan seperti jalang. Sekretaris macam apa yang janjian dengan atasannya di sebuah hotel?" Amarah wanita itu pecah.

Brengsek!

Ngadi-ngadi banget itu mulut ibu-ibu! Saya dibilang jalang? Waah, ngajak gulat ini namanya. Namun, saya tetap berusaha tenang dan tidak terpancing oleh omongannya.

"Apa? Gak suka saya bilang jalang?"

Saya sudah berusaha sabar dan menghormati beliau karena lebih tua dan juga istri dari bos saya, tapi kok mulutnya seperti petasan yang dinyalakan pas malam tahun baru. Dar! Der! Dor! Enggak karuan sampai-sampai memekakkan telinga dan membakar hati saya. Namun, lagi-lagi saya berusaha tetap menahan diri. Saya tidak mau jika saya terpancing justru membuat ibu-ibu itu makin kalap dan menjadi-jadi. Makin malu saya dibuatnya.

Saya mengelus dada sembari mengucap istighfar berkali-kali. Tuduhan macam itu memang sudah sering saya terima, tetapi tetap saja membuat dada ini sesak. Namun, melihat siapa yang sedang saya hadapi, membuat saya enggan melawan. Baru beberapa bulan saya bekerja di perusahaan suami wanita itu, masa iya harus dipecat gara-gara berantem sama istri bos. Jadi pengangguran lagi? Tidak! Susah payah saya mencari pekerjaan, masa hanya karena masalah seperti ini saja saya menyerah. Saya kuat! Saya harus kuat menjalani hinaan ini. Saya menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Berharap memberi sedikit ketenangan.

"Mau nganuan kamu sama suami saya? Merayu suami saya, biar dinaikkan gaji kamu, makanya kamu dengan suka rela mau menaikkan rok kamu yang kekurangan bahan itu?" cecarnya lagi.

Mendengar tuduhannya barusan membuat emosi saya berdesak-desakan menjebol pertahanan. Saya diam bukan berarti saya bersedia dihina dan difitnah sedemikian keji.

"Aduh, Ibu jangan sembarangan ya kalau ngomong. Memangnya saya cewek apakah? Yang mau nganuan sama atasan yang bukan suami saya. Cantik jelita begini, saya juga punya otak, Bu. Punya harga diri."

Saya tak menghiraukan lagi soal pekerjaan. Masih banyak pekerjaan di luar sana. Saya hanya butuh berusaha lagi. Wanita bertubuh gempal itu telah menginjak-injak harga diri saya dan saya wajib hukumnya membela diri. Enak saja! Saya wanita baik-baik, tetapi justru dituduh macam-macam tanpa bukti. Saya tidak terimalah. Siapa pun juga pasti tidak akan terima jika diperlukan seperti saya.

"Mana ada maling ngaku!" hardiknya lagi.

Kobaran api di dada saya semakin menyala-nyala, mata saya mulai memerah menahan tangis. Baru kali ini saya dipermalukan di depan publik dengan sedemikian kejinya. Sakit hati saya.

"Saya bukan maling, Bu! Saya ke sini karena alasan pekerjaan."

"Pekerjaan seperti apa di hotel hampir tengah malam begini? Ngelonte?"

Astaghfirullah!

Mulut ibu itu benar-benar semakin menjadi-jadi. Ingin sekali saya mengucir bibir menor itu dengan dua karet. Biar pada tahu bahwa ucapan-ucapan wanita itu sangat pedas seperti goda-gadonya Wa Casmih yang ada di samping indekos saya.

"Bu, saya wanita baik-baik."

"Mana ada wanita baik-baik dengan pakaian kekurangan bahan seperti itu masuk hotel malem-malem. Buat apa?"

Orang-orang yang lewat memerhatikan pertengkaran kami. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang berhenti. Mereka kira saya dan wanita menor itu akan melakukan atraksi jambak-jambakan mungkin. Sehingga mereka dengan sengaja menghentikan langkah dan mencari tempat yang nyaman untuk menonton. Dasar netizen negeri berflower. Mereka memang tidak ada kerjaan sama sekali! Huru-hara saja ditonton. Bedebah sekali!

"Saya ke sini atas permintaan Bapak."

"Pasti karena kamu rayu-rayu, kan?" selanya.

Saya benar-benar sudah tidak tahu harus bagaimana mana cara menjelaskan alasan keberadaan saya di sini. Tiap saya mencoba menjelaskan selalu saja disela olehnya.

Padahal saya ke hotel atas permintaan suaminya karena disuruh mengantarkan cincin yang tertinggal di ruang kerjanya. Sudah disuruh lembur, pulangnya disuruh nganterin cincin yang tertinggal, dan kini dituduh jadi perempuan enggak bener. Ngenes banget hidup saya. Padahal kata orang-orang, memiliki paras cantik, penampilan good looking itu adalah anugerah. Lalu, lihatlah saya sekarang ini. Memprihatinkan sekali, kan?

Apa salahnya coba memiliki paras cantik, dan berpenampilan seperti ini? Selalu saja dituduh wanita nakal. Meski banyak lelaki mendamba, tetapi, cinta saya hanya untuk Mas Adi seorang. Apalagi demi Pak Andry--Bos tempat saya kerja--jangan harap atasan saya yang seorang CEO di perusahaan ternama di Asia Tenggara itu bak tokoh-tokoh di dalam cerita wattpad. Tidak pemirsah. Beliau itu berkulit hitam, tubuh tambun, subur, makmur, hidung pesek dengan rambut ikal dan jangan lupakan bau badan yang menyengat.

"Halah! Sekali wanita gak bener ya tetep gak bener!" tuduh wanita bergigi emas itu membuyarkan lamunan saya.

Ya, Tuhan. Saya mengipas wajah dengan jemari tangan. Mencoba mengusir emosi yang semakin menguasai diri. Saya tidak boleh kalah. Saya harus kuat!

"Saya wanita baik-baik, ya, Bu. Saya sekretarisnya suami Ibu. SE-KRE-TA-RIS!" sahut saya kesal.

Tadi dituduh maling, sekarang cewek nggak bener. Aduh-aduh, itu mulut apa irisan cabe? Pedes bener omongannya. Dosa apa yang telah saya perbuat di masa silam, sampe begini amat nasib saya, ya, Tuhan?

"Halah, banyak omong kamu!"

Plaak!

Sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi saya. Butiran bening lolos begitu saja dari pelupuk mata saya. Semua mata di sekitar lobi hotel menatap miris pada saya.

"Bu!" teriak seseorang di belakang saya.

"Ini, Pak. Cincin, Bapak. Mulai detik ini saya mengundurkan diri dari perusahaan Bapak," ucap saya sembari mengusap butiran bening yang membasahi pipi saya.

Setelah menyerahkan cincin itu, saya pun pergi meninggalkan sepanjang suami istri yang tengah terlibat percekcokan.

Kenapa nasib saya selalu begini, ya Allah? Kata orang memiliki paras cantik bak bidadari itu anugerah. Tapi mengapa saya selalu begini? Selalu disakiti lelaki, dan dituduh macam-macam oleh para wanita yang takut pasangannya akan saya rebut. Di saat sedih seperti ini, hanya Mas Adi yang mampu membuat hati saya tenang kembali. Akhirnya, saya memutuskan untuk menemuinya.

Mata saya mengedar mencari taksi. Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil sedan berwarna biru terlihat mendekat. Saya melambaikan tangan. Beberapa saat kemudian, taksi itu berhenti tepat di hadapan saya. Kuda besi itu perlahan meninggalkan lobi hotel setelah saya duduk di jok belakang dan menyebutkan alamat.

Sepanjang perjalanan saya terus menangis. Saya mengambil gawai di dalam tas, mencari nama Mas Adi di daftar kontak, lalu menekan tombol berwarna hijau di layar ponsel. Terdengar sambung telepon, tetapi tidak juga diangkat. Saya ulangi sampai beberapa kali, tetapi tetap sama, tidak ada jawaban.

Mas Adi kenapa tidak angkat telepon? Kok, tumben. Biasanya ponselnya tidak pernah lepas dari genggamannya, meskipun tengah bekerja maupun sedang berduaan dengan saya. Karena dia terlalu sibuk dengan benda pipih itulah yang membuat kami sering bertengkar. Saya menaruh kembali ponsel ke dalam tas, memilih melihat pemandangan luar dari kaca mobil. Mencoba mengabaikan ucapan-ucapan pedas dari perempuan menor itu yang masih menguasai kepala.

Taksi berhenti tepat di depan rumah bercat putih gading. Saya turun dari mobil setelah lebih dulu membayar taksi. Membuka pintu pagar, lalu berlari kecil menuju pintu rumah Mas Adi yang megah. Namun, baru beberapa langkah, kaki saya terhenti. Mata saya menangkap dua pasang manusia tengah berpelukan dengan bibir saling mengunci.

Sial! Entah kenapa, mata saya masih tertuju pada kedua objek di sana. Adegan mereka terlihat semakin memanas. Posisi bibir yang masih saling melumat, disertai gerakan tangan bergerilya saling menjamah satu sama lain.

Butiran bening kembali jatuh dari pelupuk mata. Isakan keluar dari bibir, hingga salah satu dari mereka menyadari keberadaan saya.

"Laras?" ucap lelaki berkemeja putih itu panik. Sedangkan wanita di depannya terlihat sibuk merapikan rambut yang terlihat berantakan. Hati saya hancur, melihat pengkhianatan kekasih dan juga sahabat saya sendiri, Dian. Saya pun berbalik, berlari meninggalkan mereka.

"Sayang, tunggu dulu!" teriak Mas Adi.

Namun, saya tetap berlari sekencang mungkin. Mengabaikan panggilan Mas Adi yang kini suaranya semakin menjauh.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku