Istri Pengganti, Cinta Suami Untuk Lain

Istri Pengganti, Cinta Suami Untuk Lain

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
27
Bab

Aku mencintai suamiku, Yoga, selama sepuluh tahun, tapi lima tahun pernikahan kami hanya diisi dengan sikap dinginnya. Lalu aku menemukan kebenaran yang menghancurkan hatiku. Aku hanyalah pengganti untuk menenangkan keluarganya, sementara dia diam-diam membiayai dan mencintai adik angkatnya, Meiliana. Pernikahan kami yang palsu ini terasa seperti tipuan kejam. Aku memutuskan untuk mengakhiri sandiwara ini. Dengan cerdik, aku menyodorkan surat cerai yang kusebut sebagai dokumen asuransi mendesak. Yoga, yang perhatiannya teralihkan oleh rengekan manja Meiliana, menandatanganinya tanpa membaca. Satu tahun kemudian, aku terlahir kembali. Karierku sukses, dan aku bertunangan dengan Luki, pria yang lembut dan penuh kasih. Namun, Yoga yang penuh penyesalan tiba-tiba muncul, memohon kesempatan kedua. Bahkan Meiliana datang dan membenarkan cinta Yoga untukku, membuat hatiku goyah. Terjebak di antara cinta masa lalu yang menyakitkan dan kebahagiaan masa kini, aku harus membuat pilihan. Kali ini, aku memilih diriku sendiri.

Bab 1

Aku mencintai suamiku, Yoga, selama sepuluh tahun, tapi lima tahun pernikahan kami hanya diisi dengan sikap dinginnya.

Lalu aku menemukan kebenaran yang menghancurkan hatiku. Aku hanyalah pengganti untuk menenangkan keluarganya, sementara dia diam-diam membiayai dan mencintai adik angkatnya, Meiliana.

Pernikahan kami yang palsu ini terasa seperti tipuan kejam.

Aku memutuskan untuk mengakhiri sandiwara ini. Dengan cerdik, aku menyodorkan surat cerai yang kusebut sebagai dokumen asuransi mendesak.

Yoga, yang perhatiannya teralihkan oleh rengekan manja Meiliana, menandatanganinya tanpa membaca.

Satu tahun kemudian, aku terlahir kembali. Karierku sukses, dan aku bertunangan dengan Luki, pria yang lembut dan penuh kasih.

Namun, Yoga yang penuh penyesalan tiba-tiba muncul, memohon kesempatan kedua. Bahkan Meiliana datang dan membenarkan cinta Yoga untukku, membuat hatiku goyah.

Terjebak di antara cinta masa lalu yang menyakitkan dan kebahagiaan masa kini, aku harus membuat pilihan. Kali ini, aku memilih diriku sendiri.

Bab 1

Kinan POV:

Aku tahu sudah berakhir. Sudah waktunya.

Aku mengambil ponselku, jariku mengetik nomor yang kudapatkan dari seorang teman. Suaraku bergetar saat aku menjelaskan situasiku kepada wanita di seberang sana.

"Saya ingin bercerai," kataku, kata-kata itu terasa asing di lidahku, namun melegakan.

Beberapa hari kemudian, aku duduk di kantor pengacara yang rapi dan modern. Nama di plat meja, "Sarah Wijaya," bersinar di bawah lampu. Sarah adalah wanita berpenampilan cerdas dengan tatapan tajam yang langsung menembus ragu-raguku.

Dia menjelaskan langkah-langkahnya, setiap kata terasa seperti palu yang menghantam kenyataan pahit ini.

"Prosesnya akan memakan waktu," katanya, "Kita butuh tanda tangan suami Anda pada dokumen persetujuan perceraian. Dan masa tenang 30 hari."

Aku mengangguk, hatiku mengeras.

"Saya akan mendapatkan tanda tangannya," jawabku, tekadku jauh lebih kuat dari suaraku yang pelan.

Sarah mengangguk, seolah sudah terbiasa dengan janji-janji putus asa semacam itu.

"Baiklah. Draf dokumen akan siap besok," katanya.

Esoknya, sebuah amplop tebal tergeletak di meja dapurku. Aku membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada berkas-berkas tipis yang akan mengakhiri segalanya.

Aku menatap dokumen itu, pikiranku melayang kembali ke beberapa minggu yang lalu, saat duniaku benar-benar runtuh.

Saat itu, aku menemukan sebuah folder tersembunyi di laptop Yoga. Isinya adalah catatan keuangan lengkap, detail transfer bank, pembayaran sewa apartemen mewah, dan biaya kuliah kedokteran yang fantastis. Semua atas nama Meiliana Tendean. Adik angkat Yoga. Adik angkat yang cantik, polos. Dan yang paling menyakitkan, adik angkat yang diam-diam dicintai Yoga.

Pernikahan kami yang seolah hanya sandiwara demi menenangkan keluarga, kini terasa seperti tipuan yang kejam.

Aku memutuskan, ini saatnya untuk mengakhiri sandiwara ini.

Aku harus melakukannya dengan cerdik.

Pagi itu, aku pergi ke rumah sakit tempat Yoga bekerja. Udara dingin rumah sakit menusuk tulang, sama dinginnya dengan hatiku. Aku melihat Yoga dari jauh, berdiri di lobi. Dia mengenakan jas dokternya, tampak berwibawa, wajahnya tegas seperti biasanya. Dokter bedah jantung Yoga Al-Jufri, sang pujaan hati banyak wanita, dan suamiku.

Dia melihatku, alisnya sedikit terangkat. Tidak ada senyum ramah, hanya sedikit keterkejutan di matanya.

Aku berjalan mendekat, seolah-olah aku hanya kebetulan lewat.

"Halo, Yoga," sapaku, suaraku datar, entah bagaimana aku bisa mengendalikannya.

Dia mengangguk. "Ada apa?"

Aku memegang amplop berisi surat cerai itu dengan erat, kusembunyikan di balik tasku.

"Aku butuh tanda tanganmu untuk sesuatu," kataku, berusaha terdengar sesantai mungkin.

Dia menatapku, tatapannya menyiratkan kebosanan.

"Apa itu?" tanyanya, tidak ada sedikit pun rasa penasaran.

"Ini dokumen asuransi kesehatan keluarga yang mendesak. Ada sedikit perubahan pada polis kita, dan harus segera ditandatangani hari ini," kataku, menekan kata 'mendesak' agar terdengar penting.

Dia mengambil amplop itu dariku, jari-jarinya yang panjang membolak-balik lembaran. Aku melihatnya sedikit mengerutkan kening. Kebiasaannya sebagai dokter bedah, membaca setiap detail. Jantungku berdebar kencang. Apakah dia akan membacanya? Apakah dia akan tahu?

Tiba-tiba, suara manja terdengar dari belakangnya.

"Kak Yoga!"

Meiliana.

Dia muncul di sudut, mengenakan gaun cantik, tangannya menggenggam tas bermerek yang baru. Senyumnya lebar, matanya berbinar saat melihat Yoga.

Yoga mengalihkan pandangannya dari dokumen di tangannya, matanya langsung melembut. Senyum tipis yang tak pernah kulihat ditujukan padaku, kini terukir di bibirnya.

"Mei," jawabnya, suaranya lebih hangat dari yang pernah kudengar selama lima tahun pernikahan kami.

Meiliana berjalan mendekat, menyampirkan lengannya ke lengan Yoga. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku berdiri di sana, seperti hantu.

"Kakak sudah selesai? Aku lapar sekali," rengeknya.

Yoga kembali menatap dokumen di tangannya. Aku melihat tatapan 'bosan' itu lagi.

"Ini dokumen penting?" tanyanya, tapi lebih kepada dirinya sendiri.

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya. Dia menatap Meiliana, yang kini merengek lebih keras.

Yoga menghela napas. Dia mengambil pena dari sakunya dan membubuhkan tanda tangannya di lembar terakhir tanpa membaca. Cepat. Acuh tak acuh.

Dia mengembalikannya padaku.

"Sudah. Aku harus pergi sekarang," katanya, tanpa menungguku bicara, dia sudah berbalik, mengikuti Meiliana yang sudah berjalan duluan.

Aku merasa lega sekaligus pahit. Dia bahkan tidak melirikku lagi. Aku tahu dia tidak membaca. Aku tahu dia tidak peduli.

Aku berjalan keluar dari rumah sakit, napas yang kutahan kini terlepas. Kemenangan ini terasa dingin di dadaku.

Saat aku melangkah menjauh, aku mendengar tawa Meiliana yang renyah dan suara Yoga yang lebih lembut dari yang pernah kudengar, "Bagaimana harimu, Mei? Ada yang mengganggumu?"

Meiliana menjawab, suaranya dipenuhi manja, "Kakak tahu kan, mantan suamiku itu terus-terusan menggangguku. Aku takut sekali."

Yoga terdiam sejenak. "Jangan khawatir. Aku akan melindungimu. Selamanya."

Aku tersenyum miris. Selamanya. Kata itu... betapa kosongnya.

Pernikahan kami, yang sudah berjalan lima tahun, adalah rahasia. Hanya orang tua kami yang tahu. Yoga ingin begitu. Aku pikir itu hanya sementara, tapi setelah lima tahun, sikapnya padaku tetap dingin dan acuh tak acuh.

Aku mencintainya sejak kami kuliah. Cinta pertamaku. Aku mengejarnya bertahun-tahun. Dia selalu dingin pada semua orang, jadi aku tidak pernah merasa itu untukku saja. Setelah kami berdua lulus, kami sempat putus kontak. Tapi aku tidak pernah melupakannya.

Tiga tahun lalu, sebuah perjodohan aneh menyatukan kami kembali. Orang tuaku dan orang tuanya adalah teman lama. Mereka ingin menyatukan kami. Aku sangat gembira. Yoga setuju. Aku tidak bertanya alasannya, aku hanya terlalu bahagia.

Aku pikir aku akhirnya bisa memasuki dunianya.

Tapi tidak.

Setelah menikah, perlahan aku mulai menyadari. Dinginnya Yoga bukan karena dia memang seperti itu. Dinginnya Yoga itu untukku. Dia mencintai wanita lain. Cinta sejatinya. Meiliana. Adik angkatnya.

Meiliana adalah adik dari sahabat lamanya. Mereka tumbuh bersama. Meiliana melihat Yoga sebagai kakaknya, pelindungnya. Tapi Yoga, dia mencintainya. Diam-diam. Sampai Meiliana menikah dengan pria lain, Yoga patah hati.

Dan karena patah hati itu, dan desakan keluarga kami, dia menikahiku.

Selama tiga tahun ini, aku berusaha. Aku mencoba menjadi istri yang sempurna. Aku memasak makanan kesukaannya, menemaninya di acara-acara sosial (yang sangat jarang, dan selalu sembunyi-sembunyi), bahkan mencoba menyukai hal-hal yang dia suka. Tapi dia... dia selalu acuh tak acuh.

Perlahan, kepercayaan diriku hancur. Aku bertanya-tanya, apa salahku? Kenapa dia tidak pernah melihatku?

Sampai suatu malam, aku menemukan sebuah album foto di laci mejanya. Album itu penuh dengan foto-foto Meiliana. Dari dia kecil, remaja, hingga dewasa. Dan yang paling menyakitkan, album itu terus diperbarui setelah kami menikah. Setiap senyum Meiliana, setiap detail kehidupannya, terekam di sana. Yoga merawatnya dengan sangat hati-hati.

Aku merasa seperti orang bodoh. Aku merasa sangat terabaikan, bahkan dalam hal yang seharusnya menjadi milikku.

Lalu, sebulan yang lalu, Yoga pulang dalam keadaan mabuk. Dia tak pernah mabuk. Dia tertawa, senyumnya begitu lebar, matanya berbinar-binar. Dia memelukku, memanggil nama Meiliana.

"Mei sudah bercerai," katanya, suaranya dipenuhi kebahagiaan yang meluap-luap.

Jantungku hancur. Aku tahu saat itu juga. Dia bahagia karena Meiliana bercerai. Itu berarti dia punya kesempatan lagi. Dan aku... aku hanya penghalang.

Aku memutuskan. Ini sudah berakhir.

Aku pulang ke apartemen kami yang dulunya terasa seperti surga, kini terasa seperti penjara. Aku menatap foto pernikahan kami di dinding. Aku tersenyum pahit. Cinta pertamaku. Pria yang kutunggu sepuluh tahun. Pria yang kuharap bisa kumasuki hatinya.

"Kau tidak pernah mencintaiku," bisikku pada foto itu. Mataku berair, tapi aku tidak menangis. Aku sudah terlalu lelah untuk menangis.

Aku melepaskan foto itu dari dinding, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Kaca pecah berderai. Aku tidak peduli.

Sepanjang malam, aku menyusun rencana. Aku menghubungi pengacara. Aku mengumpulkan semua dokumen. Aku memikirkan pembagian harta. Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin bebas.

Yoga pulang larut malam. Dia melihat tempat kosong di dinding.

"Foto pernikahan kita ke mana?" tanyanya, suaranya sedikit terkejut.

"Oh, itu. Aku tidak terlalu suka posisinya. Aku akan mencari tempat baru nanti," jawabku santai.

Dia hanya mengangguk, tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak peduli.

Dia masuk ke dapur, lalu kembali membawakan semangkuk sup pedas, meletakkannya di meja kerjaku.

Sup. Pedas.

Aku menatap sup itu, lalu menatapnya. Dia sudah masuk ke ruang kerjanya.

Aku menghentikan tulisanku. Aku melihat sup pedas itu.

Aku menderita maag kronis. Aku tidak bisa makan pedas. Selama tiga tahun ini, tidak sekali pun dia tahu. Dulu, aku akan memaksakan diri memakan makanan pedas agar kami punya kesamaan. Agar dia melihatku. Tapi sekarang...

Aku mengambil mangkuk itu dan tanpa ragu, membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak mau lagi menipu diri sendiri. Tidak mau lagi berpura-pura.

Aku akan meninggalkan semua rasa sakit, semua kesedihan. Aku akan meninggalkan diriku yang lama.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku