Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Me And My Choice

Me And My Choice

Foeyaisfala

5.0
Komentar
28
Penayangan
5
Bab

Ini kisah Diana yang mengagumi guru biologinya. Namanya, Danis Devanka. Seorang guru muda berusia 24 tahun yang tidak hanya dikagumi oleh Diana, melainkan siswa perempuan di sekolahnya. Bahkan, guru-guru juga banyak yang tertarik dengan Pak Danis karena ketampanannya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya terpana. Tak disangka, guru favorit Diana adalah jodohnya. Ralat, orangtua Diana menjodohkan Diana dengan Danis dengan dalih kedua orangtua mereka berteman baik dan saling memercayainya. Di situlah Diana merasa dilema, antara percaya dan tidak percaya. Yang jelas kehidupan Diana berubah setelah tahu Danis adalah calon suaminya karena Danis selalu ikut campur dalam masalah pribadi yang Diana hadapi.

Bab 1 Berangan-angan bersama Guru

"Suasana kian membaik jika kita menikmati obrolannya."

Diana Asha Avanti, gadis berumur 17 tahun itu baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengenakan seragam putih abu-abu–terlihat rapi dan cantik.

"Selamat pagi, Bunda." Diana menyapa Kalya, sang ibundanya dengan wajah ceria.

"Pagi juga sayang," jawabnya yang tak kalah ceria. "Maaf, ya, bunda udah sarapan duluan mau ke rumah sakit lebih awal. Bunda berangkat dulu, ya." Kalya mengecup kening putrinya lalu menginjakkan kakinya keluar rumah. "Oh, iya, kamu harus sarapan, ya!" seru Kalya yang sudah di teras rumah.

"Siap, Bunda!" teriak Diana dari dalam.

Sesampainya di sekolah, Diana menyapa teman kelasnya hingga suasana kelas menjadi riuh seketika. Diana duduk bersama Lava, sahabat yang paling mengerti dirinya. Tidak lama kemudian, datanglah Olivia yang membawa sekantong buah manggis untuk dibagi-bagikan ke teman-temannya.

"Diana," panggil Oliv setelah duduk di kursi–belakang meja Diana.

"Tumben berangkat agak siangan," ledek Diana yang masih belum tahu kalau Oliv membawakan buah kesukaannya.

"Iya nih, gue habis pilah-pilih manggis soalnya bokap gue baru pulang dari Jakarta." Oliv memperlihatkan buah manggisnya pada Diana dan Lava. Mata Diana spontan melebar dengan keterkejutan itu.

"Mau, mau," ucap Diana bersemangat.

"Ambil dua aja, ya! Mau gue bagikan ke teman yang lain," titah Oliv.

Diana langsung melayangkan tangannya–mengambil dua manggis sesuai instruksi dari Oliv. Sedangkan Lava tidak berminat sama sekali karena ia memang tidak menyukainya.

Setelah Diana mengambil manggis itu, Oliv menuju ke meja teman lainnya untuk membagikan buah manggisnya. Di sisi lain, Lava membunyikan tangannya pada Diana tanda ada pembicaraan yang mau disampaikan olehnya.

"Tahu nggak? Waktu gue naik angkutan umum, gue lihat Pak Danis pake motor. Asli deh ganteng banget! Helm hitam dengan masker hitam, ditambah alis tebalnya itu ... aduh, buat gue meleleh. Rasanya ingin peluk dari belakang!" kata Lava dengan nada bicaranya yang greget.

"Seriusan lo? Biasanya Pak Danis pakai mobil." Diana tidak mempercayai ucapan Lava.

"Iih seriusan, Na. Pak Danis pakai motor hitam," balas Lava yang meyakinkan Diana.

"Bener tuh, gue juga lihat," sahut Shasa dari belakang–teman sebangku Oliv.

Diana menoleh ke samping beberapa detik, lalu menaikkan bahunya sedetik. "Nggak percaya!" ucap Diana dengan sengaja padahal dia sudah mempercayai Lava.

Melihat kelakuan Diana yang menyebalkan dan buat suasana hati Lava hancur. Akhirnya Lava mengeluarkan bukti akurat agar dipercayai sahabatnya. Lava mengeluarkan ponsel dari ransel, mengusap layarnya yang berhenti setelah menemukan foto yang dia cari.

"Nah, ketemu .... Coba lihat baik-baik, Na. Agak ngeblur sih, tapi udah cukup membuktikan bahwa omongan aku itu benar." Lava menyerahkan ponselnya pada Diana.

"Oh," respons Diana lalu menghadap ke depan lagi. Lava sungguh kecewa atas responsnya yang begitu menyebalkan. Belum ada 3 detik, Diana kembali menghadap samping untuk melihat ulang fotonya.

"Apa?" tanya Lava dengan nada yang ditinggikan.

Diana belum menjawabnya, ia malah memerhatikan terus foto itu.

"Ganteng kan?" sambar Oliv setelah melihat foto Pak Danis dari belakang.

"Ini ... gue kenal banget sama motornya. Persis motor ayah gue," kata Diana yang membuat Lava dan Oliv tercengang tidak percaya.

"Seriusan! Itu ada stiker singa juga." Diana meyakinkan mereka.

"Ah! Nggak percaya," ucap Lava sembari mengerutkan keningnya.

"Ada apa?" tanya seseorang dari belakang Diana.

Diana dan Lava masih saja memperhatikan foto Pak Danis. Kemudian, Oliv yang menjawabnya.

"Itu, katanya Pak Danis pake motornya ayahnya Diana," jawabnya lalu mengalihkan pandangannya pada sang penanya.

Oliv reflek melebarkan matanya, selang beberapa detik ia melepaskan senyuman terpaksa untuk menutupi rasa malunya.

"Pak Danis," gumam Oliv sambil sedikit menunduk.

Disusul Diana dan Oliv setelah mengetahui keberadaan Pak Danis yang sedang dibicarakan itu.

"Sudah, ya! Pelajaran akan saya mulai, silakan duduk dengan benar," titah Pak Danis yang berwibawa. Ia tidak terpancing obrolan mereka bertiga.

"Malu banget gue," lirih Diana pada Lava sembari meingis getir.

"Udah, biasa aja ...." Lava menenangkan.

Bel berbunyi tanda memasuki jam istirahat. Pak Danis pun membereskan barang-barangnya lalu meninggalkan kelas 12 IPA 1.

"Kantin, yuk!" ajak Nathan pada Diana.

Diana tidak menjawab Nathan. "Lava, Oliv, buruan!" ajak Diana karena Lava sangat lambat membereskan alat tulisnya.

"Mau ke kantin?" tanya Nathan.

"Udah, kita duluan aja," kata Darko.

"Iya, nih, mau bareng?" jawab Lava pada Nathan karena merasa bersalah jika terus diabaikan oleh Diana.

Diana menarik tangan Lava lalu keluar menuju kantin. Disusul oleh Oliv, Nathan, dan Darko. Diana sengaja lewat tepian lapangan berharap dirinya bisa melihat Pak Danis sedang bermain sepak bola atau basket karena Pak Danis sering bermain bersama muridnya saat jam istirahat.

Ia menghela napas berat, berusaha bersikap biasa saja agar Lava tidak curiga. Namun, Lava terlalu peka memahami Diana.

"Bentar lagi ujian, lagi sibuk ngurusin soal ujian," gumam Lava dengan kekehan kecilnya.

"Hah?" Diana pura-pura tidak paham.

"Halah, ayo buruan! Nanti nggak kebagian tempat duduk." Lava menarik tangan Diana.

"Bu, bakso dua, ya!" pesan Lava pada ibu kantin saat baru sampai di kantin.

"Lima, Bu!" seru Nathan dari belakang. Mereka berdua sampai lupa ada tiga temannya yang tertinggal.

"Siap," sahut ibu kantin dengan semangat.

Nathan menyuruh mereka berempat duduk dan mengamankan kursi untuknya. Ia sendiri yang akan menunggu pesanan bakso itu.

"Sekalian es teh, Bu!" tambah Nathan yang teringat belum memesan minuman.

Setelah beberapa menit, Nathan datang membawa nampan berisi bakso bersama ibu kantin yang membawa nampan berisi es teh.

Di sela-sela memakan bakso, Nathan mengajukan pertanyaan pada Diana yang tidak biasa itu.

"Na, lo ada masalah?" tanyanya hati-hati.

"Sama siapa?" Diana menegukkan es teh setelah menjawabnya.

"Sahabat lo, Fiko. Gue denger dia punya pacar, apa lo cemburu karena itu?"

"Dih! Mau dia punya pacar atau istri pun itu bukan urusan gue. Lagian kita udah jarang ketemu," sungut Diana lalu tidak sengaja melihat Pak Danis menuju kantin bersama Viona dan teman-temannya dengan obrolan yang tidak terdengar oleh mereka.

"Seru banget," kata Diana tanpa sadar.

Mereka berempat mengikuti arah pandangan Diana.

"Kalo gue jadi guru, gue mau kayak Pak Danis. Akrab sama muridnya," ucap Darko.

"Jadi pengin akrab juga sama Pak Danis," ujar Diana.

"Jadi pengin jadi istrinya," imbuh Lava yang membuat kesadaran Diana kembali.

"Jangan mimpi!" timpal Diana dan Oliv secara bersamaan lalu terkekeh bersama.

Dalam hati Diana berkata bahwa dia ingin mempunyai pacar seperti Pak Danis yang ganteng, rajin, pintar, dan mempunyai senyuman yang mampu menarik perhatian bagi yang melihatnya. Namun, sayang sekali, itu akan sangat sulit untuk dijangkau atau dicari modelan seperti Pak Danis.

Sepulang sekolah, Diana diajak oleh Lava ke Sweet Ice Cream. Lava sudah lama tidak menikmati es krim manis langganannya yang biasa ia kunjungi bersama Oliv. Namun, kali ini Oliv tidak bisa karena ayahnya mau mengajaknya jalan-jalan. Awalnya Diana menolak, setelah dipikir-pikir ia memang harus bersantai terlebih dahulu untuk menenangkan pikirannya.

"Kali ini jangan membuatku kesal, oke?" ucap Diana yang memperingati Lava sebelum tiba di toko es krim.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku