Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Hari ini Mas Fandi memberitahu kalau ia pulang terlambat, karena mau melayat ke rumah temannya. Seperti itulah Mas Fandi, setiap terlambat selalu memberitahu, jadi aku tidak cemas menunggu kabarnya.
Aku seorang ibu dari dua anak, yang sudah beranjak remaja. Aku juga bekerja di sebuah kantor kecamatan, dan Mas Fandi merupakan pegawai di sebuah kantor pemerintah. Sesibuk apapun aku di kantor, aku selalu mengutamakan keluarga.
***
"Anis, temenin aku melayat ya?" kata Sandra teman sekantorku, pagi ini.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku.
"Teman SMA ku?"
"Sekarang melayatnya?" tanyaku lagi.
"Enggak, lebaran nanti! Ya sekarang!" kata Sandra.
Aku tertawa. Setelah izin dengan teman, kami langsung berangkat. Sepanjang perjalanan Sandra bercerita tentang temannya. Anton, temannya Sandra meninggal karena penyakit gagal ginjal. Sudah setahun ini rutin cuci darah. Memiliki dua anak laki-laki. Sekitar usia 15 dan 10 tahun. Istrinya memiliki toko sembako. Anton sebagai PNS di kantor pemerintahan.
Sesampai di rumah duka sudah banyak pelayat yang datang. Karangan bunga juga banyak berjejer. Tanpa sengaja, aku melihat mobil Mas Fandi. Aku berusaha mengedarkan pandangan mencari keberadaan mas Fandi. Tak terlihat dimana mas Fandi.
Sandra mengajak aku menemui istri Anton. Aku kaget, ternyata istri Anton itu bernama Leni yang pernah ketemu aku di rumah sakit. Leni juga tampak terkejut melihatku. Setelah mengucapkan bela sungkawa, kami keluar mencari tempat duduk.
Sandra bertemu dengan beberapa temannya. Aku ikut bergabung dengan mereka.
"Istrinya Anton pasti senang ya?" kata Ine teman Sandra.
"Kok bisa?" tanya Sandra.
"Anton sakit-sakitan malah istrinya selingkuh dengan mantan," sambung Citra teman Sandra yang lain. Aku hanya menjadi pendengar saja.
"Selingkuhannya datang nggak ya?" tanya Ine.
"Datang, aku tadi lihat kok. Mana ya?" kata Citra sambil mengedarkan pandangan.
"Itu, pakai kemeja putih, duduk dekat pintu masuk," kata Citra lagi. Kami semua menatap ke pintu.
Deg! Itu kan Mas Fandi. Sandra juga kaget, langsung menatap aku.
"Kenapa? Kenal ya?" kata Ine bertanya padaku.
"Kayaknya tetanggaku itu," jawabku berbohong sambil menata emosi. Aku menatap Sandra mengkode untuk ikut bersandiwara.
"Namanya Fandi, dia mantannya Leni. Leni ninggalin Fandi, karena Anton lebih kaya. Padahal sekarang Fandi sudah memiliki istri dan anak," kata Ine menjelaskan pada kami.
Aku sudah tidak kuat mendengar cerita Ine. Hatiku terasa nyeri, mataku mulai berembun. Sandra menatapku iba.
"Eh kami pulang dulu ya? Nggak enak kalau kelamaan ninggalin kantor," potong Sandra.
Kami berjalan menuju mobil Sandra.
Aku lihat mbak Sisi dan Ibu datang melayat, mereka kaget melihatku.
"Lho kamu kok kesini, kenal ya?" tanya ibu.
"Nemenin Sandra Bu," jawabku.
"Oh."
"Tuh Mas Fandi juga ada di sana," kataku sambil menunjuk ke arah Mas Fandi duduk. Secara bersamaan ternyata Mas Fandi melihatku dengan ekspresi yang terkejut. Mbak Sisi dan ibu diam, sepertinya ada yang mereka sembunyikan.
"Ayo San," aku menarik tangan Sandra.
Di dalam mobil Sandra, aku menangis melepaskan sesak dan emosi yang dari tadi aku tahan.
"Menangislah biar kamu lega," kata Sandra.
"Maaf ya Nis, kalau aku tidak ngajak kamu tadi, kamu tidak akan tahu ini," kata Sandra lagi.
"Enggak apa-apa kok, dengan begini akhirnya ketahuan juga," jawabku
"Jangan bertindak gegabah, ya? Selidiki dulu semuanya. Aku akan selalu ada untukmu kapanpun kamu butuh bantuanku." kata Sandra.
Aku mengangguk, sambil berusaha menghapus air mata. Jangan sampai orang di kantor tahu kalau aku habis menangis.
***
"Pa, kemarin melayat dimana? Di tempat lain atau di tempat Leni?" tanyaku pada Mas Fandi ketika pulang dari kantor.
"E..e kemarin gak jadi melayat. Banyak yang harus di selesaikan di kantor. Makanya pagi ini baru melayat," jawab Mas Fandi agak gugup.
"Kok nggak bilang sama Mama? Biasanya Papa tu apa-apa cerita sama Mama," tanyaku lagi.
"Maaf Papa lupa. Jangan marah ya sayang," kata Mas Fandi sambil mencium keningku.
Inilah yang membuat aku bucin. Ia pandai sekali membuat hati berbunga-bunga.