Pemuas Ranjang Tuan Majikan

Pemuas Ranjang Tuan Majikan

vio femio

5.0
Komentar
49.3K
Penayangan
171
Bab

"Selain menjadi ART, kamu harus melayani saya di ranjang dan berikan ASI mu pada saya setiap saat, kau bisa menulis berapun nominal gajimu!" perintah Slater Jagger.

Bab 1 Kewajiban Istri

Slater baru saja tiba di rumah. Pintu ia dorong pelan, namun suara engsel yang berderit terdengar jelas dalam keheningan rumah. Wajahnya tampak kusut, tubuhnya benar-benar kesal, lelah, letih, lesu, dan sangat penat. Hari ini terasa seperti hari paling panjang dalam hidupnya. Jasnya sudah kusut, dasinya melonggar, dan kemejanya lengket oleh keringat serta debu kota.

Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada Seveline-istrinya-yang tampak duduk santai di sofa ruang tengah. Kakinya berselonjor, ponsel di tangan, matanya fokus ke layar, jari-jarinya lincah menari.

"Kamu pulang dari tadi?" tanya Slater, suaranya berat dan datar, mencoba menahan rasa jengkel.

Seveline hanya mengangguk kecil, tak menoleh sedikit pun. Bahkan tidak menyapa. Hanya sekali sentuhan singkat pada layar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.

Slater menghela napas panjang. Ia meletakkan tas kerja di sisi rak, melepas dasi dengan gerakan lambat, lalu sepatu yang terasa seperti beban batu ia tendang pelan ke sisi karpet. Tanpa bicara lebih, ia berjalan ke lantai atas, langkahnya berat dan malas.

Usai mandi, Slater turun kembali dengan rambut masih agak basah dan pakaian yang lebih santai. Aroma sabun masih menyelimuti tubuhnya, namun kehangatannya tak cukup untuk meredakan letih di hatinya. Seveline masih berada di tempat yang sama-pose yang nyaris tak berubah.

Slater berjalan menuju meja makan, berharap setidaknya ada semangkuk sup atau sepiring nasi hangat. Tapi kenyataan berkata lain. Meja itu kosong, bahkan tak ada satu pun sendok tersusun.

"Kamu nggak masak untuk makan malam?" tanya Slater, nadanya mulai sedikit meninggi, jelas menyimpan nada kesal.

Seveline akhirnya menoleh, wajahnya datar. "Beli aja di luar. Kebetulan aku juga belum makan," jawabnya singkat, tanpa ekspresi bersalah sedikit pun.

Slater menggertakkan giginya pelan, lidahnya bergerak di dalam mulut, menahan gejolak amarah yang hampir meledak. Ia menatap istrinya beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan langkah tenang namun penuh tekanan, ia berjalan mendekat ke ruang tengah, menghampiri Seveline.

Matanya menatap lekat, seolah ingin mengucapkan banyak hal... namun lidahnya belum juga bergerak. Ada yang mulai retak di antara diam mereka-dan Slater merasakannya makin jelas malam itu.

"Apa kamu akan terus bersikap acuh seperti ini?" tanya Slater, suaranya terdengar tegas namun masih menahan emosi.

Seveline akhirnya menoleh, kali ini benar-benar menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi mata itu-mata yang biasa dingin-kini mulai menunjukkan sedikit percikan emosi. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Slater dengan alis terangkat.

"Kenapa?" balasnya singkat, nada suaranya datar namun terasa mengandung tantangan.

Slater menghela napas panjang, dalam dan berat, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnya menatap istrinya.

"Kau seorang istri," ucapnya, lebih pelan namun jelas. "Kewajibanmu melayani suami. Aku tidak menuntut kamu harus masak, bersih-bersih rumah, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan itu. Aku hanya butuh kamu... melayaniku."

Kata-kata itu menggantung di udara, menampar keheningan di antara mereka.

"Tapi tidak ada satu pun kewajiban itu yang kamu lakukan selama satu minggu kita menikah," lanjut Slater, kini suaranya mengandung luka yang ia sembunyikan dengan amarah. "Kamu benar-benar sangat enggan untuk disentuh. Kita seperti orang asing yang kebetulan tinggal di bawah satu atap."

Setelah kalimat itu, keheningan kembali menyelimuti. Namun kali ini berbeda. Suasana jadi lebih berat, lebih tajam.

Seveline memandangi wajah Slater untuk beberapa saat. Matanya berkedip pelan, dan tanpa sepatah kata pun, ia akhirnya mematikan ponselnya. Gerakan kecil itu-menekan tombol di sisi ponsel dan meletakkannya di meja-menandakan bahwa kata-kata Slater berhasil menembus dinding ketidakpeduliannya.

Tatapan mereka bertemu. Kali ini tak ada layar yang jadi penghalang. Hanya dua orang yang seharusnya saling mencintai, tapi kini tenggelam dalam jarak yang tak kasat mata... namun terasa begitu nyata.

Seveline perlahan beranjak dari sofa, ponselnya ditinggalkan begitu saja di meja. Gerak tubuhnya tenang, tapi sorot matanya menusuk tajam ke arah Slater.

"Memangnya, apa yang kau harapkan dari pernikahan yang kau rancang sendiri?" tanyanya, nada suaranya dingin namun menyakitkan. "Semua ini demi mendapatkan posisi pemimpin di keluargamu, bukan?"

Slater diam terpaku, rahangnya mengeras.

"Aku mau menerima pernikahan ini karena tampangmu yang sempurna," lanjut Seveline, langkahnya mulai mendekat ke arah Slater. "Aku harus menjaga harga diriku sebagai seorang aktris. Apa kata mereka kalau idolanya menikah dengan pria buruk rupa seperti kakak angkatmu?"

Kata-katanya tajam, seperti pisau yang disayatkan pelan ke dada Slater.

"Jadi, jangan mengharapkan apa pun dariku selain keuntungan. Jika bukan karena wajahmu, aku takkan sudi menerima lamaranmu. Ada banyak miliarder di luar sana yang menginginkanku sebagai istri mereka."

Ia menjeda ucapannya sejenak, mengatur napas, sebelum melangkah makin dekat hingga hanya beberapa langkah dari wajah Slater.

"Dan satu hal lagi..." katanya, kali ini dengan nada nyaris berbisik tapi lebih menghina. "Seharusnya kau berterima kasih padaku. Sebelum kau dapat posisi itu, akulah yang membiayai hidupmu. Kau menumpang di rumahku. Jadi jaga sikapmu... dan jangan bertingkah seolah kau suamiku. Aku benci diperintah!"

Matanya menatap Slater tajam, penuh amarah sekaligus superioritas yang dingin.

Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Slater, Seveline langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang tengah. Suara langkah sepatunya yang teratur bergema di lantai, sementara Slater hanya berdiri di sana, membatu, menyaksikan punggung wanita yang ia nikahi menjauh... membawa bersamanya sisa-sisa harapan yang baru saja hancur.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh vio femio

Selebihnya

Buku serupa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Gavin
5.0

Pernikahanku hancur di sebuah acara amal yang kuorganisir sendiri. Satu saat, aku adalah istri yang sedang hamil dan bahagia dari seorang maestro teknologi, Bima Nugraha; saat berikutnya, layar ponsel seorang reporter mengumumkan kepada dunia bahwa dia dan kekasih masa kecilnya, Rania, sedang menantikan seorang anak. Di seberang ruangan, aku melihat mereka bersama, tangan Bima bertengger di perut Rania. Ini bukan sekadar perselingkuhan; ini adalah deklarasi publik yang menghapus keberadaanku dan bayi kami yang belum lahir. Untuk melindungi IPO perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah, Bima, ibunya, dan bahkan orang tua angkatku sendiri bersekongkol melawanku. Mereka memindahkan Rania ke rumah kami, ke tempat tidurku, memperlakukannya seperti ratu sementara aku menjadi tahanan. Mereka menggambarkanku sebagai wanita labil, ancaman bagi citra keluarga. Mereka menuduhku berselingkuh dan mengklaim anakku bukanlah darah dagingnya. Perintah terakhir adalah hal yang tak terbayangkan: gugurkan kandunganku. Mereka mengunciku di sebuah kamar dan menjadwalkan prosedurnya, berjanji akan menyeretku ke sana jika aku menolak. Tapi mereka membuat kesalahan. Mereka mengembalikan ponselku agar aku diam. Pura-pura menyerah, aku membuat satu panggilan terakhir yang putus asa ke nomor yang telah kusimpan tersembunyi selama bertahun-tahun—nomor milik ayah kandungku, Antony Suryoatmodjo, kepala keluarga yang begitu berkuasa, hingga mereka bisa membakar dunia suamiku sampai hangus.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku