Teman Tidur CEO Kejam

Teman Tidur CEO Kejam

vio femio

5.0
Komentar
662
Penayangan
15
Bab

"Setelah aku bosan. kamu bisa pergi!" tekan Tyson. "Sekalipun belum genap 1 tahun?" Tyson hanya mengangguk. ••• Karena tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu Beatrice Miller terpaksa harus menjadi teman tidur Tyson Lynch selama 1 tahun.

Bab 1 Teman Ranjang

Beatrice Miller, seorang wanita muda dengan tubuh ramping dan penampilan sederhana, tampak sangat terintimidasi ketika berdiri di hadapan pria yang begitu berwibawa namun menakutkan.

Dengan kepala tertunduk, ia memutar-mutar jemarinya, tanda kegelisahan yang jelas terlihat. Suaranya terdengar lirih dan bergetar saat berkata, "Maaf tuan, saya... sepertinya tidak bisa membayar uangnya tepat waktu." Kata-kata itu terhenti di udara yang terasa begitu berat di antara mereka.

Di hadapannya berdiri Tyson Lynch, seorang pria dengan aura yang mengintimidasi, mata gelap penuh kuasa, dan garis wajah yang tegas.

CEO perusahaan besar Dezero Pumf di Savona, Italia, Tyson dikenal sebagai pria yang tidak kenal ampun, ditakuti oleh banyak orang karena kekejamannya dalam mengambil keputusan.

Ketika Beatrice mengucapkan kata-kata itu, Tyson mengisap rokoknya dengan tenang sebelum mematikan putungnya di asbak, sebuah isyarat bahwa ia akan bertindak lebih jauh.

Tanpa mengalihkan pandangan tajamnya dari Beatrice, Tyson berdiri dari sofa. Gerakannya terukur namun penuh dominasi, melepas jas dan dasinya, menciptakan suasana yang semakin tegang. Dengan langkah mantap, ia mendekati Beatrice yang kini semakin terpojok, mendorongnya ke ranjang tanpa berkata apa-apa, hanya menyisakan keheningan yang penuh tekanan.

Jantung Beatrice berdegup kencang, nyaris menyakitkan. Ketakutan dan kegugupan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria ini, pria yang kekuatannya seakan mampu menghancurkan segalanya, termasuk dirinya.

Tyson Lynch adalah mimpi buruk yang menjadi nyata, seorang penguasa yang tak memberikan ruang untuk kesalahan, bahkan pada orang-orang yang bekerja untuknya.

"Maka puaskan aku malam ini!" kata Tyson yang langsung menindih tubuh Beatrice dan memanggut bibir ranum merah chery itu.

"Tuan, beri saya waktu satu minggu, saya akan membayar lunas beserta bunganya," kata Beatrice mencari celah untuk bisa kabur dari Tyson.

"Terlambat!" kata Tyson yang kembali melumat bibir Beatrice.

Beatrice berusaha dengan panik untuk menahan dorongan Tyson, kedua tangannya menyentuh dada bidang pria itu, mencoba memberikan jarak di antara mereka. Namun, tenaganya yang lemah tidak mampu melawan kekuatan Tyson yang mendominasi.

Dadanya naik turun, dipenuhi oleh ketegangan yang menyiksa, sementara napasnya terengah-engah mencoba memahami situasi yang kian memojokkannya.

Tyson tidak memberinya celah untuk melawan.

Dengan gerakan cepat dan tegas, ia menangkap pergelangan tangan Beatrice, menguncinya erat dalam genggaman yang kuat.

Sentuhannya tegas namun tidak menyakitkan, menciptakan sensasi yang membuat Beatrice semakin terguncang. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya, tak mampu melepaskan diri dari kontrol Tyson yang begitu mendominasi.

Mata tajam Tyson tidak pernah meninggalkan wajah Beatrice, seolah mengamati setiap reaksi yang muncul darinya. "Jangan melawan," bisiknya dengan nada rendah, suaranya serak namun penuh otoritas.

Beatrice merasa tubuhnya melemah, seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan. Detak jantungnya semakin tidak karuan, antara takut dan canggung, sementara ia mencoba mencari kata-kata untuk menghentikan situasi ini. Namun, Tyson tidak memberinya ruang untuk bicara. Pangutan yang intens di antara mereka terasa semakin nyata, semakin sulit dihindari, seperti badai yang tak terbendung.

Tyson menatap Beatrice dengan sorot mata tajam yang penuh intensitas, menciptakan aura yang membuat ruangan terasa semakin sempit. Dengan satu gerakan tegas, ia meraih kerah kemejanya, dan dalam satu hentakan kuat, kemeja itu terlepas dari tubuhnya, memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. Kain itu terlempar ke lantai dengan suara lembut, namun aksinya memancarkan dominasi yang membuat suasana semakin mencekam.

Tanpa memberi Beatrice kesempatan untuk bereaksi, Tyson mengulurkan tangannya, menggenggam pakaian Beatrice. Dalam satu tarikan cepat, kain itu robek tanpa perlawanan, terbelah dan jatuh ke lantai dalam potongan-potongan yang tak lagi berbentuk.

Tidak ada sisa, tidak ada celah untuk bersembunyi.

Beatrice yang kini terpaku oleh rasa kaget dan takut hanya bisa merasakan jantungnya yang berpacu semakin liar.

Sikap Tyson yang begitu tegas dan tidak kenal ampun membuat tubuh Beatrice gemetar. Udara di antara mereka terasa berat, penuh ketegangan yang tak terucapkan. Mata Beatrice yang berkaca-kaca hanya mampu memandang pria itu dengan kebingungan dan ketakutan, sementara Tyson tetap berdiri dengan postur yang penuh kontrol, seperti seorang penguasa yang tak terbantahkan.

"Enghhh," lenguh Beatrice kala mulut Tyson mulai merambah mengecupi basah leher dan belahan benda kenyalnya.

Beatrice yang merasa dirinya lepas kendali, kali ini hanya bisa pasrah di hadapan Tyson. Entah ada apa dengan dirinya, namun tubuhnya selalu melemah kala berhadapan dengan sosok pria di atas tubuhnya ini.

"Akhhh," desah Beatrice begitu Tyson menghentakkan ke dalam intinya hingga sepenuhnya.

Tyson mulai menghujam namun Beatrice menahan suaranya membuat Tyson menghentikan hujamannya dan mencengkeram leher Beatrice.

"Bersuaralah dan sebut namaku!" perintahnya membuat Beatrice hanya bisa memejamkan mata dengan tangan yang memeluk erat punggung kekar Tyson.

"Tuan tolong cepat lakukan," lenguh Beatrice seraya mendongakkan kepalanya berusaha untuk mengontrol dirinya yang semakin menggila membumbung tinggi karena permainan Tyson.

"Panggil namaku Beatrice," tekan Tyson dengan bisikan serak basah di daun telinga Beatrice.

Beatrice meremas kuat rambut Tyson dengan menggigit bibir bawahnya, "Tyson cepat lakukan!"

Tyson tersenyum devil dan langsung kembali menghujam Beatrice dengan tenaga dan semangat yang menggebu.

***

Keesokan paginya, Beatrice perlahan membuka kelopak matanya, pandangannya samar-samar menangkap cahaya pagi yang lembut menerobos masuk dari celah tirai.

Suara gemericik air yang menenangkan terdengar dari arah kamar mandi, membuatnya tertegun sejenak. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang asing. Saat matanya beralih ke langit-langit kamar yang tak dikenalnya, sebuah kesadaran mengejutkan langsung menghantamnya.

Dengan panik, Beatrice duduk dan segera merapatkan selimut tebal yang ada di tubuhnya, menutupi dada dan tubuhnya yang polos tanpa sehelai kain. Pipinya merona panas saat kenyataan itu menyadarkannya akan sesuatu yang terjadi malam sebelumnya.

Jantungnya berdegup kencang, rasa malu dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya.

Di tengah kekalutannya, pintu kamar mandi terbuka.

Dari balik uap yang masih menggantung, Tyson muncul dengan langkah santai. Ia hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya, memperlihatkan tubuh atletisnya yang masih basah dan berkilauan oleh sisa air. Dengan satu tangan, ia mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, sementara tatapan matanya yang tajam langsung mengarah pada Beatrice.

Beatrice membeku, merasa dirinya tenggelam dalam suasana canggung yang tak terelakkan. Napasnya tertahan saat Tyson berjalan mendekat dengan sikap yang begitu santai namun memancarkan aura mendominasi. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana ia harus menghadapi pria ini, yang kini begitu nyata di hadapannya, setelah apa yang telah terjadi.

Tyson berjalan dengan langkah santai namun penuh otoritas, mengambil kartu hitam dari meja kecil di sudut ruangan. Tanpa berkata apa-apa, ia melemparkan kartu itu ke atas ranjang, tepat di depan Beatrice yang masih memeluk selimut dengan erat.

Suara benda itu jatuh di atas kain terdengar ringan, tetapi dampaknya terasa berat bagi Beatrice. Ia menatap kartu itu dengan penuh kebingungan, bertanya-tanya apa maksud dari tindakan pria tersebut.

"Satu miliar. Beli obat atau aborsi. Putuskan sendiri," kata Tyson dengan suara dingin tanpa emosi. Ia melirik Beatrice sekilas sebelum berbalik, berjalan menuju walk-in closet tanpa menunggu tanggapannya.

Kata-kata itu menghantam Beatrice seperti palu godam. Hatinya mencelos, tetapi ia tahu bahwa Tyson adalah pria yang tidak akan peduli dengan apa yang dirasakannya.

Sejenak, Beatrice hanya duduk mematung, mencoba memahami maksud perkataan Tyson. Dengan tangan gemetar, ia meraih kartu hitam itu dan menggenggamnya. "Terima kasih, Tuan," ucapnya lirih, meskipun ada kegetiran yang terselip dalam nada suaranya. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya, tidak ingin terlihat lemah.

Setelah menarik napas panjang, Beatrice mulai mengenakan kembali pakaiannya yang telah ia kumpulkan dari lantai kamar. Gerakannya cepat namun tetap penuh kehati-hatian, memastikan dirinya terlihat rapi dan tidak meninggalkan kesan yang ceroboh. Begitu selesai, ia berdiri dengan tegap, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Tyson.

Ia melangkah mendekati walk-in closet, tempat Tyson masih berada, dan mengetuk pintu dengan ringan sebelum berdiri di sana dengan sikap yang penuh keteguhan.

Tyson sedang mengenakan dasi di depan cermin besar di walk-in closetnya ketika ia menyadari keberadaan Beatrice di ambang pintu. Dengan nada datar dan penuh kebiasaan, ia bertanya tanpa menoleh, "Jadwal hari ini?"

Beatrice, yang telah berdiri dengan rapi mengenakan pakaian formal sederhana, menjawab dengan suara tenang, meskipun ada sedikit getaran yang tertahan.

"Hanya menemui Tuan Jylen untuk membahas kontrak, lalu nanti malam ada makan malam bersama di mansion mama Tuan," jelasnya.

Tyson hanya mengangguk singkat, memberikan konfirmasi tanpa sepatah kata pun. Beatrice, yang memahami isyarat itu, melanjutkan dengan sopan, "Jika sudah tidak ada urusan lagi, saya pamit pergi."

Tanpa mengangkat pandangannya dari cermin, Tyson kembali mengangguk. Beatrice kemudian berbalik dan melangkah pergi, langkahnya teratur meski terasa beban di dadanya. Saat ia melangkah keluar dari kamar, Tyson menoleh sekilas, pandangannya mengikuti sosok Beatrice yang kian menjauh. Tidak ada emosi yang terlihat jelas di wajahnya, hanya keheningan yang penuh misteri.

Begitu selesai merapikan penampilannya, Tyson keluar dari walk-in closet dengan gerakan yang tenang namun mantap. Saat pandangannya tertuju pada ranjang, ia mendapati noda darah yang menodai seprai putih bersihnya.

Pandangannya menggelap sesaat, memperhatikan bekas itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara refleksi dingin dan pikiran yang terpendam. Namun, seperti biasa, ia tidak membiarkan pikirannya terbaca, hanya menghela napas pendek sebelum melangkah pergi, membiarkan sisa malam sebelumnya tertinggal di balik pintu kamar yang kini sunyi.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh vio femio

Selebihnya

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku