Suami Bayaran

Suami Bayaran

IR Windy

5.0
Komentar
4K
Penayangan
35
Bab

Harta, tahta dan segalanya akan diberikan secara cuma-cuma, asalkan harus menikahi dan menjadi ayah pengganti untuk bayi yang bahkan bukan anak kandungnya. Sanggupkah Indra melakukan itu?

Bab 1 1. Garis dua

"Astaga!!"

Dinda terperanjat sembari menutup mulutnya dengan menggunakan sebelah tangan, melihat sebuah benda pipih kecil yang menunjukkan dua garis merah di tangannya. Wanita itu benar-benar dibuat terkejut hingga tak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari dalam mulutnya.

Perlahan, kedua matanya berkaca-kaca seakan-akan tak mampu membendungnya lagi.

"A-aku ... hamil???"

Ya! Awalnya ia benar-benar tak menyangka jika gejala yang ia alami akhir-akhir ini ternyata bukan gejala yang biasa. Pusing serta sering merasa lelah yang menyerangnya merupakan salah satu pertanda bahwa ada sesuatu yang tengah bersemayam di dalam perutnya.

Dinda terdiam untuk sesaat, lalu memandangi dirinya di dalam cermin kamar mandi itu.

"Aku hamil anakmu, Kevin?"

Wanita itu terdiam cukup lama, mengingat semua hal manis yang ia lakukan bersama kekasihnya. Ya! Teramat manis hingga ia lupa diri dan terlena sampai akhirnya terhanyut dalam sungai asmara yang menyebabkan dirinya seperti saat ini.

Dinda tak bisa begini sendiri, ia tidak bisa diam saja hingga semuanya terlambat. Lalu dengan satu gerakkan ia berdiri tegap dan kembali menghadap cermin.

"Aku harus bilang pada Kevin! Dia harus tahu kalau aku hamil anaknya."

Tok ... tok ... tok!

Suara ketukkan pintu itu lantas terdengar hingga ke dalam kamar mandi hingga mengejutkannya dan bahkan membuyarkan lamunannya. Dinda lekas mengerjapkan matanya dan berusaha menguasai diri, tak lupa pula menyeka genangan air mata yang hampir mentes.

"Dinda? Kamu sudah bangun? Ini sudah siang, Nak. Kamu gak akan masuk kerja?"

Terdengar suara bariton dari balik pintu tersebut, suara yang mampu membuat Dinda merasa sedih dan rasa bersalahnyapun tiba-tiba muncul begitu saja.

"I-iya, Pah! Dinda bentar lagi turun ... ini baru selesai mandi," teriaknya dari dalam kamar mandi.

"Baiklah, Papa tunggu di bawah, ya! Kita sarapan bareng."

Dind kembali terdiam dan menarik napas panjangnya, memejamkan mata sembari berpangku tangan pada wastafel di depannya.

"Tenang, Dinda. Kamu hanya harus bilang pada Anton agar dia mau tanggung jawab dan semua akan baik-baik saja," gumamnya penuh percaga diri.

***

"Ah! Sudah setengah jam tapi Dinda belum juga turun, apa dia baik-baik saja?" gumam Anggoro yang sejak tadi tak berhenti melihat jam dan bergantian melihat ke arah tangga rumahnya yang masih saja tak menampakkan sosok putri semata wayangnya.

Bagaimana tidak? Pagi ini berjalan tidak seperti biasanya, bahkan Dinda selalu tiba lebih dulu di ruang makan sebelum dirinya. Hal yang terus membuat kecemasan Anggoro bertambah saat ia mengecek langsung ke lantai atas tepat dimana kamar putrinya berada.

"Tadi suaranya memang terdengar sedikit serak," gumamnya lagi dengan terus mengira-ngira, "Haruskah kupastikan lagi?"

Belum sempat lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya, tiba-tiba gerakkannya terhenti saat seseorang mulai turun dari tangga lalu menyapanya.

"Pagi, Papa! Maaf aku bangun kesiangan, jadi-"

"Kamu tidak apa-apa?"

"Hmm?" Dinda mengerutkan keningnya pertanda heran.

Tetapi Anggoro, dengan sedikit terbata-bata kembali bertanya, "Papa sedikit cemas, apa kamu tidak enak badan?"

"Ah! A-aku gak apa-apa, Pa. Cuma bangun kesiangan aja, kok."

Anggoro masih terdiam dengan terus meneliti wajah anaknya yang terlihat sedikit berbeda.

"Kamu yakin? Dengan wajah pucatmu?"

Dinda terkesiap! Apakah ia lupa memakai lipstick? Ah tidak! Apakah lipstick yang ia gunakan kurang mencolok hingga wajahnya terlihat pucat seperti apa yang dikatakan ayahnya?

"Sial! Apa ini karena perutku yang agak mual!?" batinnya menerka-nerka.

Wanita itu berusaha menguasai diri dan lekas mengambil tempat duduk dengan berusaha pula terlihat berseri-seri.

"Masa sih?? Aku baik-baik aja, Pah. Mungkin karena aku dandan buru-buru jadi begini," jelasnya berusaha tetap tenang.

"Baiklah kalau begitu, tapi kalau kamu merasa gak enak badan jangan memaksakan diri ... izin absen saja dan istirahat yang banyak."

Dinda mengangguk cepat dan menjawab, "Siap, Boss!" Sembari menempelkan tangannya ada kening seolah memberi hormat.

Anggoro terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali berkata, "Ya sudah, ayo sarapan dulu!"

Dinda hanya tersenyum seraya mengembuskan napas leganya, "Fyuh ... syukurlah Papa gak curiga," gumamnya dalam hati.

Betapa tidak? Beberapa menit yang ia lewati terasa begitu tegang bagaikan mengikuti interview di perusahaan ternama, namun kali ini jauh ledih besar dari yang ia bayangkan karena jika Dinda salah berucap ... bisa-bisa ayahnya akan mengetahui hal yang sebenarnya.

Keduanya lantas melanjutkan santap sarapan bersama hingga selesai dan berangkat ke Kantor bersama dengan menggunakan mobil pribadi Anggoro.

Akan tetapi, siapa yang akan menyangka jika di tengah-tengah perjalanan tersebut rasa mual di perut Dinda kembali menyerang secara tiba-tiba? Wanita itu kini meboleh ke arah jendela berusaha menyembunyikan dan menahan rasa mual, namun sialnya jalanan pagi ini justru terlihat padat hingga terjadi kemacetan.

"Haduh! Macet lagi ... macet lagi," gerutu Narno, sang sopir pribadi keluarga Anggoro.

Anggoro yang duduk di samping sopir pun ikut geram dan berdecih, "Tidak ada jalan lain, Pak? Kita harus tiba di Kantor segera karena saya ada meeting."

Narno pun terdiam sesaat berusaha mengingat-ngingat jika ada alternatif jalan lain di sekitar tempat itu namun kali ini ia terlihat bingung hingga akhirnya menjawab, "Sepertinya tidak ada, Pak."

Situasipun berubah genting! Terlebih dengan keadaan Dinda yang duduk di jok bagian belakang dan tengah menahan rasa mual yang semakin membesar. Ya! Selain menahan rasa mual itu, Dinda harus tetap bersikp seperti biasa di depan kedua lelaki di depannya meski rasanya begitu sulit.

"Astaga ... mimpi apa aku semalam!? Rasanya aku mau mati!" batinnya.

Setelah terjebak kemacetan beberapa menit, mereka akhirnya keluar dari situasi yang tak mengenakkan itu dan tiba di Perusahaan besar milik Anggoro yang sudah puluhan tahun berdiri.

Dinda yang turun dengan terburu-buru itupun membuat ayahnya heran sembaru mengernyitkan keningnya, "Kamu kenapa lagi, Dinda?"

"A-ah! A-aku kayaknya masuk duluan, Pah. Mau ke Toilet dulu, bye!"

Dengan langkah tertatih-tatih wanita itu berjalan cepat meninggalkan Anggoro yang masih berdiri di samping mobilnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sang putri tanpa merasa curiga sedikitpun.

***

Hoek!

Hoek!

Entah berapa kali Dinda terus memuntahkan makanan yang baru saja ia makan di rumah, perutnya benar-benar tak bisa diajak berkompromi lagi hingga wanita itu merasa lemas dan bersandar pada dinding toilet yang untung saja tidak ada orang lain di dalamnya.

Dengan napas terengah-engah Dinda memejamkan matanya merasakan ketidak nyamanan dalam perutnya.

"Aku harus gimana lagi? Masa iya harus absen dari Kantor!? Nanti Papa malah curiga," gumamnya merasa bingung.

Sorot matanya tiba-tiba membulat dan ia pun lekas bangkit dari sandaran dinding itu lalu mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas.

"Aku harus ketemu Kevin dan ngasih tahu kalo aku lagi hamil!" gumamnya lagi dengan jari-jemari yang sibuk mencari nomor kontak sang kekasih.

Akan tetapi, setelah beberapa detik berlalu sambungan teleponnyapun belum kunjung terhubung, hanya suara bagai klakson kereta api yang ia dengar.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh IR Windy

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku