Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Pakaian Bekas Ibu Masih Banyak. Buat Apa Beli Yang Baru?
"Mas, bagaimana kalau adek beli gamis baru untuk di pakai pas acara pernikahan Cindi Nanti?"
Aku mendekati mas galih yang sedang duduk santai di teras rumah dan mencoba merayunya.
"Lho baju lebaran mu kemarin kan masih bagus dek," mas galih mengernyitkan dahi.
Aku menghela nafas kecewa. ini pertanda buruk. Dari nada suaranya saja terdengar keberatan.
"Mas, baju lebaran saya kemarin sudah enggak muat lagi. Apalagi di bagian perut. Bisa sesak nafasku,"
Aku mengelus perut yang sudah membesar.
"Enggak gitu juga kali dek, Mas lihat baju kemarin itu masih cukup besar di badanmu,"
Lagi-lagi aku kecewa dengan jawabannya.
"Mas, Mas mau melihat ku sesak nafas di acara pernikahan Cindi?" Aku cemberut.
Acara resepsi pernikahan Cindi, adik Mas Galih akan di selenggarakan sepuluh hari lagi. Aku merasa perlu juga sesekali berdandan cantik. Sudah capek rasanya sehari-hari dengan gamis dan daster-daster bekas mertuaku. Daster warisan. Di antara daster-daster itu sudah banyak yang bolong-bolong akibat termakan usia.
Bukan tidak bersyukur, tapi sebagai istri yang sedang hamil anak pertama, aku kecewa. Ingin rasanya sesekali mencoba mencicipi daster baru, atau gamis baru. Apalagi di acara penting keluarga.
"Kalau begitu, ya sudahlah, Mas,"
Dengan gontai aku melangkah masuk. Sebulir tetesan kuning menetes dari sudut. Sebegitu susahkah untuk sekedar membeli selembar gamis?
"Dek," sebuah tangan menggenggam jemari ku dari belakang.
Aku menoleh,
"Ada apa lagi, Mas?"
"Adek marah?" Tanyanya.
Sepatutnya sebagai suami ia tidak perlu bertanya lagi.
"Tidak." Jawabku.
Dalam hati aku berkata memang benar aku tidak marah, tapi lebih tepatnya kesal. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja tidak mengindahkanku.
"Dek, nanti aku bicarakan sama ibu. Adek yang sabar dulu ya,"
Aku menghela nafas. Selalu saja begitu, apa-apa selalu mau bilang sama ibu terlebih dahulu.
"Nggak usah, Mas." Jawabku.
Aku melangkah, namun lagi-lagi mas Galih menahanku.
"Ya udah jangan marah, Sayang. Mas akan usahakan," ujarnya cepat.