Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Secara tiba tiba, dinding di ruang tengah bertingkat dua ini bergeter sehingga semua yang ada di dalamnya ikut merasakannya, dan secara tiba-tiba pula bau kemenyan dan bunga kamboja kini mulai terasa menyengat membuat bulu kuduk kami pun merinding.
Memang jika dilihat dari luar, rumah yang memiliki 2 lantai ini dengan pekarangan yang luas, taman yang tertata rapi, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang yang terletak di samping rumah ini, sehingga tampak begitu megah dan merupakan sebuah rumah idaman bagi siapapun yang melihatnya.
Namun dibalik kemegahan itu tersimpan misteri, rumah ini memang indah dan keindahan itu pun menutupi kekurangan rumah ini. Begitu pula dengan kami berlima, dijaman serba susah begini apalagi di Jakarta sebuah kota metropolitan yang semuanya serba mahal, dan tiba-tiba ditawari sebuah kontrakan yang mewah tapi murah membuat kami tanpa bepikir panjang lagi langsung setuju untuk menandatangani kontrak dengan pemilik rumah, apalagi kami hanya mahasiswa yang berasal dari daerah yang masih bergantung pada orang tua, otomatis kami mencari sesuatu yang murah namun layak. Untuk mundur pun dari semuanya ini rasanya itu pun tak mungkin, karena uang kontrakan itu rasanya sayag untuk disia-siakan.
Awalnya, aku tidak setuju atas usulan Mirna untuk memanggil dukun kerumah ini, namun teman-teman yang lain menyetujuinya tanpa menyadari akan akibat dari perbuatan mereka, jadi apa boleh buat aku pun menyetujuinya.
Embah dukun itu duduk bersilah menghadap ke salah satu sudut ruangan, sekali-kali terdengar semburan dari mulutnya menyemprotkan air ke sudut ruangan itu. Keempat temanku tampak begitu serius mengikuti perintah dukun tersebut terlihat dari raut wajah mereka kelihatan begitu tegang.
Mbah dukun itupun tiada henti-hentinya membaca mantra, entah apa yang di bacanya aku pun tidak tahu karena memang aku tidak berniat untuk mendekat padanya. Aku hanya melihatnya dari jauh, di tangga menuju lantai dua sebab aku tidak tahan dengan bau kemenyan itu, rasa-rasanya aku ingin muntah.
Namun tidak berapa lama ritual itu pun selesai, mbah dukun itu pulang dengan peluh yang bercucuran di wajahnya dan keempat temanku pun tersenyum puas.
“Kita akan hidup dengan tenang tanpa gangguan itu lagi,” kata Lia.
Aku pun hanya bisa tersenyum pasrah mendengarnya sambil berlalu ke dapur untuk mengambil makanan karena dari tadi sebenarnya aku lapar namun mbah dukun itu melarang ku jauh-jauh dari tempat itu, takut kalau-kalau terjadi apa-apa padaku, katanya.
Kini kami semua duduk di meja makan siap untuk makan setelah beberapa menit selesai shalat magrib. Sementara jam masih menunjukkan pukul 19:15, tapi entah dari mana datangnya tiba tiba terdengar lolongan anjing , kami merasakan kembali kecaman itu dan semuanya terdiam membisu.
Tiba-tiba adzan terdengar tandanya shalat Isya pun akan segera dilaksanakan, dan secara tiba-tiba pula lolongan anjing itupun menghilang, membuat kami merasa lega. Malam ini tidak terjadi apa-apa dan itu membuat temanku berfikir bahwa dukun itu telah berhasil mengusir para penghuni rumah ini.
Namun, malam berikutnya mereka kembali membuat kami semua ketakutan dan parahnya lagi mereka kini memampakkan wujud mereka padahal selama ini mereka hanya mengganggu kami tanpa wujud, dan malam itu adalah puncaknya.
Malam itu seperti biasa, kami pun tidur di kamar masing masing. Sekitar pukul 12:00 malam tiba tiba terdengar suara jeritan seorang wanita di lantai bawah tepatnya di kamar mandi. Aku fikir itu salah satu dari keempat temanku, maka akupun langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah, dan keempat temanku sudah berkumpul di dekat tangga, dan suara itu masih saja terus menjerit lalu kami pun saling pandang.
Aku berfikir, kalau bukan diantara keempat temanku lalu itu suara siapa ? Dengan hati-hati pun kami berjalan menuju kamar mandi, tapi tak seorang pun dari kami yang membuka pintu kamar mandi tersebut sampai akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya, dan di dalam kamar mandi, seorang wanita berambut pirang tanpa busana bersandar pada tembok dengan pisau tertancap di dadanya dan tembus ke jantung dengan mata melotot, sementara dari hidung dan matanya mengalir darah segar, sambil tersenyum menyeringai kepada kami berlima.
Tanpa fikir panjang lagi, kami semua menjerit. Bahkan Anis sampai pingsan, dan kami membawanya agak menjauh dari tempat itu. Tapi saat kami melihat kearah kamar mandi, tidak terjadi apa-apa di sana. Air yang semula merah darah kini menjadi bening kembali.