/0/21612/coverorgin.jpg?v=e60d6bd2c0a776a47dc1740ac270ceed&imageMogr2/format/webp)
Laki-laki dari Suku Dayak Bakumpai bernama Lawen berlari tunggang langgang, ia di kejar oleh pasukan dari manusia dan robot.
Ia tidak mengetahui apa kesalah yang di perbuatnya sehingga di kejar dan hendak mereka tangkap.
"Kamu berhenti, jangan lari." Teriak pemimpin pasukan itu.
Lawen tidak mau menuruti teriakan itu ia terus saja berlari, hutan di depan sama sekali tidak ia kenal.
Hutan ini sangat asing baginya karna sangat ketakutan akan di tangkap tanpa pikir panjang dengan langkah kencang masuk ke dalam hutan.
"Tuan kita tidak mungkin mengejarnya lagi, ini sangatlah berbahaya." Ucap salah satu prajurit yang mengejar Lawen.
"Manusia itu pasti akan mati kalau sudah memasuki hutan terlarang, ayo kita pulang kembali ke istana."
Rombongan prajurit itu putar balik meninggalkan Lawen yang terus berlari ke dalam hutan, cahaya matahari tidak bisa menembus dedaunan pohon yang semuanya berjejer menjadi satu. Batang pohon dan akar semuanya sangat besar saking besarnya bisa untuk membuat satu perahu hanya dengan satu akar pohon.
Semakin ke dalam semakin gelap, hingga mengganggu penglihatannya.
"Oh Tuhan dimana aku ini, kenapa tempat ini begitu asing bagiku. Dan apa mau orang orang itu hingga mengejarku sampai sejauh ini." Gerutu Lawen dalam hati.
Karena pandangan yang terbatas ia tersandung sebuah akar kayu yang besar, ia terjungkal di sela sela akar kayu.
Sendal yang tadi ia kenakan talinya terputus, lutut dan lengannya mengeluarkan darah segar.
"Ahhhh sakit."
Lawen mendesis ia terpuruk, rasa haus menyerang tenggorokannya namun tidak kunjung melihat ada mata air di sekitar posisinya.
Dengan sedikit pincang ia melanjutkan berjalan mungkin sa'at ini ia sedang terkena dehidrasi, sehingga nampak susah bernafas ia harus segera menemukan mata air agar tidak melukai tenggorokannya yang sudah mengering.
Lawen melihat ada daun Bajakah Tampala, ia memperhatikan warnanya putih kuning dan coklat. Lawen mendekat memastikan ciri khusus dari Bajakah Tampala, kalau Bajakah Tampal maka daunya berbentuk tajam dan bunganya berwarna merah muda, putih ungu dan berbentuk kecil. Tanaman Bajakah Tampala sering di manfa'atkan oleh orang Dayak sebagai obat-obatan trasisional untuk melawan penyakit kanker.
Tanaman Bajakah Tampala merambat di batang pohon kayu hingga sampai 50 meter ke atas.
Mandau yang menggantung di pinggangnya ia keluarkan untuk menebas akar Bajakah Tampala, ia memotong dari dua sisi membentuk seperti sedotan.
Akar Bajakah Tampala ia angkat lalu lidahnya ia julurkan mengaliri serat air dalam akar. Kandungan air dalam akar Bajakah Tampala sangat banyak dan memiliki rasa seperti air pegunungan segar dan dingin alami. Selain menghilangkan rasa haus di tenggorokan meminum serat air Bajakah Tampala, juga dapat mengurangi kram pada perut dan bagi wanita menghilangkan rasa nyeri saat haid.
Hari sudah mulai gelap Lawen khawatir kalau tidak keluar hutan secapatnya. Jika malam masih dalam hutan ia takut sewaktu-waktu hewan buas akan datang, apalagi sekarang kondisinya sedang terluka banyak darah segar keluar dari tubuh, memudahkan hewan predator mengendus keberada'annya.
"Anak muda sedang apa kamu? di wilayahku"
Seorang Kakek bertubuh bungkuk menggunakan tongkat tiba tiba muncul di belakang, sorot matanya menandakan ketidak suka'an nya dengan kehadiran Lawen.
"Saya tersesat Kek"
"Tersesat cuih.! Alasan kamu sudah sering aku dengar"
"Banyak manusia serakah yang sengaja masuk ke hutan ini, kalian para manusia hanya bisa merusak saja"
Kakek itu mengayukan tongkatnya ke sebuah akar kayu besar, dia bilang manusia lalu dia apa? apakah dia hantu? Lawen mencerna perkata'an Kakek tua itu. Ia tidak sadar bahwa kaki yang menupang tubuhnya gemetaran dan mulai meleh.
"Tunggu Kek sampean mau kemana?"
"Apa urusanmu menanyakan aku hendak kemana"
Kakek tua bertongkat berbalik badan meninggalkan Lawen seorang diri, keinginan Lawen yang hendak menanyakan jalan keluar di hutan ini tidak bisa ia utarakan mulutnya seakan terkunci untuk mengucapkan kata-kata. Kakinya pun tidak bisa di gerakan lagi hingga jatuh tak sadarkan diri.
"Oooo Lawen jangan tidur sa'at senja, pamali"
Enon membangunkan Lawen dari tidurnya, dalam rumah betang yang tidak ada sekat di dalam, untuk alas tidur hanya menggunakan tikar dari anyaman purun( Tanaman Rawa).
"Iya Uma Lawen sudah bangun"
Kata Uma dalam bahasa Dayak Bakumpai adalah panggilan untuk seorang Ibu.
Lawen sadar tadi hanya sebuah mimpi namun mimpi ini sudah yang ke 3 kalinya, ia tidak terlalu memikirkannya dengan cepat langsung turun tangga menuju sungai tidak jauh dari posisi rumah betang. Lawen mencuci muka lalu melompat ke dalam air membersihkan tubuhnya.
Dari ekor mata ia menangkap sosok Kakek bungkuk tadi, tapi setelah ia fokuskan pandangan tidak terlihat ada seseorang.
Ia bergegas keluar dari dalam air menyudahi mandinya.
Lawen mempercepat langkahnya masuk ke rumah betang karena hari sudah mulai gelap.
"Uma bau apa ini tercium seperti aroma sesuatu yang gosong terbakar"
Ia mengendus dengan hidungnya ke seluruh sudut dalam rumah betang.
"Uma tidak tau, mungkin saja aroma tungku perapian kita yang terbakar coba kamu periksa dulu"
Enon yang sedang asik menyusun daun sirih lalu mengoles kapur sedikit dan menggulungnya dengan buah pinang, tradisi manginang / menyirih sudah di lakukan masyarakat Dayak turun temurun.
"Sudah aku periksa Uma, tidak ada sesuatu yang terbakar dalam tungku"
"Hidungmu sudah bermasalah, itu akibat kamu sering tidur di waktu senja, pamali"
Lawen kesal dengan kata-kata Uma padahal ia sangat yakin aroma gosong tadi nyata, tapi setelah ia endus kembali tidak ada aroma gosong.
Lampu pelita berbahan bakar minyak tanah menjadi satu-satunya penerang di malam hari, ketika malam tiba perapin (obat nyamuk tradisonal) di hidupkan mengepul asapnya yang banyak, memenuhi ke seluruh sisi rumah betang. Membuat Uma Enom yang sedang menginang terganggu.
"Matikan perapin itu sebentar, nyamuk-nyamuknya juga sudah pergi"
Ucap Enon yang terbatuk-batuk.
/0/17229/coverorgin.jpg?v=513b725cac4054a999e490e3aec89f07&imageMogr2/format/webp)
/0/19244/coverorgin.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88&imageMogr2/format/webp)
/0/21618/coverorgin.jpg?v=20250115180812&imageMogr2/format/webp)
/0/26554/coverorgin.jpg?v=0692dd6d9b982272e6b4c6b01ce23c66&imageMogr2/format/webp)
/0/30877/coverorgin.jpg?v=1535f1c97480421768dfc5f1c7e9fd86&imageMogr2/format/webp)
/0/30600/coverorgin.jpg?v=67b212b7a06636dcd0b54f539b945370&imageMogr2/format/webp)
/0/17481/coverorgin.jpg?v=20240419170158&imageMogr2/format/webp)
/0/16578/coverorgin.jpg?v=20240428173035&imageMogr2/format/webp)
/0/19300/coverorgin.jpg?v=5b64df787a9f35410ad77322b8fc82cb&imageMogr2/format/webp)
/0/4259/coverorgin.jpg?v=20250121182434&imageMogr2/format/webp)
/0/7208/coverorgin.jpg?v=bf11b7cb5f27d34aa8eab7f20c7735ac&imageMogr2/format/webp)
/0/23401/coverorgin.jpg?v=4d80576acf8f0703d0660545e45c3910&imageMogr2/format/webp)
/0/26711/coverorgin.jpg?v=20251106164410&imageMogr2/format/webp)
/0/19239/coverorgin.jpg?v=20240830165627&imageMogr2/format/webp)
/0/4762/coverorgin.jpg?v=20250121182638&imageMogr2/format/webp)
/0/3531/coverorgin.jpg?v=20250122112927&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)
/0/27448/coverorgin.jpg?v=20250925201045&imageMogr2/format/webp)
/0/27575/coverorgin.jpg?v=74626d9c39a6f054b168321c21c05c34&imageMogr2/format/webp)