Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Suasana desa sangat ramai ketika panen tiba. Hampir semua orang pergi ke sawah melihat proses panen padi di desa itu. Kecuali mungkin Dewi. Dewi hanya bisa melihat dari jendela bagaimana teman-temannya berlarian ke sawah dengan gembira. Tapi, dia masih belum boleh keluar juga oleh bapaknya, Ndara Kamawijaya, sang kepala desa, sekaligus satu-satunya bangsawan di desa itu.
Dewi sedih. Dia selalu merasa sendiri. Sekolah boleh, tapi dia selalu ditunggu di luar oleh mbok embannya, sehingga ketika pulang, dia langsung pulang tanpa pernah bisa bermain dengan teman-temannya.
Dewi memang tidak punya teman. Tidak ada yang berani bermain dengannya, karena takut dengan bapaknya, yang berkumis tebal, membawa tongkat ke mana-mana dan tak pernah ragu untuk memukul dengan tongkatnya itu ketika marah. Dewi sedih. Sangat sedih. Selalu sedih.
Dia tidak pernah benar-benar mengerti arti kehidupan. Ibunya sudah meninggal ketika dia masih kecil. Dia hanya hidup berdua dengan mbok embannya setiap hari. Bapaknya selalu keluar rumah dan pulang malam hari, Dewi tidak pernah tahu ke mana bapaknya pergi.
Tapi hari itu udara begitu cerah. Dewi sangat ingin bergabung dengan temannya berlarian menuju ke sawah, melihat orang-orang memanen padi dan kadang pada malam harinya ada api unggun di sawah itu hingga pagi. Dewi tahu dari cerita teman-temannya, dan Dewi sangat ingin melihatnya, merasakan sensasinya dan ingin berkumpul dengan teman-temannya.
Dewi menyusut air matanya.
****
Kehidupan di dusun Parak tidak pernah mudah. Parak daerah yang begitu kering, gersang dan berbatu kapur, membuat warganya terbiasa hidup sulit. Hampir semua warganya adalah orang yang serba kekurangan. Kebanyakan bekerja sebagai buruh tani di sawah milik ndara Kamawijaya, satu-satunya orang yang memiliki sawah di Parak.
Dan waktu panen adalah juga waktu panen uang bagi para buruh tani itu. Mereka akan membawa keluarga mereka untuk membantu panen, atau membantu emban ndara Kamawijaya menyiapkan berbagai macam perlengkapan di dapur.
Biasanya rumah ndara Kamawijaya akan begitu ramai dengan warga dusun Parak yang membantu memasak dan menyiapkan persiapan syukuran panen pada malam harinya. Kadang juga mereka menyiapkan berbagai macam makanan untuk acara tanggapan wayang tujuh hari tujuh malam di lapangan dusun Parak.
Walaupun rumah Dewi ramai, lapangan dusun ramai, jalan-jalan desa ramai, sawah ramai, sungai ramai tapi Dewi tetap sepi. Dia tidak diperbolehkan membantu, tidak diperbolehkan bermain, tidak diperbolehkan melakukan apa-apa, hanya boleh tinggal di kamarnya seperti biasa, seperti setiap harinya.
Dewi menggigit bibirnya kuat-kuat ketika mendengar riuh rendah suara anak-anak yang berjalan melewati rumahnya, atau suara ibu-ibu yang mengobrol asyik di dapur rumahnya. Bau makanan lezat sampai juga di kamar Dewi, membuat Dewi sadar kalau dia begitu lapar.
Dewi membuka pintu kamarnya, mengintip keluar sedikit.
"Mbok! Mbok Jum!" Panggil Dewi pelan karena takut dan malu. Tidak ada jawaban. Mungkin mbok Jum sedang sibuk di dapur dengan embannya yang lain.
Dewi merapikan bajunya dan membuka pintu kamarnya perlahan. Dia keluar kamar dengan hati-hati. Tidak ada orang di ruang tengah, sepertinya semua memang sedang sibuk di dapur.
Dewi berjalan berjingkat menuju ke dapur. Dia takut ketahuan mbok Juminem, embannya sejak bayi.
Semakin mendekati dapur, bau makanan lezat semakin membuat perutnya meronta. Dia lapar. Dewi bisa mencium bau wajik, bau daging empal dan nasi liwet yang sebentar lagi matang. Dewi menahan diri untuk tidak berteriak memanggil mbok Jum lagi.
"Eh! Ada ndara putri! Mau ke mana, Ndara?"
Dewi melonjak kaget. Dia menoleh ke belakang. Salah satu embannya berdiri di belakangnya, nampaknya emban itu dari luar rumah.
"Aku cari mbok Jum," jawab Dewi.
Emban itu mengangguk.
"Sebentar, njih, Ndara. Jum lagi ikut nganter makanan ke sawah, sebentar lagi dia pulang. Oh, iya! Ndara putri lapar, njih? Sekedap saya siapkan! Ndara putri duduk dulu di ruang makan, njih!" Kata emban itu terbata, karena menyadari ndaranya belum makan siang.
Dewi menurut. Dia duduk dengan tenang.
"Mbok! Ini diletakkan di mana?"
"Ning njero kono, Mar! Terus gawakke sing iki, ya! (Di dalam situ, Mar! Terus bawakan yang ibi, ya!)"
"Ya, mbok!"
Dewi menoleh.
Matanya bertemu pandang dengan mata paling teduh yang pernah dilihatnya. Dia tidak berkedip. Dia merasakan suatu rasa yang baru pertama kali dirasakan di hatinya.
****
"Mar! Ayo! Kok malah mandheg! (Mar! Ayo! Kok malah berhenti!)"
Teriakan itu mengagetkan Ammar yang diminta membantu mengangkatkan kardus berisi makanan kering ke dalam rumah ndara Kamawijaya. Ammar segera berjalan lagi sambil mengangguk pada seorang gadis yang duduk di meja makan dengan rapi. Rambut gadis itu panjang dikepang dua. Gadis memakai kemeja warna putih yang sangat halus dan rok panjang warna hitam. Wajah gadis itu mengingatkan Ammar pada amoy atau gadis China yang sering dilihatnya di pasar besar. Matanya agak sipit dan bibir tipis sekali.
Ammar segera menyelesaikan semua pekerjaannya dengan menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang tak terkira. Dia belum pernah melihat gadis bangsawan cantik sedekat ini.
****
Ammar mengusap keringat di dahinya. Dia diminta kembali ke pasar untuk membawa lebih banyak makanan ke rumah ndara Kamawijaya. Dia mengangkat berbagai macam pesanan ndara Kamawijaya ke dalam sebuah mobil boks warna hitam milik ndara Kamawijaya.
Ammar tak habis pikir, berapa banyak makanan dan barang yang dipesan ndara Kamawijaya untuk acara panen ini. Mungkin karena acara ini di adakan setahun sekali, sehingga ndara Kamawijaya mengadakan acara besar-besaran. Menurut Ammar acara ini bukannya untuk bersedekah atau membantu warga Parak, ndara Kamawijaya hanya ingin pamer kepada sesama bangsawan di daerah lain, yang akan diundang ndara Kamawijaya pada malam pagelaran wayang kulit seminggu lagi.
Ammar teringat gadis yang dilihatnya tadi. Cantik sekali. Seperti tidak nyata.
Tiba-tiba Ammar geli sendiri.
Dia pernah melihat gadis itu! Ya! Gadis itu hampir sama seperti gambar gadis China yang ada di wadah bedak mbakyunya.
****
Dewi termangu di kamarnya.
Siapa pemuda tadi? Rasanya Dewi sangat menyukai wajah dan mata teduh pemuda tadi. Dia adalah gambaran tokoh pria yang dibayangkan Dewi ketika membaca kisah-kisah romantis di novel yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah tanpa sepengetahuan bapaknya.
Wajah itulah yang diam-diam diidamkan Dewi dalam mimpinya, mimpi seorang gadis yang belum pernah melihat dunia.
Dewi tersipu sendiri. Dia ingin bertemu dengan pemuda itu lagi. Dia tahu pemuda itu akan datang ke rumahnya lagi hari ini, oleh karena itu Dewi bersiap di ruang makan lagi, dia pura-pura menulis di meja makan, agar tidak disuruh pergi oleh mbok Jum.
Benar dugaan Dewi, beberapa waktu kemudian pemuda itu datang lagi ke rumah Dewi. Dia memasukkan barang-barang lagi ke rumah Dewi. Kali ini Dewi sudah siap, dia menunggu pemuda rupawan itu dengan senyuman termanisnya.
****
Ammar sangat terkejut melihat gadis itu tersenyum manis padanya. Ammar membalas senyum itu dengan hati yang penuh harap. Ammar berharap bisa mengenal gadis itu, atau paling tidak tahu namanya.
Jantung Ammar berpacu kencang ketika pekerjaannya hampir selesai. Dia belum tentu bisa ke rumah ndara Kamawijaya lagi besok, dia harus memberanikan diri bertanya pada gadis cantik itu.
Akhirnya Ammar berani mendekati gadis itu. Sang gadis terkejut dan tak menyangka Ammar akan berdiri di depannya. Mereka berpandangan dalam diam. Jantung Ammar berdebar sangat kencang.
"Ndara mau melihat api unggun?"
Ammar menelan ludah. Dia menunduk dalam-dalam. Dia menyesal, kenapa dia menanyakan hal bodoh seperti itu. Ammar salah tingkah, dia ingin pergi saja dari ruang itu.
"Iya, aku mau."
Sunyi.
Butuh beberapa waktu untuk mencerna jawaban sang gadis cantik. Ammar mendongak menatap wajah sang gadis yang merona merah.
"Eh... kalau begitu nanti malam saya jemput jam tujuh," kata Ammar dengam cepat. Dia takut sang gadis berubah pikiran.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum penuh semangat.
"Jangan sampai ketahuan bapak, ya!" Bisik gadis itu dengan bersemangat. Ammar mengangguk dia segera berlalu dari ruangan itu, karena takut ketahuan mbok emban ndara Kamawijaya.
****
Setelah sholat Magrib, Ammar begitu gelisah. Dia sudah siap sejak sore tadi. Dia memakai satu-satunya baju terbaik yang dimiliki Ammar. Simboknya melihat Ammar dengan heran.
"Arep nang endi, Mar? (Mau ke mana, Mar?)" Tanya simboknya penasaran.
"Nonton api unggun, Mbok!" Jawab Ammar tersenyum lebar.
"Wong ming nonton api unggun, kok, nggo klambi apik barang! Biasane lak ming sarungan, to, Mar? (Orang cuma mau nonton api unggun, kok pakai baju bagus! Biasanya kan, hanya pakai sarung, kan, Mar?)"
Ammar tertawa.
"Sapa ngerti ana sing gelem karo aku, Mbok! (Siapa tahu ada yang mau sama aku, Mbok!)" Jawab Ammar sekenanya.
Mbakyu dan ibunya tertawa terbahak-bahak, menahan geli. Ammar tak peduli.
Jam setengah tujuh Ammar sudah berangkat ke rumah ndara Kamawijaya untuk menjenout gadis cantik tadi. Jantungnya berdebar keras, nafasnya terengah, tapi dia sangat senang.
****
Rumah ndara Kamawijaya sangat ramai. Ada begitu banyak jong*s atau pembantu pria di depan rumahnya, mereka mengangkat berbagai macam barang yang akan dibawa ke sawah untuk acara api unggun malam ini.
Ammar bersembunyi di rerimbunan pohon tidak jauh dari rumah paling besar di dukuh Parak itu. Dia sering melihat kesibukan seperti ini. Sebentar lagi semua persiapan selesai, dan dia bisa menjemput gadis cantik itu.