Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
25
Penayangan
3
Bab

Kisah cinta seorang gadis yang memiliki nama julukan 'azalea' dengan seorang Polisi yang memiliki nama julukan 'semeru' yang bertemu pertama kalinya di sebuah Cafe. Saat itu sang pria tidak sengaja menjatuhkan es kopi hingga gelasnya tumpah dan mengenai sang gadis–yang menyebabkan pertengkaran ringan diantara keduanya. Azalea adalah seorang gadis yang memiliki rasa trauma dengan cinta– setelah kisah percintaannya beberapa tahun yang lalu dengan kekasihnya yang bernama Haikal. Namun setelah dia sering bertemu dengan semeru secara tidak sengaja, gadis itu perlahan-lahan membuka hati untuk semeru. Begitu pun dengan semeru yang mencintai azhalea. Saat keduanya sedang menjalani pendekatan, tiba-tiba Haikal datang lagi dan mengganggu hubungan mereka–membuat pria semeru menjauh dari azhalea. Suatu ketika, pria semeru mengalami kecelakaan dan azhalea berusaha merawatnya di rumah sakit. Meskipun semeru tidak memedulikannya dan kerab kali mengusirnya dari rumah sakit, tetapi azhalea tetap berusaha selalu ada dan merawat semeru hingga sembuh. Ketulusan yang azhalea beri dan tunjukkan, mampu meluluhkan hati semeru dan mereka kembali berdamai seperti dulu lagi. Saat semeru sudah pulih dari sakitnya, dia berusaha mengutarakan isi hatinya pada azhalea. Namun azhalea menolak karena dia tidak lagi ingin berpacaran. Dia ingin segera menikah saja, agar tidak lagi membuat dosa. Lalu, apakah semeru menyetujui permintaan azhalea?

Bab 1 Kisah Es Kopi

Jika engkau bertanya akan kebaikan Tuhan terhadap hambaNya,

Maka mungkin inilah jawabannya.

Jika engkau bertanya akan keadilan Tuhan terhadap hambaNya,

Maka mungkin inilah wujud keadilan itu.

By : Caca

Dersikan angin terdengar begitu jelas di telinga. Dinginnya merasuk menusuk hingga ke tulang rusuk. Membuat gadis berbaju coklat susu itu sesekali memejamkan matanya sembari melipat kedua tangannya di atas dada.

Dia duduk menghadap jendela yang sedang menari riang bersama sang angin dan gorden pink susu, di siang ini. Suara saling berbenturan antara pintu jendela kanan dan kiri, menjadi irama yang menemaninya di dalam ruangan penuh dengan perabotan kantor.

Kedua bola mata indahnya menatap jauh–keluar jendela, bersama pahit dan perihnya kenyataan yang ia rasakan saat ini. Cinta datang tanpa janji temu. Cinta berjalan diantara kedua anak manusia yang penuh ketidak sempurnaan. Namun bagaimana bisa, seorang yang tak sempurna, pergi membawa cintanya dengan ribuan alasan dan meninggalkan setumpuk warisan luka dengan scenario yang sempurna?

Tiga tahun sudah berlalu, namun sayatan luka yang telah mengering itu terkadang masih terasa perih dan mengundang tetesan-tetesan air kesucian yang kerap kali membasahi pipi. Sungguh suatu realitanya yang bertolak belakang dari segala asa yang ia miliki sejak pertama kali cinta itu datang menyapanya.

"Ca, mikirin apa sih?" tanya Kristina–Adik dari ibunya Caca yang beragama Kristen.

"Nggak mikirin apa-apa kok, Te," jawab Caca, berbohong.

Kristi mengangguk pelan, "Kalau ada masalah, ceritalah. Setidaknya kalau kamu tidak bisa cerita pada manusia, ceritakan pada Tuhan. Dia adalah pendengar dan pemberi yang terbaik. Oh iya, tutup jendelanya karena hujan sepertinya akan turun." Kristina tersenyum tipis–mengelus lembut kepala Caca yang sudah ia anggap putrinya sendiri.

Kristina berlanjut pergi meninggalkan Caca, seorang diri di teras rumah–saat senja di hari itu.

Caca menghela nafas kasar dan bergumam dalam kalbunya, "Andai aku bisa menikah dengan Haikal, pasti ibu dan ayah nggak akan seperti ini."

Matanya menatap jalanan depan rumah yang terlihat dari dalam ruang kerjanya, tanpa berkedip. Meski sudah tiga tahun lebih dia berpisah dengan Haikal, namun kecewa dan sakit hatinya tak kunjung usai. Membekas dan sesekali masih terasa perih. Kadangkala, Caca berpikir 'akankah dia bisa kembali bersama lagi seperti dulu,' saat keheningan datang menyapanya.

Caca kini sudah tidak lagi bekerja menjadi seorang pendidik. Dia mengundurkan diri sejak masih menjalin hubungan dengan Haikal–satu tahun empat bulan–sebelum dia berpisah dengan Haikal. Profesi barunya saat ini adalah seorang Entrepreneur muda dibidang fashion muslimah.

Profesi tersebut sempat dia jalani bersama dengan Haikal–hanya beberapa bulan saja. Saat mereka berpisah, usaha Caca menjadi sedikit terganggu, sebab ada banyaknya serangan fitnah yang menyerangnya tanpa dia ketahui 'siapa otak dibalik semua kerusuhan' yang terjadi.

"Ca, ada temanmu di depan," kata Kristina. Caca mengangguk dan keluar menuju ke ruang depan.

"Ca!" sapa gadis berkulit putih–mata sipit dan tubuh yang cukup tinggi.

"Tumben kesini nggak bilang-bilang dulu, Da. Ada apa?" tanya Caca.

"Gak papa. Lagi mendadak gabut aja, sih. Keluar yuk," ujar Sahida.

"Boleh-boleh, kebetulan aku juga lagi sumpek. Jenuh, di rumah," jawab Caca. "Tunggu ya, aku ganti baju dulu." Caca bergegas masuk kamar untuk bersiap-siap.

Sementara Sahida, memilih menunggu Caca di teras rumah. Dia duduk seorang diri, sambil berselfie ria. Tak lama, wanita paruh baya muncul–menyapa Sahida yang membuatnya kaget dan ponselnya hampir saja jatuh.

Masuk dulu, Nak …" ujar wanita paruh baya itu.

"Eh iya, Bu … saya disini saja. Cari angin," ujar Sahida.

"Ibu buatkan minum ya, Nak …" Wanita paruh baya itu tersenyum dan berjalan, kembali masuk ke rumah.

"Tidak perlu repot-repot, Bu! Saya mau keluar sama Caca," teriak Sahida.

Wanita itu menjawab ucapan Sahida dengan teriakan juga, sebab dia sambil berjalan ke arah dapur.

Sahida bergumam dalam hatinya, "Kok bisa ya, Caca hidup seperti ini. Jarang keluar rumah, terlalu banyak musibah yang dia alami, tapi gak pernah stres dan masih bisa tersenyum."

"Da, ayo. Aku udah siap," ujar Caca yang tiba-tiba sudah berada di belakang Sahida.

"Oke, capcus." Gadis sipit itu mengambil tasnya.

Namun langkah kaki mereka terhenti oleh suara ibunya Caca yang memanggil nama mereka. Caca dan Sahida berhenti sampai ibunya tiba di hadapannya.

"Mendung-mendung begini kalian mau kemana?" tanya Bu Sovia–ibunya Caca.

"Mau jalan-jalan sebentar, Bu. Cari angin. Jenuh di rumah," jawab Caca dengan memelas agar di perbolehkan.

Awalnya Beliau melarang Caca untuk pergi. Namun akhirnya, Beliau membolehkan karena ingat kalau anaknya tersebut sudah lama tidak main bersama teman-temannya sejak berpisah dengan Haikal.

Caca dan Sahida pergi mengelilingi kota sambil berpikir 'akan kemanakah mereka' hari ini. Hingga pada akhirnya, Caca mengajak Sahida untuk ke kafe temannya, sekaligus mengenalkan Sahida dengan temannya. Jarak kafe dengan jalanan yang saat ini mereka lintasi, sudah cukup dekat. Hanya perlu waktu tiga menit saja untuk bisa sampai pada lokasi tujuan.

***

"Hai, Bestie! Lagi rame banget, nih. Mau dibantuin nggak?" tanya Caca dengan suara cukup keras yang membuat Saras terkejut.

"Astaga …, ini anak selalu ya! Dari dulu nggak pernah bikin gue nggak jantungan. Elo itu kenapa sih sebenernya? selalu …, aja bikin orang itu naik darah. Nggak bisa apa, ngomong itu yang santai?" Saras sedikit memelototkan matanya.

"Terus kalau kesini itu janjian dulu lah, biar nggak kaget," imbuhnya.

"Ya sorry … aku niatnya ke sini tuh secara dadakan, gitu. Ya … karena aku gabut di rumah, terus kebetulan ada Sahida yang datang ke rumah untuk ngajakin aku keluar. Ya udah aku ngikut aja." Caca tersenyum.

"Anehnya, kita sama-sama gak punya tujuan mau ke mana. Jadi ya … aku rasa lebih baik aku numpang gabut di sini aja, deh. Boleh kan? boleh dong …" imbuhnya. Caca memainkan alisnya– menggoda Saras yang sedang kesal.

Sahida terkekeh, sambil menabrakkan lengan tangannya ke lengan Caca. Saras hanya menghela nafas dan menyuruh Caca beserta Sahida menunggu di ruang studio miliknya. Akan tetapi, Caca menolaknya. Dia lebih memilih untuk menjadi tamu cafe dan duduk di ruangan cafe, sambil menikmati semilir angin yang sejuk.

Pyar! Segelas es kopi terjatuh dan membasahi sepatu Caca. Dia mendecik karena kesal. Dengan sigap, pria muda berbadan atletis itu meminta maaf pada Caca karena tidak sengaja mengotori sepatu Caca dengan es kopi. Pria itu pun mendadak panik dan mengambil sebuah tisu untuk membersihkan sepatu Caca yang terkena kopi.

"Argh. Sudah. Biar aku bersihkan sendiri! Kalau jalan itu lihat-lihat dong! kalau begini aku nggak bisa salat Dzuhur di jalan, nanti." Caca mengerutkan dahinya sembari terus mengomel dan memarahi pria muda itu.

Pria muda itu terus meminta maaf kepada Caca dan menyuruh Caca menunggunya karena dia akan kembali lagi. Dia berlari keluar dari Kafe. Tak lama kemudian, dia kembali ke Kafe lagi, sambil membawa sepasang stocking atau kaos kaki coklat dan rok panjang yang masih baru dan memberikannya ke Caca.

"Hah, buat apa?" tanya Caca.

"Buat ganti nanti kalau mau salat, Mbak. Rok nya itu 'kan juga kena najis," ujar pria itu. "Masih baru kok, bukan bekas. Beli di toko sebelah, tadi." Dia tersenyum memandang Caca.

"Nggak usah, aku bisa salat di rumah nanti. Telat sedikit nggak apa-apa," jawab Caca.

"Jangan, Mbak. Ini sudah kewajiban saya karena saya yang salah. Lagi pula, menunda salat itu tidak baik. Selagi kita masih bisa tepat waktu, kenapa memilih untuk menunda." Dia menyodorkan kresek hitam itu pada Caca, lalu meminta maaf dan kembali memes

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku