Seorang pria terjebak dalam cinta terlarang dengan sahabat istrinya. Ketika kedua wanita itu mengetahui kebenaran, pertemanan mereka hancur, dan pria tersebut harus menghadapi konsekuensi dari janji yang pernah ia buat pada keduanya.
Andra memandang Lina yang sedang tertawa di ruang tamu. Mereka baru saja pulang dari makan malam bersama Sarah, sahabat Lina sejak masa kuliah. Rumah tangga mereka selama ini berjalan baik. Tidak ada konflik besar, semuanya stabil. Lina adalah istri yang penuh perhatian, dan Andra merasa bersyukur memilikinya. Tapi, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang mengusik pikirannya-sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sarah.
Awalnya, semua terasa biasa. Mereka sering bertemu karena Lina dan Sarah memang dekat. Namun, beberapa bulan terakhir, Andra mulai melihat Sarah dengan cara yang berbeda. Ada sesuatu di matanya, di caranya tertawa, yang membuat hati Andra berdebar. Semakin sering mereka bertemu, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Andra mencoba mengabaikannya, tetapi perasaan itu seakan enggan pergi.
"Sayang, kamu kelihatan capek. Mau teh?" suara Lina membuyarkan lamunan Andra. Ia mengangguk pelan.
"Ya, terima kasih. Teh hangat sepertinya enak sekarang."
Lina tersenyum dan pergi ke dapur, meninggalkan Andra yang tenggelam lagi dalam pikirannya. Dia tahu apa yang ia rasakan itu salah. Sarah adalah sahabat Lina-itu sudah lebih dari cukup untuk menghentikannya. Tapi hati tidak selalu sejalan dengan logika. Makin hari, perasaan itu makin sulit dikendalikan.
Beberapa hari kemudian, saat Lina sedang sibuk dengan pekerjaannya, Andra tanpa sengaja bertemu dengan Sarah di sebuah kafe kecil dekat kantor. Awalnya mereka hanya saling sapa, namun percakapan ringan berkembang lebih dalam.
"Andra, kamu sering datang ke sini?" tanya Sarah dengan senyum hangat, duduk di depannya.
"Kadang-kadang. Tempatnya tenang buat kerja," jawab Andra, berusaha menjaga nada suaranya tetap santai.
Sarah mengangguk. "Aku juga suka suasananya. Tenang, ya?"
Obrolan mereka berlanjut, dari pekerjaan, hobi, hingga kehidupan sehari-hari. Ada kehangatan dalam percakapan itu, seolah mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama, bukan hanya sekadar teman lewat Lina. Danra mulai merasa nyaman, terlalu nyaman.
"Kamu dan Lina masih sering jalan bareng?" tanya Sarah tiba-tiba.
"Ya, kadang-kadang. Kamu tahu kan, Lina sibuk banget dengan pekerjaannya."
Sarah tersenyum kecil, seakan memahami. "Dia memang ambisius sejak dulu. Tapi itu yang bikin kita sayang sama dia, kan?"
Andra mengangguk, meski dalam hatinya perasaan bimbang semakin tumbuh. Saat Sarah berbicara, Andra merasa ada sesuatu yang menarik dirinya lebih dalam. Dia merasa Sarah bisa memahami dirinya lebih dari yang ia duga.
"Kadang, aku merasa... entah bagaimana menjelaskannya, seperti ada yang hilang di antara aku dan Lina," ucap Andra tiba-tiba, tanpa sadar. Ia terdiam sejenak setelahnya, menyadari apa yang baru saja diucapkannya.
Sarah memandangnya dengan mata lembut, namun tak berkata apa-apa. Hanya keheningan yang menjawab, dan keheningan itulah yang justru terasa menyesakkan.
Malam itu, Andra tidak bisa tidur. Ia berbaring di sebelah Lina yang tertidur lelap, namun pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Sarah di kafe. Ia merasakan perasaan bersalah yang dalam-bukan hanya pada Lina, tapi juga pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan perasaan seperti ini tumbuh?
Andra menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia tahu apa yang ia rasakan ini salah. Tapi entah bagaimana, perasaan itu terus merayapi pikirannya, seperti api kecil yang terus menyala meski ia mencoba memadamkannya.
"Ini harus dihentikan," gumam Andra pada dirinya sendiri. Namun, jauh di dalam hati, ia tahu bahwa perasaan itu tidak semudah itu untuk diabaikan.
Keesokan harinya, saat sarapan, Lina memandang Andra dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Kamu baik-baik saja? Sejak tadi malam kelihatan melamun," tanya Lina dengan nada cemas.
Andra tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya. "Aku baik-baik saja, cuma sedikit lelah saja, sayang."
Lina menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Kalau ada yang kamu pikirkan, jangan ragu buat cerita ya," ucapnya lembut.
Andra merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Lina. Wanita yang selalu ia cintai, wanita yang mempercayainya sepenuhnya. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai berontak, dan Andra tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya.
Ia memandangi Lina yang kembali sibuk dengan sarapannya, dan sekali lagi, pikiran tentang Sarah muncul dalam benaknya.
"Maafkan aku, Lina," batinnya, merasa terjebak dalam kebimbangan yang semakin tak tertahankan.
Andra duduk di meja makan, mencoba memusatkan pikirannya pada hal-hal sederhana-suara detik jam di dinding, aroma kopi di cangkirnya, dan sapaan lembut sinar matahari pagi yang menyelinap melalui jendela dapur. Namun, semakin ia mencoba mengalihkan pikirannya, semakin kuat bayangan wajah Sarah mengganggu kesadarannya.
Lina, yang duduk di hadapannya, tak menyadari gejolak batin suaminya. Ia tampak sibuk memeriksa ponselnya, mungkin untuk pekerjaan kantor. Sesekali, Lina melirik Andra dan tersenyum, namun Andra hanya membalas dengan anggukan kecil. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Perasaan ini salah, ia tahu itu. Tapi semakin ia mencoba menepisnya, semakin dalam ia terjebak.
"Sayang, hari ini kamu ada rencana apa?" tanya Lina, mengangkat wajahnya dari layar ponsel.
Andra mengerjap, kembali ke dunia nyata. "Hmm... nggak ada yang terlalu penting. Mungkin cuma urusan kerja biasa. Kenapa?"
"Aku mungkin pulang agak malam. Ada meeting sama klien baru," jawab Lina sambil menyeruput kopi. "Sarah juga bilang mungkin mampir nanti malam, kamu nggak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?"
Nama Sarah membuat jantung Andra berdetak lebih cepat. Dia berusaha terlihat biasa saja. "Nggak masalah, kok. Aku bisa urus sendiri."
Lina tersenyum lega. "Bagus, kamu memang selalu bisa diandalkan."
Andra menatapnya, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya lagi. Lina begitu mempercayainya. Ia merasa hancur setiap kali sadar bahwa kepercayaannya sedang digerogoti oleh sesuatu yang ia sendiri tak sepenuhnya pahami.
Hari itu berlalu dengan lambat. Di kantor, Andra duduk di depan komputernya, berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tapi pikiran tentang Sarah terus mengganggunya. Ia terus mengingat percakapan mereka di kafe kemarin-senyum Sarah, nada bicaranya yang hangat, dan betapa nyaman mereka berbicara satu sama lain.
"Ini nggak bisa terus begini," pikir Andra.
Ketika hari beranjak sore, Andra menerima pesan dari Sarah.
Sarah: *"Hey, Lina tadi bilang mungkin pulang agak malam. Kalau kamu free, gimana kalau kita ngobrol bentar di tempat biasa?"*
Andra tertegun. Seharusnya ia tidak pergi. Seharusnya ia menolak. Namun, jari-jarinya bergerak sebelum otaknya bisa menghentikannya.
Andra: "Oke. Aku akan ke sana sebentar lagi."
Di kafe tempat mereka sering bertemu, Andra duduk di pojok, menunggu Sarah. Hatinya berdebar. Ini bukan pertemuan pertama mereka berdua tanpa Lina, tapi setiap kali, perasaan bersalah itu semakin membesar.
Sarah muncul dengan senyum yang sama hangatnya. Ia duduk di hadapan Andra, menarik napas panjang.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Sarah pelan.
Andra menatapnya dalam-dalam, tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Aku nggak tahu," gumamnya, akhirnya menyerah pada kejujuran.
Sarah mengerutkan kening, "Kenapa? Apa karena Lina?"
Andra menggeleng, lalu mengangguk, kemudian terdiam lagi. "Sarah, aku nggak bisa begini terus."
Sarah terdiam sejenak, mengamati wajah Andra dengan cermat. "Maksudmu?"
"Aku... aku nggak tahu apa yang terjadi sama kita, tapi aku tahu ini salah." Andra menundukkan kepalanya, meremas tangannya di atas meja. "Lina nggak pantas buat dikhianati, apalagi sama aku."
Sarah menatap Andra dengan perasaan campur aduk. Ia tahu betul apa yang Andra maksud, dan di dalam hatinya, ia pun merasa bersalah. Namun, ada bagian dalam dirinya yang tidak bisa menyangkal bahwa ia juga menyimpan perasaan pada Andra. Meski begitu, ia tak pernah bermaksud menyakiti Lina, sahabat terdekatnya.
"Andra..." Sarah mengambil napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Aku juga merasa sama. Ini salah. Tapi perasaan kita bukan sesuatu yang bisa dihapus begitu saja, kan?"
Andra memejamkan mata, mendengar kalimat Sarah membuat hatinya semakin kacau. "Ya, aku tahu. Tapi itu justru masalahnya, Sarah. Setiap hari aku makin terjebak."
Mereka duduk dalam keheningan yang menyesakkan. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah situasi ini. Keduanya tahu bahwa semakin jauh mereka melangkah, semakin dalam luka yang akan mereka timbulkan. Namun, perasaan yang ada di antara mereka tidak semudah itu hilang.
"Apa yang kita lakukan?" Andra akhirnya bertanya, nyaris berbisik.
Sarah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku nggak tahu, Andra. Tapi satu hal yang pasti, kita nggak bisa terus begini tanpa akhirnya menyakiti seseorang yang kita sayangi."
Andra tahu Sarah benar. Tapi meski mengetahui itu, ia tidak yakin apakah ia cukup kuat untuk menghentikan semua ini sekarang, ketika perasaannya pada Sarah sudah begitu kuat.
Bersambung...
Buku lain oleh eskayeer
Selebihnya