Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
JANJI YANG DILANGGAR

JANJI YANG DILANGGAR

SOENARYATI

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Sepasang kekasih yang saling berjanji untuk bersama selamanya terjebak dalam cobaan ketika salah satu dari mereka mengkhianati cinta itu. Rasa sakit dan kebohongan perlahan mengungkap kebenaran yang mengubah hidup mereka berdua.

Bab 1 Awal yang Manis

Hidup selalu terasa lebih indah saat cinta hadir dengan tulus. Arman dan Maya, dua mahasiswa arsitektur, adalah contoh pasangan sempurna yang sering menjadi bahan pembicaraan di kampus. Mereka tidak hanya berbagi mimpi, tetapi juga janji untuk bersama selamanya.

Sore itu, sinar matahari yang mulai meredup memberikan warna keemasan pada taman kampus. Di bangku kayu di bawah pohon rindang, Arman duduk sambil memperhatikan Maya yang sedang menggambar sketsa bangunan.

"Aku selalu kagum dengan caramu menggambar," ujar Arman sambil tersenyum. "Kamu bisa membuat hal yang sederhana jadi terlihat luar biasa."

Maya menoleh, mengangkat pensilnya, dan mengerling nakal. "Kalau aku bisa menggambar wajahmu, mungkin itu karya paling sederhana, Man."

Arman tertawa, tetapi matanya memancarkan cinta yang tulus. Ia meraih tangan Maya perlahan.

"Kita sudah hampir lulus, May. Kamu pernah berpikir tentang masa depan kita nanti?"

Maya terdiam sejenak, menatap mata Arman yang penuh harapan. "Aku pernah memikirkan itu. Tapi aku hanya ingin memastikan kalau kita selalu bersama, apapun yang terjadi."

"Janji?" tanya Arman serius.

Maya mengangguk dengan senyum manis. "Janji."

Mereka berdua saling menggenggam tangan lebih erat, membiarkan angin sore membawa suasana damai.

Beberapa bulan kemudian, di malam perayaan kelulusan, Arman dan Maya berjalan menyusuri halaman kampus yang mulai sepi. Langit dipenuhi bintang, dan aroma bunga melati dari taman semakin memperindah suasana.

"Aku punya sesuatu untukmu," ujar Arman sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

Maya mengangkat alis, terlihat terkejut. "Apa itu?"

Arman membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran huruf "M&A".

"Ini bukan lamaran resmi. Aku tahu kita masih muda, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku serius dengan janji kita."

Maya menatap cincin itu dengan mata berbinar. Ia kemudian melihat Arman dengan senyuman lembut.

"Kamu tahu, kamu itu terlalu romantis untuk ukuran seorang pria."

"Aku serius, May," ujar Arman, suaranya penuh emosi. "Aku ingin kita selalu bersama, tak peduli seberapa sulit hidup nanti."

Maya mengambil cincin itu dan memakainya di jari manisnya. "Aku juga serius, Arman. Aku percaya pada kita."

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka membuat janji yang terdengar sederhana tetapi penuh makna: janji untuk bersama selamanya.

Namun, seperti kebanyakan janji, waktu dan kehidupan akan menguji seberapa kuat hati mereka mampu bertahan.

Setelah malam perayaan kelulusan itu, Arman dan Maya memutuskan menghabiskan waktu bersama di kafe favorit mereka di dekat kampus. Kafe kecil itu selalu menjadi tempat mereka berbagi cerita, tertawa, dan menyusun rencana masa depan.

Di sudut kafe, mereka duduk di meja favorit, tepat di samping jendela besar yang menghadap jalan kecil dengan lampu-lampu temaram.

"Jadi, apa langkah kita selanjutnya?" tanya Maya sambil mengaduk kopi latte-nya.

Arman tersenyum. "Aku sudah mengirim lamaran ke beberapa perusahaan arsitektur. Tapi aku juga berpikir, bagaimana kalau kita mulai usaha kecil-kecilan? Studio desain kita sendiri."

Maya terkejut, namun matanya berbinar. "Studio desain? Kamu serius?"

"Kenapa tidak? Aku tahu itu mungkin terdengar gila. Tapi aku ingin kita bekerja bersama, merancang sesuatu yang berarti. Bayangkan, 'Studio A&M,' tempat kita menciptakan sesuatu yang orang lain hanya bisa impikan."

Maya terkekeh, tetapi ada rasa bangga dalam tawanya. "Studio A&M, ya? Kedengarannya keren. Tapi bukankah itu terlalu cepat? Kita bahkan belum punya modal."

Arman mengangkat bahu, meminum kopinya dengan santai. "Kita mulai dari yang kecil dulu. Siapa tahu, ini bisa jadi awal dari sesuatu yang besar. Tapi, aku tidak akan memaksamu. Aku cuma ingin kita selalu punya mimpi bersama."

Maya menatap Arman dengan kagum. Dia selalu menyukai keberanian dan optimisme pria itu.

"Kamu selalu tahu cara membuatku percaya pada hal-hal yang tidak mungkin," ujar Maya pelan.

"Karena aku percaya pada kamu, Maya. Selalu."

Sejenak, suasana di antara mereka hening. Hanya suara pelayan yang sibuk dan obrolan pelanggan lain yang terdengar. Maya menggenggam tangan Arman yang ada di atas meja.

"Aku juga percaya pada kita, Arman. Apapun yang terjadi nanti, kita harus tetap bersama. Itu janji."

Arman menggenggam tangan Maya lebih erat. "Janji."

Beberapa minggu kemudian, hidup mereka mulai berubah. Maya mendapatkan pekerjaan di perusahaan desain interior ternama, sementara Arman diterima di salah satu firma arsitektur besar di luar kota. Kabar itu membawa kebahagiaan sekaligus kecemasan.

"Jadi, kamu akan pindah?" tanya Maya di sela-sela makan malam sederhana di apartemen kecilnya.

"Untuk sementara," jawab Arman, suaranya tenang namun ada keraguan. "Aku tahu ini berat, tapi aku rasa ini langkah yang tepat untuk karierku. Dan... untuk kita."

Maya meletakkan garpunya, menatap Arman dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku mendukungmu, Arman. Tapi aku juga takut. Bagaimana kalau jarak ini membuat kita berubah?"

"May," Arman meraih kedua tangan Maya. "Aku tidak akan pernah berubah. Aku mencintaimu, dan jarak tidak akan mengubah itu. Kita bisa melewati ini bersama."

Maya tersenyum tipis, meski hatinya masih berat. "Kamu harus janji, Man. Jangan pernah menyerah pada kita, apapun yang terjadi."

"Janji." Arman mengangguk tegas.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu berbicara tentang masa depan. Mereka membuat rencana untuk bertemu setiap akhir pekan dan berbagi setiap hal kecil yang terjadi di hidup mereka. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dunia nyata sering kali punya cara untuk menguji janji-janji yang terlihat tak tergoyahkan.

"Aku selalu suka malam seperti ini," kata Maya sambil menyandarkan kepala di bahu Arman.

"Kenapa?" Arman bertanya, memandang Maya dengan lembut.

"Karena malam-malam seperti ini membuatku merasa kita punya segalanya. Cinta, mimpi, dan harapan. Semuanya terasa mungkin."

Arman tersenyum, lalu mengecup kening Maya. "Kamu benar. Kita memang punya segalanya. Dan aku akan memastikan itu tetap begitu."

Maya tertawa kecil. "Kamu selalu membuatku merasa seperti tokoh utama di novel romantis."

Arman mengerutkan dahi pura-pura berpikir. "Mungkin kita memang tokoh utama. Kisah cinta kita lebih dari sekadar cerita biasa, Maya. Ini kisah yang akan kita kenang selamanya."

"Selamanya, ya?" Maya menatap Arman dengan mata berbinar.

Arman mengangguk yakin. "Selamanya."

Namun, keesokan harinya, kehidupan mulai menunjukkan sisi realitanya.

Maya menerima kabar bahwa proyek besar perusahaannya membutuhkan dedikasi penuh. Sementara itu, Arman mendapatkan telepon dari bos barunya yang memintanya datang lebih awal untuk orientasi di kota lain.

"Berarti kamu harus pergi minggu depan?" tanya Maya di telepon, suaranya terdengar berat.

"Ya, May. Aku tahu ini mendadak, tapi aku janji akan sering pulang untuk bertemu kamu. Aku tidak akan pernah melupakan kita," ujar Arman dengan nada penuh penyesalan.

Maya menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Aku mengerti, Arman. Aku juga akan sibuk dengan pekerjaanku. Mungkin ini akan membantu kita tetap fokus pada mimpi masing-masing."

"Tapi mimpi kita tidak akan pernah lepas dari satu sama lain," balas Arman cepat. "Aku ingin kamu tahu itu."

Maya terdiam, lalu tersenyum tipis meski hatinya terasa berat. "Aku percaya padamu, Arman."

Seminggu kemudian, saat pagi yang cerah, Arman berdiri di depan apartemen Maya dengan koper besar di sampingnya.

"Kamu yakin gak mau aku antar ke stasiun?" tanya Maya sambil menyilangkan tangan.

Arman menggeleng, lalu menarik Maya ke pelukannya. "Enggak, May. Kalau kamu ikut, aku akan semakin sulit pergi."

Maya memeluknya erat, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku akan merindukanmu, Arman."

"Aku juga," bisik Arman. "Tapi ini bukan perpisahan. Ini awal dari sesuatu yang lebih besar untuk kita."

Arman melepas pelukannya perlahan, menatap Maya dengan senyuman yang berusaha menutupi rasa sedihnya.

"Kamu tahu apa yang akan aku lakukan nanti malam?" tanya Arman dengan nada ceria.

"Apa?" Maya mencoba tersenyum meski matanya masih berkaca-kaca.

"Aku akan telepon kamu dan cerita soal hari pertamaku. Dan kamu harus cerita soal harimu juga, oke?"

Maya mengangguk. "Oke."

Arman mencium kening Maya sekali lagi sebelum mengambil kopernya dan berjalan pergi. Maya berdiri di depan apartemennya, memperhatikan punggung pria yang dicintainya menghilang di tikungan jalan.

Dalam hati, ia berdoa agar janji yang mereka buat tetap terjaga. Tapi ia juga tahu, dunia nyata tidak selalu berpihak pada cinta yang terlihat sempurna.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh SOENARYATI

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku