/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
Aku berdiri di tengah keramaian itu, di bawah sorot lampu kristal yang harganya bisa buat beli pulau kecil. Malam ini, Pestanya The Golden Circle-nama keren buat perkumpulan orang-orang yang hartanya nggak habis tujuh turunan. Semua mata, dan serius, semua mata, tertuju padaku.
Aku, Aluna Callysta.
Gaun haute couture yang kupakai malam ini, bahannya didatangkan langsung dari Milan. Potongannya berani, memeluk lekuk tubuhku dengan sempurna. Di leherku melingkar kalung berlian yang cahayanya bersaing sama lampu di langit-langit. Senyumku? Senyum yang sudah teruji oleh ratusan kamera paparazzi. Hangat, elegan, dan... kosong.
"Aluna, darling, kamu luar biasa malam ini."
Suara itu datang dari Nyonya Chandra, seorang janda kaya raya yang kerjanya cuma sibuk menjaga reputasi. Aku memiringkan kepala sedikit, senyumku sedikit lebih lebar.
"Terima kasih, Tante. Kamu juga. Cincin barunya stunning."
Omong kosong. Aku nggak peduli sama cincin itu. Aku nggak peduli sama Nyonya Chandra, sama pestanya, atau sama semua sampanye mahal yang mereka minum. Aku ada di sini, bukan buat bersenang-senang. Aku ada di sini buat nunjukkin pada dunia: Aku baik-baik saja.
Padahal, aku hancur. Hancur lebur sampai ke serpihan terkecil yang nggak mungkin lagi direkatkan.
Cinta. Kata itu buatku sekarang cuma seperti kentut. Ada, tapi nggak kelihatan, dan biasanya cuma ninggalin bau nggak enak. Tawa renyah yang barusan kulepaskan, itu palsu. Itu hasil latihan keras di depan cermin, memastikan setiap sudut bibirku naik sempurna, nggak ada jejak kesedihan di sana.
Aku menahan napas sejenak, mengambil gelas champagne yang lewat di nampan pelayan, dan menyesapnya cepat. Dinginnya menyengat lidah, tapi nggak bisa mematikan api amarah yang sudah tiga tahun ini membakar habis hatiku.
Tiga tahun. Tiga tahun sejak tragedi itu. Tiga tahun sejak aku menyaksikan orang yang paling kucintai, Elian Dharma, mengucapkan janji suci. Bukan padaku. Tapi pada Anya, kakak tiriku.
Elian dan Anya.
Dua nama itu, kalau digabung, menciptakan racun paling mematikan buatku. Mereka membunuhku, nggak pakai pisau atau peluru, tapi dengan gaun pengantin putih bersih, sumpah pernikahan, dan senyum bahagia yang mereka tunjukkan ke semua orang.
Aku berbalik memunggungi Nyonya Chandra, pura-pura tertarik sama lukisan abstrak di dinding. Mataku fokus ke pigura emasnya, tapi yang kulihat di balik refleksi kaca adalah momen yang nggak akan pernah bisa kuhapus.
- Tiga Tahun Lalu -
Hari itu, hari pernikahan mereka. Harusnya itu jadi hari terindah dalam hidupku, karena aku sudah membayangkan diriku yang berdiri di altar itu, menggandeng lengan Elian. Kami sudah merencanakan semuanya, dari rumah masa depan sampai nama anak-anak kami. Elian itu duniaku. Dia satu-satunya orang yang tahu bagaimana rapuhnya Aluna yang workaholic ini. Dia tahu semua ketakutan dan impianku.
Sampai Anya datang.
Anya itu sisi lain dari cerita kami. Kakak tiri yang masuk ke kehidupanku setelah Ayahku menikah lagi. Dia selalu jadi bayanganku. Lebih lembut, lebih penurut, lebih pandai bersandiwara. Aku nggak pernah benci dia. Cuma... mengabaikannya, seperti aku mengabaikan perabotan di rumah yang nggak penting.
Tapi, ternyata dia nggak bisa diabaikan. Dia mengambil Elian.
Aku ingat sekali, aku berdiri di pintu gereja itu, pakai gaun hitam yang harusnya kusimpan buat acara pemakaman. Aku nggak diundang. Mereka tahu aku akan bikin kekacauan. Tapi aku harus lihat. Aku harus memastikan kalau ini bukan mimpi buruk.
Bau bunga lili dan mawar putih menusuk hidungku. Musik organ menggema, suaranya seperti genderang kematian buatku. Semua kepala menoleh ke arah Anya yang berjalan pelan, anggun, diapit Ayah kami. Gaunnya, gaun impianku. Rambutnya, sanggulan yang kubilang sempurna di majalah tahun lalu.
Lalu pandanganku bertemu dengan Elian.
Dia berdiri di sana, di ujung karpet merah. Dia kelihatan tenang. Terlalu tenang. Matanya nggak memancarkan kegelisahan sama sekali. Bahkan, di sana ada semacam... kedamaian. Kedamaian yang seharusnya ia rasakan saat melihatku.
Jantungku berdebar sangat kencang, bukan karena cinta lagi, tapi karena rasa sakit yang mencoba merobek rusukku. Aku menunggu. Menunggu dia melihatku. Menunggu dia sadar. Menunggu dia lari.
Dan saat Anya tiba di sisinya, mereka saling bertukar pandang. Itu bukan sekadar pandangan pasangan. Itu pandangan yang penuh pemilikkan. Seolah, dari awal, mereka berdua adalah sepasang teka-teki yang baru saja menemukan kepingan terakhirnya.
Di tengah pandangan mereka, aku merasa diriku lenyap. Aku nggak lagi berdiri di sana. Aku cuma jadi debu.
Elian, kamu lihat nggak, di sudut pintu itu, Aluna-mu sedang mati?
Tentu saja dia nggak lihat. Dia cuma melihat masa depannya, yang kini bergandengan tangan dengan Anya.
Satu detik setelah pendeta meminta mereka mengucapkan janji, aku berbalik. Aku nggak butuh dengar kata-kata manis itu. Aku cuma butuh mendengar suara langkah kakiku yang menjauh, seolah aku bisa lari dari takdir yang baru saja menghantamku.
Aku lari, bukan ke mobil, tapi ke taman belakang gereja yang sepi. Aku jatuh berlutut di rerumputan yang baru dipotong, baunya segar, kontras dengan bau kesedihan yang mencekik. Aku nggak nangis. Air mata terasa terlalu murah buat melukiskan duka ini.
Yang keluar cuma satu suara: raungan. Raungan yang nggak manusiawi. Raungan seorang wanita yang baru sadar, selama ini, cinta yang ia yakini sebagai fondasi hidupnya ternyata cuma bom waktu yang meledak tepat di wajahnya.
Aku berjanji pada diriku sendiri saat itu. Sambil mencengkeram rumput basah: Aku nggak akan pernah lagi membiarkan diriku dicintai atau mencintai. Aku nggak akan pernah lagi memberikan kekuatanku pada makhluk bernama laki-laki.
- Sekarang -
Aku kembali ke realitas pesta. Gelas champagne di tanganku sudah kosong. Udah cukup drama masa lalu. Aku menggelengkan kepala sedikit, seolah mengusir bayangan gaun pengantin sialan itu.
"Aluna?"
Suara itu. Berat, berwibawa, dan sedikit menggangguku.
Aku menoleh. Itu Om Richard, Ayah Elian, bos besar Dharma Group. Wajahnya ramah, tapi matanya selalu menyimpan kalkulasi.
"Om Richard. Selamat malam." Aku menyapanya formal, padahal di hatiku cuma ada sumpah serapah.
"Kamu makin cemerlang. King Callysta Company pasti bangga punya kamu."
"Begitulah. Aku harus memastikan warisan Kakek nggak jatuh ke tangan sembarangan."
Om Richard tertawa, tawa bisnis yang nggak ada kehangatannya. "Om dengar, kamu baru saja menutup kesepakatan besar di Singapura. Hebat. Om selalu bilang, kamu dan Elian itu pasangan yang paling sempurna, baik di bisnis maupun-"
"Elian sudah menemukan kesempurnaan di tempat lain, Om," potongku cepat, nadaku dingin. Aku nggak membiarkan dia menyelesaikan kalimatnya. "Aku juga sudah bergerak maju. Aku nggak tertarik pada barang bekas."
Wajah Om Richard menegang sebentar. Dia tahu, dia sudah menyinggung luka yang sangat sensitif. Hubunganku dengan Elian itu skandal yang sampai sekarang masih jadi bahan gosip elit. Dan pengkhianatan Elian, itu pukulan telak buat harga diri Aluna Callysta.
"Tentu saja. Om minta maaf. Om... cuma merindukan masa-masa dulu."
Aku mengedikkan bahu, memasang ekspresi bosan. "Masa lalu biar jadi urusan pembuat sejarah, Om. Aku sibuk bikin masa depan. Permisi, aku harus mengambil udara segar."
Aku nggak menunggu jawabannya. Aku berbalik, berjalan cepat, hampir seperti berlari, menuju teras yang sepi.
Teras ini tinggi, menghadap langsung ke kerlap-kerlip Jakarta. Kota ini berisik, tapi di sini, cuma suara detak jantungku yang kupaksakan tenang.
Aku mengeluarkan ponsel. Cuma satu nama yang kupanggil.
"Sekar?"
"Ya, Nona Aluna. Bagaimana pestanya?" Suara Sekar, asisten pribadiku yang efisiennya nggak ketulungan, terdengar dari seberang.
"Biasa saja. Standar orang kaya yang nggak punya pekerjaan lain selain pamer. Aku nggak suka basa-basi mereka. Cringy." Aku mendesis. "Gimana urusanku yang kutinggalkan tadi sore? Sudah selesai?"
/0/30038/coverorgin.jpg?v=a9ca72da735a130a2787ef38aca89dab&imageMogr2/format/webp)
/0/14153/coverorgin.jpg?v=1881b3dd5cb5b65f491727b47073ca66&imageMogr2/format/webp)
/0/19622/coverorgin.jpg?v=73733647e6f2a2812273138ab4bae08f&imageMogr2/format/webp)
/0/23611/coverorgin.jpg?v=454a209608c173e8be20bbf7e4df9b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/3263/coverorgin.jpg?v=da51877b94893f98820b80291b788f0a&imageMogr2/format/webp)
/0/4719/coverorgin.jpg?v=fc25b76c1d502f9d28df8a3d710735a0&imageMogr2/format/webp)
/0/10233/coverorgin.jpg?v=cd233853460167106ac51c664dee3b77&imageMogr2/format/webp)
/0/21183/coverorgin.jpg?v=bd3e19f3170b167e10cb6be806c1a043&imageMogr2/format/webp)
/0/24866/coverorgin.jpg?v=f7065baf7f62da0e74ee8bf6ac37822d&imageMogr2/format/webp)
/0/23477/coverorgin.jpg?v=16c366866a1eb2f8fb708d159c225dc8&imageMogr2/format/webp)
/0/29116/coverorgin.jpg?v=67bd51e8f9a4d3ee0db049339a9238a8&imageMogr2/format/webp)
/0/14562/coverorgin.jpg?v=e2ff56d992c0745ecf9692a1ea900313&imageMogr2/format/webp)
/0/18454/coverorgin.jpg?v=6ec314479b50e99d85a4e920e53be21b&imageMogr2/format/webp)
/0/7183/coverorgin.jpg?v=2c7413fa5623c226eb15c56a42383ec6&imageMogr2/format/webp)
/0/23320/coverorgin.jpg?v=db39491a6426560917d4935f2f493578&imageMogr2/format/webp)
/0/24786/coverorgin.jpg?v=8b4900a9b5e54ae058c619b10f342531&imageMogr2/format/webp)
/0/21226/coverorgin.jpg?v=e13efa5f6553a71befb5eec17f044060&imageMogr2/format/webp)
/0/28915/coverorgin.jpg?v=852149d4888d15629b474de2d6a9b795&imageMogr2/format/webp)