/0/28915/coverbig.jpg?v=852149d4888d15629b474de2d6a9b795&imageMogr2/format/webp)
Alya adalah putri angkat dari seorang pengusaha terkenal bernama Haris dan istrinya, Ratna. Sejak kecil, Alya dibesarkan dengan kasih sayang dan dianggap seperti anak sendiri, meski ia tahu darahnya berbeda. Di rumah itu, Alya hidup berdampingan dengan anak kandung mereka, Revan, yang usianya terpaut empat tahun lebih tua. Awalnya hubungan Alya dan Revan berjalan baik. Revan bahkan sering melindungi Alya dari ejekan teman-temannya. Namun semuanya berubah ketika mereka beranjak dewasa. Revan mulai sering pulang larut malam, terjerat dalam pergaulan bebas, dan suatu malam - terjadi insiden kelam yang mengubah hidup Alya selamanya. Alya mengandung. Revan, ketakutan dan egois, menyangkal perbuatannya. Ia memaksa Alya menggugurkan kandungan agar reputasi keluarganya tidak hancur. Ratna, ibu angkat Alya, justru menyalahkannya dan menyuruh Alya pergi dari rumah sebelum aib itu diketahui publik. Dengan hati hancur, Alya meninggalkan rumah itu dan hidup seorang diri. Ia bertahan dengan bekerja serabutan, menanggung kehamilan sendirian hingga akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Rayan - cahaya kecil yang membuatnya kuat bertahan. Tahun demi tahun berlalu. Alya berhasil bangkit dan membuka usaha kecil. Hidupnya memang sederhana, tapi penuh ketenangan. Sampai suatu hari takdir mempertemukannya kembali dengan Revan dan keluarganya. Revan kini sudah berubah. Ia menyesal dan ingin menebus dosa masa lalunya setelah mengetahui bahwa Rayan adalah darah dagingnya sendiri. Ia mencoba mendekati Alya, meminta kesempatan untuk menjadi ayah bagi Rayan. Namun, bagi Alya, luka itu terlalu dalam. Ia tidak bisa begitu saja melupakan penghinaan dan penolakan di masa lalu. Ia hanya ingin melindungi anaknya dari masa lalu yang kelam. Revan terus berusaha - datang setiap hari, menjemput Rayan sekolah, membantu tanpa diminta, bahkan rela dihina oleh Alya berkali-kali. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bukan lagi pria pengecut yang dulu. Kini, pertanyaannya hanya satu - apakah hati Alya bisa luluh setelah semua luka yang pernah ia tanggung sendirian? Atau justru ia memilih menutup pintu selamanya, agar masa lalu tak lagi menyakitinya?
Hujan baru saja berhenti sore itu ketika seorang anak perempuan kecil berdiri di depan gerbang besar rumah keluarga Haris. Bajunya lusuh, rambutnya lepek karena air hujan, dan matanya memancarkan rasa takut bercampur harap. Di tangan mungilnya, ia menggenggam boneka beruang kecil dengan salah satu matanya hilang.
"Namamu siapa, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang membuka pagar. Suaranya lembut, tapi sorot matanya penuh selidik.
"A-Alya," jawab gadis itu pelan, suaranya bergetar.
Wanita itu menatapnya lama, lalu tersenyum samar. "Mulai hari ini, kamu tinggal di sini, ya. Aku Ratna, dan nanti kamu panggil aku Ibu."
Alya mengangguk ragu. Ia tak tahu bahwa langkah kecilnya memasuki rumah besar itu akan menjadi awal dari kisah panjang hidupnya - kisah tentang cinta, luka, dan kehilangan.
Tahun-tahun pertama berjalan penuh kebahagiaan. Alya tumbuh sebagai anak yang lembut dan penurut. Ratna benar-benar memperlakukannya seperti anak kandung sendiri, bahkan lebih lembut dibanding pada Revan, anak laki-lakinya yang berjiwa bebas dan sulit diatur.
Revan saat itu baru berusia sembilan tahun. Ia awalnya kesal harus berbagi kasih sayang dengan anak asing yang tiba-tiba datang. Tapi seiring waktu, hatinya luluh.
"Jangan nangis, nanti Ibu marah sama aku lagi," kata Revan suatu kali ketika Alya menangis karena dijahili teman sekolah. Ia menyodorkan permen karet sambil mengacak rambut Alya. "Udah, senyum. Kamu kan kuat."
Alya yang waktu itu masih kecil menatapnya dengan mata berkaca. "Kamu jahat tadi, ninggalin aku sendirian."
Revan terkekeh kecil. "Maaf, tadi aku cuma ambil air. Tapi tenang aja, mulai sekarang aku jagain kamu."
Janji polos seorang anak laki-laki yang seolah sederhana - tapi bagi Alya, janji itu berarti dunia. Ia mulai percaya, bahwa rumah itu benar-benar miliknya. Bahwa keluarga itu adalah tempat ia pulang.
Namun waktu berjalan. Revan tumbuh menjadi remaja yang keras kepala. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, nongkrong dengan teman-teman, pulang larut malam, bahkan kadang mabuk. Haris sering menegur, tapi Ratna selalu memaafkan.
Sementara itu, Alya tumbuh menjadi gadis yang tenang dan rajin. Ia pandai memasak, sopan, dan selalu menjaga sikap. Tak jarang, Ratna memujinya di depan tamu-tamu mereka.
"Kalau semua anak perempuan seperti Alya, dunia pasti damai," ujar Ratna suatu malam.
Revan yang mendengar dari tangga hanya mendengus. "Iya, iya, si malaikat kecil," gumamnya sinis, lalu naik ke kamarnya tanpa bicara.
Sejak saat itu, hubungan mereka mulai renggang. Alya mencoba bersikap baik seperti biasa, tapi Revan semakin dingin. Kadang ia sengaja mengacuhkan Alya, kadang bersikap kasar tanpa alasan.
Alya tak mengerti kenapa Revan berubah. Ia hanya tahu, setiap kali Revan pulang dalam keadaan mabuk, matanya selalu tampak kosong.
Suatu malam, hujan turun deras. Petir menyambar, dan listrik di rumah padam. Ratna dan Haris sedang menghadiri acara bisnis di luar kota, meninggalkan rumah hanya dengan dua penjaga dan pembantu. Alya baru saja beranjak tidur ketika mendengar pintu depan dibuka dengan keras.
"Revan?" panggilnya pelan.
Langkah kaki berat terdengar menaiki tangga. Bau alkohol tercium kuat.
"Revan, kamu mabuk lagi, ya?" tanyanya dari balik pintu kamarnya. Ia khawatir, tapi juga takut.
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin dekat.
Ketika pintu terbuka, Revan berdiri di sana dengan pandangan gelap. Wajahnya merah, napasnya berat, dan matanya tak seperti biasanya. Alya mundur selangkah, jantungnya berdegup cepat.
"Kenapa kamu selalu pura-pura suci di depan mereka, ha?" suaranya berat, seperti menahan amarah dan emosi yang bercampur.
"Aku... aku nggak ngerti maksud kamu apa," jawab Alya gemetar.
Revan mendekat, membuat Alya terdesak ke dinding. "Kamu pikir aku nggak tahu semua orang lebih sayang kamu? Bahkan Ibu... Ibu lebih bangga sama kamu daripada aku sendiri."
"Revan, kamu mabuk. Tolong keluar," katanya sambil menahan tangis.
Tapi Revan tak bergerak. Malam itu, dalam gelap, sesuatu terjadi - sesuatu yang tak pernah seharusnya terjadi antara mereka.
Dan dunia Alya hancur.
Pagi harinya, Alya duduk di lantai kamar, memeluk lututnya sambil menatap kosong. Tubuhnya gemetar, matanya bengkak. Ia tak bisa berhenti menangis.
Ketika Revan sadar dari mabuknya, ia sendiri ketakutan. Ia mencoba meminta maaf, tapi setiap kata yang keluar terdengar seperti racun bagi Alya.
"Aku nggak sengaja... aku nggak tahu apa yang aku lakukan semalam..."
"Pergi," bisik Alya pelan tapi tegas. "Aku nggak mau lihat kamu lagi."
Sejak hari itu, dunia mereka berubah total. Alya tak pernah bicara lagi dengan Revan. Ia menghindar sebisa mungkin, sementara Revan memilih bersembunyi dalam rasa bersalahnya sendiri.
Namun kebohongan tak bisa bertahan selamanya. Dua bulan kemudian, Alya mulai sering mual dan pingsan. Saat Ratna membawanya ke dokter, rahasia itu terbongkar.
"Alya mengandung, Bu," kata dokter dengan wajah canggung.
Ratna membeku. Dunia seolah berhenti berputar. "A... apa?"
Dan ketika Alya akhirnya mengaku siapa ayah dari bayi itu, Ratna menamparnya tanpa ampun.
"Kau memalukan! Bagaimana bisa kau menuduh kakakmu sendiri melakukan hal sekeji itu?! Apa kamu gila?"
Alya hanya diam. Air matanya mengalir tanpa suara. Ia tak lagi punya tenaga untuk menjelaskan.
Sementara Revan berdiri di balik pintu ruang tamu, mendengar semua itu dengan wajah pucat. Tapi ia tetap diam - terlalu pengecut untuk mengaku.
Hari itu juga, Ratna memintanya pergi.
"Keluar dari rumah ini, Alya. Aku tak mau menanggung malu!"
Dengan tas kecil dan beberapa helai baju, Alya melangkah keluar dari rumah yang dulu ia sebut rumah. Hujan kembali turun, sama seperti hari ketika ia pertama kali datang ke sana.
Malam-malam setelahnya adalah neraka. Alya tinggal di rumah sewa kecil di pinggiran kota, bekerja di warung makan siang malam untuk membayar sewa dan kebutuhan harian. Tubuhnya lemah karena hamil, tapi ia tak menyerah.
Dalam kesunyian, ia sering memeluk perutnya dan berbicara pelan.
"Nak, kamu kuat ya. Mama janji, Mama nggak akan biarin kamu sendirian. Kita cuma punya satu sama lain."
Setiap kali rasa sakit datang, Alya menggigit bibirnya, menahan tangis. Dunia menolaknya, tapi ia tetap bertahan.
Hingga malam itu, saat kontraksi pertama datang, ia sendirian di rumah. Ia berjuang melahirkan di rumah bidan dengan uang seadanya. Tangis bayi laki-laki itu pecah di udara dingin dini hari, menjadi suara paling indah yang pernah ia dengar.
"Namanya Rayan," bisik Alya lemah. "Artinya cahaya."
Tangannya gemetar saat menyentuh pipi mungil bayinya. Dalam benaknya, ia berjanji - masa lalu akan berhenti di sini. Anak itu tak akan tahu tentang luka ibunya.
Tahun-tahun berlalu, Alya membesarkan Rayan dengan penuh kasih. Ia membuka usaha kecil menjahit, hidup sederhana tapi bahagia. Setiap pagi Rayan memeluknya sebelum berangkat sekolah.
"Ma, nanti aku bawa nilai bagus ya!" katanya ceria.
Alya tersenyum lembut. "Mama nggak butuh nilai bagus, Mama cuma mau kamu bahagia."
Kadang ia teringat masa lalunya, tapi ia belajar memaafkan takdir, walau belum bisa memaafkan pelakunya.
Hingga suatu hari, saat ia menjemput Rayan di sekolah, seseorang berdiri di dekat gerbang.
Seorang pria dengan kemeja rapi, wajahnya tampak dewasa, tapi sorot matanya tak asing. Revan.
Waktu seolah berhenti. Alya terpaku, napasnya tercekat. Revan melangkah mendekat, suaranya pelan tapi jelas.
"Alya..."
Ia menunduk menatap anak kecil di sampingnya - Rayan. Mata keduanya sama, begitu mirip.
"Dia... anakku?" suara Revan bergetar.
Alya memeluk Rayan erat, seolah takut anaknya diambil. "Jangan berani-berani mendekat. Semua sudah berakhir, Revan."
Tapi Revan tak pergi. Ia menatap Alya lama, dengan penyesalan yang begitu dalam. "Aku cuma mau minta maaf. Sekali ini aja."
Air mata yang selama bertahun-tahun Alya tahan akhirnya jatuh.
"Maafmu nggak akan bisa ngapus apa yang kamu lakuin."
Dan di tengah jalan sekolah yang ramai, dua jiwa yang dulu terikat oleh kesalahan kembali dipertemukan - bukan untuk mengulang, tapi mungkin untuk menebus.
Namun bagi Alya, maaf bukan hal mudah. Luka itu masih berdarah, meski waktu telah berlalu.
Di hatinya hanya ada satu doa kecil setiap malam -
Aku ingin kuat. Demi anakku. Bukan demi masa lalu.
Bab 1 beruang kecil dengan salah satu matanya hilang
23/10/2025
Bab 2 jangan lupa makan siang
23/10/2025
Bab 3 malam terasa hampa
23/10/2025
Bab 4 sekadar mimpi buruk
23/10/2025
Bab 5 memperingatkannya
23/10/2025
Bab 6 Jangan menipu
23/10/2025
Bab 7 menahan rasa takut
23/10/2025
Bab 8 Aku tahu kamu takut
23/10/2025
Bab 9 tak ada yang menyadari
23/10/2025
Bab 10 Mereka bisa saja datang kapan saja
23/10/2025
Bab 11 Mereka berencana melakukan penculikan
23/10/2025
Bab 12 memeluk Rayan yang masih membaca
23/10/2025
Bab 13 suhu tubuhnya naik lagi
23/10/2025
Bab 14 telepon dari seseorang
23/10/2025
Bab 15 Damar ingin menghabisinya
23/10/2025
Bab 16 Damar sudah dibawa ke tahanan
23/10/2025
Bab 17 ayah yang selama ini ia percayai
23/10/2025
Bab 18 merebut kembali bukti
23/10/2025
Bab 19 Kalau dia tahu kita berhasil
23/10/2025
Bab 20 musuhnya sendiri
23/10/2025
Bab 21 selamatkan
23/10/2025
Bab 22 pengintaian
23/10/2025
Bab 23 Isinya sederhana tapi mengerikan
23/10/2025
Bab 24 tidak akan mudah
23/10/2025
Bab 25 kesalahan lagi
23/10/2025
Bab 26 tidak ada yang bisa menakut-nakuti
23/10/2025
Buku lain oleh Endarwati
Selebihnya