/0/28913/coverbig.jpg?v=27349dd4fb907d981345554fe0aa639c&imageMogr2/format/webp)
Aldric dan Keira menikah bukan karena cinta, melainkan karena kesepakatan antara dua keluarga besar. Bagi Aldric, pernikahan itu hanyalah langkah strategis demi mendapatkan kembali perusahaan keluarganya yang hampir bangkrut. Sementara bagi Keira, pernikahan itu satu-satunya cara menyelamatkan ibunya dari hutang dan tekanan yang menghancurkan. Keduanya menandatangani perjanjian: mereka akan hidup bersama selama dua tahun, tanpa ikatan emosional, tanpa campur tangan satu sama lain, lalu bercerai ketika tujuan masing-masing tercapai. Namun, takdir sering kali berbuat iseng. Di balik semua kesepakatan dingin itu, perlahan tumbuh sesuatu yang tak seharusnya tumbuh-rasa nyaman, perhatian, bahkan cinta yang tak diinginkan. Sayangnya, ketika rasa itu mulai muncul di hati Keira, Aldric justru semakin menjauh. Ia mulai kembali dekat dengan mantan kekasihnya, Mira, seorang wanita ambisius yang dulu meninggalkannya karena status. Kini, setelah Aldric kembali kaya dan berkuasa, Mira datang membawa janji manis tentang cinta lama yang belum padam. Ketika kabar bahwa perusahaan ayah Keira telah diselamatkan dan hutang-hutang lunas, Aldric pun memutuskan untuk menepati bagian akhir perjanjian mereka: perceraian. Ia berpikir itu langkah terbaik-agar bisa menikahi Mira, wanita yang selama ini ia yakini sebagai cinta sejatinya. Keira menerima keputusan itu tanpa perlawanan. Hanya satu syarat yang ia minta-agar Aldric tak mencari atau mengganggunya lagi setelah berpisah. Ia pergi jauh, meninggalkan semua kenangan, membawa luka yang hanya ia tahu dalamnya. Lima tahun berlalu. Aldric hidup dengan kesuksesan, tapi hatinya kosong. Mira memang bersamanya, tapi ada jarak yang tak bisa dijembatani. Hingga suatu hari, sebuah proyek sosial membawanya ke sebuah kota kecil di tepi laut. Di sanalah, takdir mempertemukannya lagi dengan Keira-bersama seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang memiliki mata dan senyum yang... sama persis dengannya. Dunia Aldric seketika berhenti. Rasa bersalah, marah, dan penyesalan bertubrukan dalam dadanya. Ia baru menyadari betapa banyak hal yang ia abaikan selama ini-terutama seorang anak yang ternyata adalah darah dagingnya sendiri. Kini pertanyaannya bukan lagi soal warisan, atau cinta lamanya pada Mira. Tapi tentang apakah Aldric berani memperjuangkan kembali Keira dan anak mereka, ataukah ia akan kembali menjadi pria pengecut yang hanya tahu melarikan diri dari tanggung jawab dan perasaan.
Hujan turun deras malam itu. Deru air menabrak jendela kaca besar di ruang tamu rumah megah milik keluarga Delvane. Di balik kaca itu, seorang pria berdiri diam, memandangi kilat yang sesekali membelah langit dengan tatapan hampa.
Aldric Delvane.
Putra tunggal dari pengusaha legendaris yang baru saja meninggal dunia dua bulan lalu. Di pundaknya kini tertumpuk beban besar-menjaga perusahaan keluarga dari kebangkrutan yang mengintai.
Namun yang membuat napasnya terasa sesak bukan hanya urusan bisnis. Malam itu, ia baru saja menerima pesan singkat dari Mira, perempuan yang dulu sempat menjadi seluruh hidupnya.
"Aku sudah kembali ke Jakarta. Aku ingin kita bicara, Ric. Tentang kita... dan tentang masa lalu yang belum selesai."
Pesan itu sederhana, tapi cukup membuat dadanya bergetar aneh. Mira-wanita yang dulu menolaknya karena ia tak lagi punya apa-apa. Kini, setelah ia kembali berdiri tegak di puncak kekayaan dan kekuasaan, Mira datang lagi.
Aldric tersenyum miring, meneguk scotch yang ada di tangannya.
Namun senyum itu memudar ketika langkah kaki lembut terdengar di belakangnya.
"Sudah larut. Kau masih bekerja?" suara itu lembut tapi datar.
Aldric menoleh. Seorang wanita dengan gaun sederhana berwarna putih berdiri di ambang pintu. Rambut hitamnya diikat rendah, wajahnya pucat namun tenang. Keira.
Istrinya.
Atau lebih tepatnya-istri kontrak yang dinikahinya setahun lalu demi menyelamatkan perusahaannya.
"Tidak," jawab Aldric pendek, menaruh gelas di meja. "Aku hanya butuh udara."
Keira berjalan pelan ke arah sofa, duduk sambil memeluk lutut. "Kau lupa makan malam lagi."
"Aku tidak lapar."
Keira menghela napas. "Kau bilang hal yang sama semalam. Dan malam sebelumnya."
Suasana hening menelan keduanya. Hanya suara hujan yang menemani.
Aldric tak pernah tahu bagaimana harus memperlakukan Keira. Di satu sisi, ia merasa berutang padanya-karena pernikahan ini menyelamatkan nama baik keluarganya dan mengembalikan sebagian saham perusahaan. Tapi di sisi lain, ia juga tak bisa memaksakan perasaan yang tak pernah tumbuh.
Ia menikahi Keira dengan kesadaran penuh bahwa tidak akan ada cinta di antara mereka. Semua hanya transaksi.
Dan Keira tahu itu sejak awal.
Namun entah mengapa, beberapa bulan terakhir, pandangan mata Keira berubah. Ada sesuatu di sana-rasa yang tak berani diungkapkan. Dan justru itu yang membuat Aldric gelisah.
"Besok pagi aku akan ke kantor lebih awal," katanya, mencoba memutus keheningan. "Kau tak perlu menungguku sarapan."
Keira hanya mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar, "Baik."
Aldric menatap wajahnya sejenak. Wajah yang selalu tampak tenang tapi penuh kesedihan. Seolah Keira sudah terbiasa menahan kecewa.
Ia ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu apa. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ia memilih diam.
Ia melangkah pergi ke kamar kerja, meninggalkan Keira sendirian di ruang tamu dengan cahaya lampu yang redup.
Keira menatap punggungnya yang menjauh. Di matanya, genangan air tampak berkilat, tapi tak satu pun tetes air mata jatuh.
Sudah setahun ia menjalani pernikahan ini, dan setiap hari terasa seperti berdiri di pinggir jurang-menunggu waktu hingga semuanya runtuh.
Keesokan paginya, langit cerah. Rumah besar itu sepi, seperti biasa.
Keira duduk di meja makan, memandangi piring sarapannya yang tak tersentuh. Ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan, siap berangkat ke galeri kecil tempatnya bekerja. Ia tidak mau hanya menjadi "istri kaya yang duduk diam di rumah", meskipun Aldric pernah menawarinya segala kemewahan.
Ia lebih memilih memiliki sesuatu yang bisa disebut miliknya sendiri.
Namun pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Ketika ia hendak mengambil tas, matanya menangkap sebuah amplop di atas meja.
Tulisan tangan Aldric di bagian depan membuatnya berhenti.
Tangannya bergetar saat membuka surat itu.
"Keira,
Terima kasih atas kerja samamu selama ini. Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi seperti yang pernah kita sepakati, begitu semua urusan selesai, kita akan menjalani hidup masing-masing.
Aku akan mengurus proses perceraian setelah semua dokumen perusahaan selesai.
Kau akan mendapat bagianmu sesuai perjanjian.
– Aldric"
Keira menatap kertas itu lama, sebelum akhirnya terdiam.
Jadi... waktunya sudah tiba.
Ia tahu hari ini akan datang, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
"Selama ini aku hanya bagian dari kesepakatan," gumamnya pelan. "Dan sekarang, tugasku selesai."
Air matanya akhirnya jatuh.
Bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan harapan yang diam-diam ia tanamkan tanpa izin.
Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu tersenyum getir. "Baiklah, Aldric Delvane. Kalau ini yang kau inginkan... aku akan pergi tanpa menoleh lagi."
Tiga hari kemudian, Keira benar-benar pergi dari rumah itu.
Tanpa membuat drama, tanpa berteriak, tanpa menuntut apa pun. Ia hanya meninggalkan cincin pernikahan mereka di atas meja, persis di tempat Aldric biasa duduk.
Ketika Aldric pulang malam itu, rumah tampak kosong. Tak ada aroma masakan, tak ada langkah lembut di lantai marmer, tak ada suara piano yang biasanya dimainkan Keira setiap sore.
Hanya keheningan.
Dan cincin itu.
Aldric menatap benda kecil itu lama, dadanya terasa sesak.
Ia mengira akan merasa lega, tapi justru sebaliknya. Ada ruang hampa di dadanya yang tak bisa dijelaskan.
Namun ia menepis perasaan itu cepat-cepat.
"Ini memang yang terbaik," katanya dalam hati. "Semua sudah sesuai rencana."
Tapi bahkan saat ia mencoba tidur malam itu, suara lembut Keira masih terngiang di telinganya.
"Jangan lupa makan, Aldric..."
Sederhana, tapi entah mengapa justru kata-kata itu membuat matanya sulit terpejam.
Lima tahun berlalu.
Nama Aldric Delvane kembali bersinar di dunia bisnis. Ia dikenal sebagai CEO muda yang ambisius, berkarisma, dan tak pernah gagal dalam setiap proyeknya.
Ia punya segalanya-uang, kuasa, dan wanita yang dulu ia idamkan: Mira.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar ia miliki-ketenangan.
Mira sering menemaninya ke acara-acara besar, tapi hubungan mereka lebih seperti dua orang yang saling menggunakan. Mira mendapatkan status dan kemewahan, sementara Aldric mendapatkan kenangan masa lalu yang ia yakini sebagai cinta.
Namun setiap kali ia menatap mata Mira, yang ia lihat bukan cinta-melainkan bayangan Keira.
Wajah tenangnya. Tatapan lembutnya. Senyum samar yang tak pernah menuntut apa pun.
Hingga suatu hari, Aldric menerima surat undangan dari yayasan sosial yang bekerja sama dengan perusahaannya untuk pembangunan sekolah di daerah pesisir.
Ia memutuskan datang langsung ke lokasi, sebuah kota kecil bernama Aurora Bay.
Begitu sampai di sana, udara laut dan aroma asin membawanya pada ketenangan aneh. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sampai ia melihat sosok perempuan di antara anak-anak yang sedang bermain di halaman sekolah baru itu.
Langkahnya terhenti.
Dunia seolah berhenti berputar.
Perempuan itu menunduk, membantu seorang anak kecil yang jatuh. Rambutnya diikat, senyumnya lembut. Ia mengenakan kemeja polos dan celana sederhana, tapi ada sesuatu yang membuat Aldric tidak bisa berpaling.
Keira.
Ia masih sama seperti dulu-tenang, anggun, dan berjarak. Tapi ada sesuatu yang baru dalam dirinya. Sebuah cahaya lembut di matanya.
Dan saat anak kecil itu berbalik memandang ke arah Aldric, waktu benar-benar berhenti.
Mata anak itu-warna cokelat tua yang dalam, sama persis dengan matanya sendiri.
Aldric terpaku.
Senyum anak itu begitu familiar, begitu menyayat. Ia seperti melihat versi kecil dirinya di masa lalu.
Tubuhnya kaku ketika Keira akhirnya sadar akan kehadirannya.
Tatapan mereka bertemu.
Sekejap mata itu membawa semua kenangan yang pernah mereka buang begitu saja-malam-malam hening, tatapan tanpa kata, surat perpisahan, dan keheningan yang dulu mereka ciptakan sendiri.
"Keira..." suara Aldric serak.
Keira menatapnya lama, tanpa ekspresi. "Tuan Delvane."
Hanya dua kata, tapi terasa seperti pisau yang menembus dadanya.
Begitu formal. Begitu jauh.
"Anak itu..." suaranya tercekat, menatap bocah kecil di samping Keira yang kini bersembunyi di balik tubuh ibunya. "Dia siapa?"
Keira menunduk, mengelus kepala bocah itu dengan lembut. "Namanya Liam."
"Berapa usianya?"
Keira tersenyum tipis, tapi tatapannya dingin. "Empat tahun."
Aldric membeku.
Empat tahun. Tepat satu tahun setelah mereka berpisah.
Pikirannya berputar cepat, menolak kenyataan yang perlahan menusuknya. Tapi satu pandangan pada wajah anak itu saja sudah cukup.
Dia tidak butuh tes DNA untuk tahu jawabannya.
Liam adalah anaknya.
"Aku ingin bicara," kata Aldric akhirnya, suaranya gemetar. "Berdua."
Keira menatapnya datar. "Untuk apa? Semua sudah selesai lima tahun lalu."
"Tidak," Aldric melangkah maju, matanya mulai memanas. "Kau menyembunyikannya dariku, Keira! Kau menyembunyikan anakku!"
Keira tersenyum pahit. "Kau kehilangan hak untuk menyebutnya 'anakmu' saat kau memilih pergi tanpa menoleh."
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari peluru.
Aldric terdiam. Di balik wajah dinginnya, Keira menahan gemetar di tangannya. Ia tak pernah berniat membuat pertemuan ini terjadi, tapi takdir punya caranya sendiri.
"Dia tidak butuhmu, Aldric," bisiknya. "Aku sudah cukup untuknya."
Aldric menatap Keira dengan pandangan campur aduk-marah, sedih, menyesal.
Ia ingin mengatakan ribuan hal, tapi tak ada kata yang keluar.
Semua terasa terlambat.
Namun satu hal yang ia tahu pasti-ia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan mereka lagi. Tidak kali ini.
Dan di bawah sinar matahari sore yang mulai redup, di depan sekolah sederhana di tepi laut itu, kisah lama yang belum selesai akhirnya terbuka kembali.
Bukan lagi tentang perjanjian, bukan tentang dendam, tapi tentang kesempatan kedua-yang mungkin datang terlambat.
Malam itu, Aldric berdiri di balkon hotel kecil tempat ia menginap. Di bawah sana, ombak berdebur lembut, sementara pikirannya berputar tanpa arah.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan Liam-mata itu, senyum itu, bahkan cara anak itu memiringkan kepala saat berbicara.
Itu dirinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aldric merasa benar-benar takut.
Takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya sudah lama menjadi miliknya, tapi tak pernah ia sadari.
Ia menatap langit yang gelap, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia berbisik pelan,
"Keira... beri aku kesempatan memperbaiki segalanya."
Namun jauh di sudut kota kecil itu, Keira memandangi Liam yang tertidur di pangkuannya, sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
Ia tahu, badai lama baru saja datang kembali.
Dan hatinya belum siap menghadapinya lagi.
Bab 1 Putra tunggal
23/10/2025
Bab 2 Lima tahun lalu
23/10/2025
Bab 3 Kehadiran pria itu
23/10/2025
Bab 4 Kamu nggak boleh jatuh lagi
23/10/2025
Bab 5 kesayangannya
23/10/2025
Bab 6 ruangan seakan bertolak belakang
23/10/2025
Bab 7 Senyumannya menandai awal
23/10/2025
Bab 8 seseorang yang mencoba mendekati
23/10/2025
Bab 9 belum datang
23/10/2025
Bab 10 misterius
23/10/2025
Bab 11 apa yang harus kita lakukan
23/10/2025
Bab 12 bermain dengan boneka
23/10/2025
Bab 13 perbatasan
23/10/2025
Bab 14 Dua hari berturut-turut
23/10/2025
Bab 15 kelahiran
23/10/2025
Bab 16 Setelah pengungkapan rahasia
23/10/2025
Bab 17 dia akan masuk ke rumah kita
23/10/2025
Bab 18 fokus pada dirimu sendiri
23/10/2025
Bab 19 Bagaimana kita bisa melindungi
23/10/2025
Bab 20 Tubuh anak itu terlihat rapuh
23/10/2025
Bab 21 reruntuhan
23/10/2025
Bab 22 Kau selalu bisa
23/10/2025
Bab 23 kegelisahan
23/10/2025
Bab 24 hancur oleh diri mereka sendiri
23/10/2025
Bab 25 merasakan hal yang sama
23/10/2025
Buku lain oleh Endarwati
Selebihnya