/0/24556/coverorgin.jpg?v=e0382313514f34ff68f24fcc2520eda8&imageMogr2/format/webp)
Pagi baru saja merekah di Desa Kedung Renggan. Kabut masih menggantung di antara batang-batang bambu, menyelimuti rumah-rumah reyot yang berdiri miring seolah siap rubuh diterpa angin. Di salah satu sudut desa yang paling terpinggir, tinggal keluarga kecil: Isabella, gadis cantik berusia delapan belas tahun, bersama ayah dan ibunya.
Pagi itu, Bella baru selesai mandi di sumur belakang rumah. Handuk tipis berwarna pudar membalut tubuhnya yang semampai. Ia menuruni tangga bambu menuju dapur, rambutnya masih basah, meneteskan air ke lantai tanah. Ia tidak tahu bahwa tamu tak diundang telah menunggu di ruang depan.
Tuan Jo duduk menyeringai di kursi tua, kakinya bersilang dan tangan kanannya menepuk-nepuk lutut. Matanya yang sipit dan dipenuhi keriput itu mengamati Bella dengan tajam, seperti binatang buas mengincar mangsanya. Ia sudah lama mengincar gadis ini. Dan hari ini, ia merasa waktunya telah tiba.
"Selamat pagi, Nona Bella," sapa Tuan Jo, suaranya berat dan licik.
Bella terkejut bukan main. Ia refleks menutup tubuhnya dengan tangan, wajahnya merah padam. "Apa-Apa yang Tuan lakukan di sini? Ayah saya belum pulang dari ladang..."
Tuan Jo tidak menjawab langsung. Ia bangkit dari kursi, langkahnya berat namun penuh percaya diri. Matanya tak lepas dari Bella. "Aku ke sini bukan untuk ayahmu. Aku ke sini... karena hari ini adalah hari penentuan, Bella."
Bella menelan ludah, merapatkan handuknya. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu hutang ayahnya makin menggunung. Tapi tak pernah ia bayangkan Tuan Jo akan datang sendiri ke rumah.
"Sudah cukup lama, ya? Tiga bulan, dan tak sepeser pun ayahmu kembalikan. Aku sudah sangat... sabar," lanjut Tuan Jo dengan senyum dingin. "Jadi... saat ini aku pikir, sudah waktunya kita bahas jaminannya."
Bella mundur satu langkah. Ia merasakan udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu tak seberapa dibanding rasa takut yang merayap di tubuhnya.
"Jaminan?" bisiknya.
Tuan Jo tertawa pelan. "Kau. Ayahmu sendiri yang menawarkannya. Menjadi istriku. Istri ketigaku. Kau tahu, aku kesepian di usia tua. Dan kau... ah, Bella. Lihat dirimu sekarang. Segar seperti bunga pagi. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada memiliki kau di ranjangku?"
Bella ingin muntah mendengar kata-katanya. Ia menggigit bibirnya, menahan marah, menahan malu. "Saya bukan barang, Tuan Jo!"
Tuan Jo mendekat lebih lagi. Tangannya hendak menyentuh lengan Bella, tapi gadis itu mundur cepat, punggungnya menabrak dinding dapur.
"Kau akan berubah pikiran setelah lihat ayahmu menderita," ucapnya, suaranya pelan namun mengancam. "Kalau tidak mau, aku bisa kirim orang-orangku buat ajar dia pelajaran. Atau... kubakar rumah ini. Pilihannya mudah, Bella."
Tepat saat itu, suara kaki berlari terdengar dari luar. Seorang remaja lelaki muncul dengan nafas memburu. Chiko.
"Hei! Apa yang kau lakukan pada Bella?!" teriaknya marah.
Tuan Jo berbalik. "Anak ingusan, ini bukan urusanmu!"
"Aku tak akan biarkan kau sentuh Bella!" Chiko berdiri tegak, meski tubuhnya gemetar menahan amarah.
Tuan Jo mendengus, lalu melangkah keluar. Tapi sebelum pergi, ia menatap Bella dengan tajam. "Kau punya waktu sampai malam ini. Pilihannya mudah, Bella. Jadi istriku, atau ayahmu mati."
Pintu kayu itu menutup keras di belakangnya.
Bella jatuh terduduk di lantai, bahunya bergetar. Chiko berlari menghampiri, meraih bahunya. "Bella, aku akan jaga kamu. Aku janji..."
Air mata Bella mengalir. Dunia yang selama ini dikenalnya, kini mulai runtuh perlahan.
***
Sore hari, langit desa tampak sendu, seolah ikut merasakan nestapa yang menyelimuti hati Bella. Ia duduk di tangga rumahnya, mengenakan daster lusuh berwarna biru langit, rambutnya diikat asal, mata sembab karena menangis. Di hadapannya, Chiko berdiri dengan wajah serius, menatap jalanan sepi yang memanjang ke arah kota.
"Aku udah bilang sama Om Idin, besok pagi motorku dibawa," ucap Chiko pelan tapi pasti.
Bella tertegun. "Motor itu satu-satunya milik kamu, Chik. Itu juga yang kamu pakai ke sekolah..."
Chiko menoleh cepat, memotong kalimat Bella. "Aku bisa jalan kaki. Aku bisa numpang. Itu semua nggak penting dibanding kamu dijadiin istri ketiga lintah darat kayak Tuan Jo!"
Suara Chiko bergetar menahan amarah. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Bella meraih tangannya dan menggenggam erat.
/0/24350/coverorgin.jpg?v=b863f0f510914aab17e330167993b33f&imageMogr2/format/webp)
/0/4759/coverorgin.jpg?v=6f6ae3515bc1f9a8b2d1d48fcd41db95&imageMogr2/format/webp)
/0/6689/coverorgin.jpg?v=14f1b1251f5f25f4cb7b87e3e47b77f2&imageMogr2/format/webp)
/0/22634/coverorgin.jpg?v=04e96a68b267c6f77e6e7f3399dbf485&imageMogr2/format/webp)
/0/21370/coverorgin.jpg?v=7328cf3737317bba022bce44e532b5df&imageMogr2/format/webp)
/0/2388/coverorgin.jpg?v=477d695fb8b1f1e459e882b5cadfe2d5&imageMogr2/format/webp)
/0/25460/coverorgin.jpg?v=eeaf14b8283ddc84cd1ad293398abb63&imageMogr2/format/webp)
/0/21226/coverorgin.jpg?v=e13efa5f6553a71befb5eec17f044060&imageMogr2/format/webp)
/0/12930/coverorgin.jpg?v=f1d178d85c4e24b2cfcbcc8d6f43c9ae&imageMogr2/format/webp)
/0/14164/coverorgin.jpg?v=0287960c0bcd85b90d6e21b8a798d1df&imageMogr2/format/webp)
/0/22437/coverorgin.jpg?v=bdfa0eafac12711b0f31f8df322135af&imageMogr2/format/webp)
/0/23725/coverorgin.jpg?v=0c3e9dab454f8a22d8c98ca9859435f0&imageMogr2/format/webp)
/0/29787/coverorgin.jpg?v=75ac60136b5cd0b65fc505aa97293a71&imageMogr2/format/webp)
/0/17363/coverorgin.jpg?v=b8f0db56c3cb97ecb3afe275c703f710&imageMogr2/format/webp)
/0/3957/coverorgin.jpg?v=fd33d41740566c75264a79e788da8759&imageMogr2/format/webp)
/0/12462/coverorgin.jpg?v=f49e8d04aacf4cfe1abb30abb5476569&imageMogr2/format/webp)
/0/12741/coverorgin.jpg?v=0e14b610eced47453db3c9f9f039dd67&imageMogr2/format/webp)
/0/21619/coverorgin.jpg?v=d98d1fcc20d02386b916a4afb4161777&imageMogr2/format/webp)
/0/28777/coverorgin.jpg?v=458c151dcd4e9e43a17a9d579116cc2c&imageMogr2/format/webp)
/0/17190/coverorgin.jpg?v=6930a9824edd2f4f056669d76b3dfe68&imageMogr2/format/webp)