/0/30351/coverorgin.jpg?v=1a70ca6c85bd2d369dece791687b8226&imageMogr2/format/webp)
Kabut Cinta
Aku masih termenung di sini. Mencoba paham akan semua problematika. Cinta ... terlalu rumit, karena sebab akibat dan sebutir kasih sayang. Dia berikan pada jiwa-jiwa nestapa di ujung mayapada, termasuk diriku dan juga kau.
Percayalah! Aku mencintaimu tanpa syarat, mengasihimu tanpa belas ataupun iba dengan segenap jiwa raga, karena cinta yang sesungguhnya takkan pernah menghadirkan titik hitam bagi hati. Tak kan pula membuat pelakunya menjadi ternodai. Sebab cinta yang sejati adalah cinta yang dilandasi untuk menggapai ridho Illahi, bukan semata karena hanya ingin merasakan kenikmatan sesaaat yang kelak kan disesali.
"Kau masih berani menampakkan diri dengan menginjakkan kaki kembali ke rumah ini? Dengan semua yang telah kau perbuat membuat nama besar dan kehormatan keluarga tercoreng sebab aibmu itu!" Keras suara ayah terdengar saat aku baru saja kembali ke rumah. Gurat amarah jelas tergambar di wajah keriputnya. Bahkan, aku hampir tak mengenali lagi lelaki yang selama dua puluh lima tahun begitu lembut menyayangi dan selalu memanjakanku.
"A-ayah, aku tidak bersalah. Semua ini fitnah," jawabku dengan kedua netra berkaca-kaca.
"Kau berusaha mengalihkan kesalahanmu pada orang lain. Begitukah cara kami mendidikmu selama ini? Sungguh, aku malu pada keluarga Wijaya--sahabat karibku, karena putriku telah melakukan perbuatan keji!" Kemarahan ayah benar-benar ada di puncaknya.
"Tidak, Ayah. Aku tidak seperti yang dituduhkan Jovan. Percayalah! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua kebenarannya." Retak kaca-kaca di netraku seiring bulir hangat lolos begitu saja mengalir tanpa perintah. Disusul rasa sakit yang menghimpit dada. Bukankah lebih menderita bila melihat kedua orang tua yang kita sayangi sangat kecewa?
"Lalu, siapa Nazran? Lelaki yang telah menanamkan benih di rahimmu itu. Sungguh beraninya kau membohongi ku!"
Kubekap mulut yang menganga. Aku sungguh tak percaya, ayah bisa mengatakan itu. Rupanya Jovan telah mengatakan semuanya pada ayah.
"Aku bisa memberikan penjelasan tentang Nazran, Ayah."
"Cukup, Riana! Ayah tak ingin mendengar penjelasan apa pun darimu. Karena setiap kebohongan akan melahirkan kebohongan baru. Aku telah gagal mendidikmu." Memalingkan dan mengusap wajah. Sementara salah satu tangannya meraba dada sebelah kiri.
Aku berlari ke kamar. Menutup pintunya rapat. Menyandarkan tubuh ke dinding dengan berurai airmata. Samar terlihat, tetapi nampak jelas, cinta pertamaku gulita sebelum dapat kusentuh terangnya. Terlintas pikiran buruk di benakku untuk mengakhiri hidup.
Allah ... ampuni aku. Kalau seperti ini, ingin rasanya aku pulang ke rahim ibu dan tak pernah terlahir lagi.
Apa yang kau lakukan, Riana? Kau lupa, ada kehidupan yang kini telah bersemayam di tubuhmu. Anugerah terindah yang tidak semua wanita bisa mendapatkannya. Tanda sempurna sebagai seorang perempuan. Kau harus kuat dan tegar demi dia yang tak berdosa. Bukankah setiap kesulitan pasti ada kemudahan? Dan kebenaran selalu membuka tabirnya melawan kejahatan yang berusaha menghalangi. Sebuah suara tiba-tiba berbisik lirih dari dalam hati.
"Aku akan memperlihatkan keindahan semesta ini, Nak. Bagaimana pun caranya! Tak ada satu orang pun yang akan bisa menghalangi. Ibu sangat mengasihimu," ucapku memantapkan diri. Kuelus perlahan perut yang masih rata dengan derai airmata.
*****
Pernikahanku dengan Jovan hasil dari perjodohan bisnis kedua orang tua kami. Ayah Jovan--Wijaya--sahabat karib ayah sejak SMA sekaligus rekan bisnis.
Suatu saat perusahaan Wijaya yang bergerak di bidang properti terkena masalah, karena uang perusahaan dibawa lari oleh manajer keuangannya ke luar negeri dan dinyatakan pailit.
Beberapa tender dari pemerintah maupun swasta yang telah menanam modal mulai tidak percaya. Satu per satu mengundurkan diri dari kerjasama proyek dan meminta semua uangnya dikembalikan. Wijaya meminta bantuan pada ayah untuk meminjam uang guna menutup utang- utang perusahaan.
Ayah menyetujui untuk menolong perusahaan sahabatnya itu dari kebangkrutan. Apalagi perusahaan ayah sedang berkembang pesat dan sedang melebarkan sayap, saat itu.
Perusahaan Wijaya bangkit kembali dari keterpurukan berkat suntikan dana dari perusahaan ayah. Untuk membalas budi atas jasa ayah, Wijaya menjodohkan Jovan denganku agar hubungan mereka berubah menjadi keluarga dan harta kekayaan tidak jatuh ke tangan orang lain.
*****
Enam bulan yang lalu.
"Riana, sudah saatnya kau menikah," ucap ayah di suatu senja kala kami duduk di beranda rumah.
"Tapi Ayah, aku baru saja lulus dan ingin melanjutkan studi S2." Aku berusaha menolak halus permintaannya.
"Kau bisa tetap melanjutkan studi S2-mu, meskipun menikah, kan? Kalau kau mementingkan kuliah, kapan Ayah bisa menimang cucu? Kau tahu aku sudah sangat merindukan kehadirannya." Kulihat di sinar mata tuanya, seberkas kerinduan membias bersama senyum yang terbingkai sempurna. Lalu katanya lagi, "Kalau kau setuju bulan depan kau menikah dengan pemuda pilihanku?"
"Secepat itu kah?" tanyaku terbeliak.
"Lebih cepat lebih baik, Na. Aku tak mau punya anak gadis yang menyandang predikat perawan tua. Meski aku hidup di jaman modern, tapi prinsip hidup tak berubah."
"Apa Riana boleh tahu, siapa calon suamiku?" tanyaku penasaran ingin tahu.
"Kau pasti akan setuju, karena Ayah tahu. Kau sangat menyukainya," jawab ayah menatapku dengan tersenyum.
"Iih ... Ayah. Riana penasaran ini," balasku manja.
"Coba kau pejamkan mata dan sebut namanya dalam hati. Nanti, pada hitungan ke tiga buka netramu. Dia sudah berdiri dihadapanmu."
Aku menuruti perintah ayah. Menutup mata dan membukanya pada hitungan ketiga. Ternyata Jovan sudah berada di depanku, tersenyum dan menyapa, "Apa kabar, Riana?"
Hatiku mencelos melihat kehadiran lelaki berkulit putih dengan wajah rupawan itu. Rupanya, tanpa sepengetahuanku ayah telah menyuruh Jovan datang ke rumah. Ah, Ayah ... kau selalu mengerti apa yang diharapkan hati ini.
"Jo-Jovan ... kapan kau datang? A-aku baik- baik saja," ucapku gugup menahan debar yang begitu cepat menjalar.
Deg!
Dadaku bergemuruh bak genderang perang yang bertalu-talu saat ditabuh, kala tatapan kami saling beradu.
"Baiklah, Silakan ngobrol! Aku tinggal kalian. Ada urusan yang penting harus kuselesaikan dengan Pak Wijaya. Jovan, titip Riana," ujar Ayah sembari tersenyum menatapku dan melangkahkan kaki mendekati pintu ruang keluarga.
"Ayah, terima kasih," ucapku menahan haru sekaligus malu.
Ayah tersenyum menatapku sembari melangkah meninggalkan kami.
Hening.
Untuk beberapa saat kami tenggelam dalam perasaan masing-masing, karena tujuh tahun kami berpisah. Aku dan Jovan berteman sejak kecil. Tumbuh dan besar bersama, karena keluarga kami begitu akrab.
/0/3532/coverorgin.jpg?v=cbf28cc7a531964ccc3c5904a0790bf4&imageMogr2/format/webp)
/0/17094/coverorgin.jpg?v=9168cdbe4645c24c0c6cb87fec96c238&imageMogr2/format/webp)
/0/2941/coverorgin.jpg?v=a113f933c51b68be507cce6d077e3c5a&imageMogr2/format/webp)
/0/5053/coverorgin.jpg?v=10956731975730da070c19fa4f539b70&imageMogr2/format/webp)
/0/29606/coverorgin.jpg?v=43de8d7d2e394f3d3f370d1b2566c8f7&imageMogr2/format/webp)
/0/17149/coverorgin.jpg?v=9e8822e567909a5e504ab1ee583fe92b&imageMogr2/format/webp)
/0/5487/coverorgin.jpg?v=5f14fba69636ed885f8b73f7a02fe96c&imageMogr2/format/webp)
/0/4586/coverorgin.jpg?v=651c662242c05b47245fd41f214c5dc9&imageMogr2/format/webp)
/0/8922/coverorgin.jpg?v=122f60a4aa4007bf4763bc7735e28281&imageMogr2/format/webp)
/0/18873/coverorgin.jpg?v=b8baa94752614edd376b3e18297a1c9e&imageMogr2/format/webp)
/0/3334/coverorgin.jpg?v=6e6d8f37662ef09cd884581b5c644618&imageMogr2/format/webp)
/0/3872/coverorgin.jpg?v=e9a4e6acc2dfae4e5b73afa34ec542aa&imageMogr2/format/webp)
/0/6494/coverorgin.jpg?v=d70cbc9e0fbe54e08469c203f165324f&imageMogr2/format/webp)
/0/12755/coverorgin.jpg?v=135a08759123fe0a19a4ab0cfd36ba9f&imageMogr2/format/webp)
/0/15253/coverorgin.jpg?v=c790210f59dd4348ce7d1581af7affd7&imageMogr2/format/webp)
/0/21861/coverorgin.jpg?v=0f4e65363e281e89be22227c20075f20&imageMogr2/format/webp)