/0/28777/coverbig.jpg?v=20251203182421&imageMogr2/format/webp)
Lana baru saja menikah. Ia percaya bahwa Revan, suaminya, adalah pria yang tepat untuk hidupnya. Namun di malam pertama, ia melihat sendiri sebuah kenyataan yang sulit diterima. Suaminya berselingkuh dengan seorang pria, bukan seorang wanita. Lana merasa hancur. Ia tidak hanya kehilangan kepercayaan, tapi juga merasa ditipu dan dipermalukan. Ia ingin pergi, tapi tidak tahu harus ke mana. Ia tinggal di rumah mertua, di mana semua mata mengamatinya. Yang tidak ia duga, satu-satunya orang yang tidak menjauhinya justru Henry, ayah mertuanya sendiri. Pria itu pendiam, tegas, dan jarang berbicara. Namun sikapnya perlahan berubah. Henry mulai memperhatikannya, mulai melindunginya. Dan Lana, yang kesepian, mulai bergantung pada sosok lelaki itu. Hubungan mereka mulai berubah. Mereka semakin dekat dan semakin terseret, hingga kedekatan itu berubah menjadi hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Lana tahu ini salah. Tapi ia tidak bisa mundur. Ia sudah terlalu jauh.
Lana menatap cermin di kamar pengantin dengan hati yang berdebar. Gaun pengantin putihnya menempel sempurna di tubuhnya, rambutnya tersisir rapi, dan riasan wajahnya membuatnya terlihat anggun. Hari itu seharusnya menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupnya. Ia menikah dengan Revan, pria yang selama berbulan-bulan membuatnya merasa aman, dicintai, dan dimengerti.
Namun, begitu malam pertama tiba, semua yang Lana percayai tentang Revan hancur begitu saja. Ia masuk ke kamar tidur pengantin dengan senyum gugup, membawa keranjang bunga kecil sebagai simbol awal kehidupan baru mereka. Tapi yang menunggunya bukanlah kehangatan cinta yang selama ini ia bayangkan.
Di sudut kamar, Lana melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Revan, suaminya, berada dalam pelukan seorang pria. Mata Lana membelalak, jantungnya terasa seperti dihantam palu. Nafasnya tersengal, dan seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya.
"Revan... ini... apa maksudnya?" suara Lana serak, nyaris tidak terdengar.
Revan terkejut, tapi bukan karena rasa bersalah. Ia tampak kaku, ragu, seolah mencari kata-kata. Pria itu, yang kini Lana tahu bukan siapa-siapa baginya, melepaskan diri, menatap Lana dengan wajah penuh penyesalan dan... ketakutan.
"A... Lana, tunggu. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan..." Revan mencoba menjelaskan, tapi suaranya terdengar hampa, seperti berusaha menutupi kebohongan yang sudah terlalu jelas.
Lana menggigit bibirnya. Tangisnya menahan diri, tapi rasa sakit di dadanya terlalu dalam. Semua rasa percaya yang ia miliki pada Revan hancur dalam sekejap. Ia merasa ditipu, dipermalukan, dan dikhianati.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Lana mengambil tas kecilnya dan meninggalkan kamar. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu harus berkata apa, dan tidak tahu harus berbuat apa. Hanya ada satu hal yang ia tahu: ia tidak bisa tetap di sana, di rumah yang kini terasa asing dan dingin.
Namun rumah itu bukan rumah mereka sendiri. Lana menikah dan kini tinggal bersama keluarga Revan, rumah yang penuh mata yang mengamatinya. Ia melangkah ke ruang tamu, berharap menemukan seseorang yang bisa ia ajak bicara. Tapi semua orang yang ia temui hanya menatapnya dengan tatapan heran, sebagian bahkan penuh bisik-bisik tak sedap.
Dan di tengah kebingungan dan kesedihannya, satu sosok justru berdiri di sampingnya, dengan pandangan tenang yang berbeda dari yang lain. Henry, ayah Revan, pria yang selama ini pendiam, jarang bicara, dan tampak seperti sosok yang dingin, kini menatapnya dengan penuh perhatian.
"Lana..." suara Henry rendah, tapi ada kehangatan yang tidak Lana sangka akan ia rasakan. "Tidak apa-apa. Kamu tidak sendiri."
Lana menatap pria itu, bingung. Ia tidak mengerti mengapa Henry-yang biasanya jarang menunjukkan emosi-bisa begitu perhatian padanya. Tangisnya yang tertahan akhirnya meledak, dan ia menunduk, menutupi wajahnya.
Henry menepuk punggungnya perlahan. "Tenang, kamu bisa bicara padaku," katanya.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, Lana merasa sedikit lega. Ada seseorang yang tidak menjauhinya, yang tidak menilai atau menghakiminya. Hanya ada ketenangan, kehangatan, dan rasa aman yang aneh di dekat Henry.
Hari-hari berikutnya terasa berat. Lana harus tinggal di rumah yang sama dengan Revan, meskipun ia berusaha menghindarinya. Setiap tatapan, setiap bisik-bisik di ruang makan, setiap langkah di koridor terasa seperti pengingat bahwa hidupnya tidak akan sama lagi.
Namun Henry selalu ada di sisinya. Tidak terlalu sering, tapi cukup untuk membuat Lana merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian. Kadang mereka hanya duduk di ruang tamu bersama, Henry membaca koran sementara Lana menatap jendela. Kadang ia membawa teh hangat untuk Lana, dengan senyum tipis yang membuat hatinya sedikit hangat.
Lana mulai menyadari bahwa kehadiran Henry bukan hanya untuk menenangkan. Ia mulai bergantung pada pria itu. Kehadiran Henry yang pendiam tapi tegas membuatnya merasa aman, meskipun ia tahu ada sesuatu yang salah dalam perasaan itu. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hatinya mulai terikat pada pria yang seharusnya hanya menjadi ayah mertuanya.
Malam-malam pun menjadi momen tersendiri. Saat semua orang tidur, Lana sering duduk di balkon, menatap langit malam yang gelap. Pikiran tentang Revan, tentang malam pertama, tentang rasa sakit dan pengkhianatan, terus menghantui. Tapi pikiran tentang Henry-cara ia berbicara, cara ia menatapnya, cara ia membuatnya merasa dihargai-juga terus muncul.
Suatu malam, ketika hujan turun pelan dan suara rintikannya memenuhi halaman rumah, Henry mendekat. Ia membawa dua cangkir teh hangat, menyerahkannya pada Lana tanpa berkata banyak. Lana menatap cangkir itu, merasa ada kedekatan yang tumbuh, sesuatu yang ia tahu tidak seharusnya terjadi.
"Henry... aku..." Lana memulai, tapi suaranya tersendat. Kata-kata sulit keluar.
Henry menatapnya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Tidak semua harus diucapkan dengan kata-kata. Kadang cukup dengan hadir di sini."
Lana menunduk, merasakan jantungnya berdebar. Ia tahu ini salah. Ia tahu perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang tabu. Tapi ia tidak bisa menghindarinya. Perasaan itu terlalu kuat, terlalu nyata, dan terlalu membingungkan untuk diabaikan.
Hari demi hari, Lana dan Henry semakin dekat. Mereka mulai berbagi cerita tentang masa lalu, tentang hidup, tentang kesepian yang selama ini mereka sembunyikan. Henry, yang tampak dingin dan tegas di depan orang lain, menjadi sosok yang hangat dan penuh perhatian hanya untuk Lana.
Namun, setiap senyum, setiap tatapan, setiap sentuhan ringan yang terjadi tanpa disengaja, membuat hati Lana semakin terseret. Ia tahu perasaan ini salah, tapi ia tidak bisa mundur. Ia sudah terlalu jauh untuk berhenti merasa.
Sementara itu, Revan tetap menjadi sosok yang dingin, menghindari tatapannya, namun tetap menuntut Lana tinggal di rumah itu. Keluarga Revan, yang awalnya penuh tatapan heran dan bisik-bisik, mulai memperhatikan perubahan sikap Lana. Mereka melihat kedekatannya dengan Henry, tapi tidak berani menegur. Rasa penasaran dan ketidakmengertian membuat semuanya semakin rumit.
Lana tahu satu hal: ia berada di jalan yang berbahaya. Tapi satu hal juga jelas-ia tidak bisa lagi merasa aman tanpa Henry. Tanpa sadar, ia sudah bergantung pada pria itu, dan itu membuatnya merasa hidup kembali di tengah kehancuran yang ditinggalkan Revan.
Malam itu, saat hujan turun deras dan angin meniup tirai kamar, Lana menatap ke arah rumah yang gelap. Hatanya campur aduk-antara bersalah, takut, dan rindu. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Perasaan yang tumbuh, rahasia yang terbentuk, dan ikatan yang mulai terjalin, akan membawa Lana ke arah yang tidak pernah ia bayangkan.
Ia menutup mata sejenak, merasakan kehangatan cangkir teh di tangannya, dan suara hujan yang menenangkan. Ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi. Dan di tengah semua kekacauan ini, satu hal yang pasti: Henry, ayah mertuanya, telah menjadi satu-satunya sandaran hati yang ia miliki.
Pagi itu, matahari menembus tirai jendela kamar Lana dengan sinar hangat yang seolah ingin menghapus malam penuh kebingungan yang baru saja ia lalui. Namun hatinya tetap terasa berat. Meski hujan semalam membawa ketenangan sesaat di dekat Henry, pagi hari selalu menghadirkan kenyataan yang tidak bisa ia hindari. Revan, suaminya, masih tinggal di rumah yang sama. Ia masih melihat Lana dengan tatapan dingin yang seolah menilai setiap gerak-geriknya.
Lana menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri saat menuruni tangga menuju ruang makan. Aroma kopi pagi dan roti panggang menyambutnya, tapi rasanya hambar. Ia duduk di kursi yang biasanya Revan tempati, sambil menatap piring kosong yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga. Suasana terasa canggung, hening, hanya terdengar bunyi sendok yang dipukul pelan di cangkir kopi.
"Lana," suara lembut terdengar dari belakangnya. Henry muncul dari koridor, mengenakan kemeja putih dan celana panjang rapi. "Tidurmu cukup?"
Lana menoleh, tersenyum tipis, tapi hatinya masih gundah. "Cukup... aku rasa," jawabnya sambil mencoba terdengar wajar.
Henry duduk di kursi di seberangnya. Ia menatap Lana, diam, seolah menunggu Lana yang memulai percakapan. Tidak seperti orang lain di rumah itu, Henry tidak menatapnya dengan rasa ingin tahu atau bisik-bisik yang menyudutkan. Hanya ada ketenangan dan perhatian yang membuat Lana merasa sedikit lega.
"Jangan terlalu memikirkan Revan," kata Henry akhirnya. "Dia membuat pilihan sendiri. Itu bukan salahmu."
Lana menggigit bibirnya. Kata-kata Henry sederhana, tapi memiliki kekuatan yang membuatnya menahan air mata. Ia tahu Henry benar. Ia bukan penyebab Revan berselingkuh. Tapi sakit hati itu tetap ada, membekas, seolah setiap tatapan Revan menjadi pengingat yang menyakitkan.
"Terima kasih, Henry," Lana berkata pelan. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana tanpa... tanpa dukunganmu."
Henry tersenyum tipis, menepuk tangannya di atas meja. "Kamu tidak sendiri, Lana. Aku akan selalu ada."
Hari itu, Lana menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, mencoba mengalihkan pikiran dari Revan dan tatapan orang-orang di rumah itu. Tapi setiap kali ia menatap cermin, bayangan malam pertama masih menghantui. Ia merasa malu, marah, dan hancur sekaligus. Namun keberadaan Henry, meski jarang bicara, selalu memberinya sedikit kekuatan untuk tetap tegar.
Siang harinya, Lana memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. Angin sejuk menyapu wajahnya, daun-daun bergoyang perlahan, dan aroma bunga memenuhi udara. Ia mencoba menenangkan pikiran, tapi bayangan Revan tetap mengintai.
Henry muncul di ujung taman, membawa sebuah buku yang tampaknya sudah lama ia baca. "Aku pikir kamu mungkin ingin duduk di sini," katanya sambil menunjuk bangku di bawah pohon rindang.
Lana tersenyum tipis, mengikuti Henry. Ia merasa nyaman, meski merasa aneh dengan kedekatan yang tumbuh di antara mereka. Duduk berdampingan, mereka hanya diam beberapa saat, menikmati suara alam.
"Aku ingin bertanya sesuatu, Henry," Lana akhirnya memulai. "Apa... apa yang membuatmu tetap dekat denganku, padahal aku... aku ini menantu yang... kacau?"
Henry menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh kejujuran. "Karena aku melihatmu sebagai seseorang yang butuh perlindungan. Bukan karena kamu menantu, bukan karena suamimu... tapi karena kamu manusia yang terluka. Dan aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli."
Kata-kata itu membuat dada Lana sesak. Ia tahu perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka salah, tapi hatinya tak bisa menolak. Ada ketenangan, kehangatan, dan rasa aman yang ia rasakan saat berada di dekat Henry.
Hari-hari berikutnya di rumah itu menjadi campuran antara ketegangan dan kenyamanan. Revan tetap menghindarinya, sering pergi meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaan, atau sekadar keluar tanpa memberi penjelasan. Keluarga lain, ibu mertua dan saudara-saudara Revan, menatap Lana dengan rasa penasaran dan terkadang sinis.
Namun Henry selalu ada. Kadang mereka berbicara tentang hal-hal ringan: buku, musik, atau masa lalu Henry yang jarang diceritakan kepada orang lain. Kadang mereka hanya duduk diam, menikmati waktu tanpa harus bicara. Lana mulai merasakan bahwa Henry bukan hanya ayah mertua, tapi juga teman yang memahami kesepian yang ia rasakan.
Suatu sore, Lana sedang membereskan buku di ruang baca saat Henry masuk membawa beberapa dokumen. Mereka berpapasan di lorong, dan Lana merasakan detak jantungnya naik. Henry tersenyum kecil, menunduk, dan memberikan dokumen itu padanya.
"Terima kasih," Lana berkata pelan.
Henry menatapnya sebentar, diam, lalu pergi tanpa banyak bicara. Tapi tatapannya tetap meninggalkan jejak di hati Lana. Ia tahu, perasaan ini salah, tapi terlalu kuat untuk diabaikan.
Malam itu, setelah semua orang tidur, Lana duduk di balkon, menatap langit malam yang gelap. Hujan rintik yang jatuh menambah suasana sepi. Ia memikirkan Revan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang ia alami. Namun pikirannya selalu kembali pada Henry. Cara ia memperhatikan, cara ia menjaga, cara ia membuatnya merasa aman... semuanya membingungkan hati Lana.
Tiba-tiba Henry muncul membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkannya tanpa berkata banyak. Lana menerima dengan tangan sedikit gemetar.
"Kamu terlihat lelah," kata Henry akhirnya. "Minum ini, mungkin akan sedikit membantu."
Lana tersenyum tipis. "Terima kasih... Henry."
Mereka duduk bersama di balkon, hujan rintik di sekitar mereka, hanya suara alam yang terdengar. Dalam diam, Lana merasa ada kedekatan yang semakin dalam. Ia tahu perasaan ini salah, tapi ia tidak bisa menghindarinya. Setiap senyum, setiap tatapan, setiap percakapan ringan, membuat hatinya semakin terseret pada Henry.
Hari-hari pun berlalu. Lana mulai memahami bahwa hidupnya di rumah itu akan selalu rumit. Revan tetap menjadi suami yang dingin, keluarganya tetap menatapnya dengan berbagai penilaian, tapi Henry adalah satu-satunya sosok yang membuatnya merasa hidup kembali.
Suatu sore, saat hujan mulai reda, Lana menemukan Henry sedang duduk di ruang kerjanya, menatap dokumen yang tampaknya penting. Ia mendekat, duduk di seberangnya, dan menatap pria itu.
"Henry... aku... aku takut," kata Lana pelan. "Takut dengan perasaan yang aku rasakan padamu. Takut dengan apa yang mungkin terjadi jika orang lain tahu."
Henry menatapnya dengan serius. "Aku juga takut, Lana. Tapi rasa takut itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa kita merasa... sesuatu. Kita tidak bisa menolak perasaan manusiawi. Tapi kita harus berhati-hati. Jangan sampai perasaan itu menghancurkanmu atau orang lain."
Lana menunduk, merasakan jantungnya berdebar. Kata-kata Henry memberi kelegaan sekaligus menambah kekacauan emosinya. Ia tahu perasaan ini salah, tapi ia tidak bisa menahan diri. Ia terlalu jauh, terlalu terikat, dan terlalu membutuhkan sosok Henry dalam hidupnya.
Malam itu, Lana kembali ke kamarnya, menatap langit malam di luar jendela. Hujan sudah berhenti, tapi hatinya masih bergemuruh. Ia tahu, perjalanan emosionalnya baru saja dimulai. Perasaan yang salah, ikatan yang tumbuh, dan ketegangan yang terjadi di rumah itu akan membawa Lana pada dilema yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dan satu hal jelas di pikirannya: Henry, ayah mertuanya, adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa aman di tengah kehancuran yang ditinggalkan Revan.
Bab 1 tidak bisa menolak
19/10/2025
Bab 2 kehadiran Henry di sisinya
19/10/2025
Bab 3 semuanya membingungkan hati
19/10/2025
Bab 4 kenyamanan
19/10/2025
Bab 5 godaan
19/10/2025
Bab 6 Jangan khawatirkan
19/10/2025
Bab 7 memperhatikan
19/10/2025
Bab 8 meninggalkan rumah
19/10/2025
Bab 9 Hanya sampai kau kuat lagi
19/10/2025
Bab 10 hanya hujan di luar yang menemani
19/10/2025
Bab 11 berusaha membohongi
19/10/2025
Bab 12 kapan cinta datang
19/10/2025
Bab 13 antara kagum dan takut
19/10/2025
Bab 14 meninggalkan kota
19/10/2025
Bab 15 sudah tak bisa dihapus
19/10/2025
Bab 16 bencana yang lebih besar
19/10/2025
Bab 17 tidak ada pilihan lain
19/10/2025
Bab 18 keberanian pribadi
19/10/2025
Bab 19 diperhitungkan
19/10/2025
Bab 20 menyerah
19/10/2025
Bab 21 mencari Lana
19/10/2025
Bab 22 menghentikan
19/10/2025
Bab 23 mengawasi
19/10/2025
Bab 24 memerintahkan
19/10/2025
Bab 25 mobil hitam
19/10/2025
Buku lain oleh Mohammad Riky
Selebihnya