Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini, Liana," ucapku dengan nada setenang mungkin. Meski begitu jantungku berdebar kencang. Tak pernah mudah bagiku untuk mengakhiri suatu hubungan, sesingkat apapun itu.
Liana menatapku dengan mata membelalak. Garpunya yang sudah setengah terangkat ke mulut perlahan turun lagi. "Apa maksudmu, Rayhan? Kamu mau kita putus? Sekarang?" Suaranya meninggi di akhir kalimat, hingga beberapa pengunjung restoran menoleh ke arah meja kami.
Aku menghela napas panjang. Kuraih jemari Liana di atas meja, tapi dia menepisnya kasar. "Dengar, aku sudah menjelaskan dari awal kalau aku tidak bisa menjalin hubungan lebih dari 30 hari. Dan hari ini, adalah hari ke-30 hubungan kita," jelasku sabar.
"Persetan dengan aturan bodohmu itu! Aku pikir kamu sudah berubah, Rayhan. Aku pikir kamu tulus saat mengatakan sayang padaku!" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Liana. Ia menatapku dengan sorot terluka.
Aku menggeleng pelan. "Aku tidak pernah bermaksud memberimu harapan palsu, Liana. Aku juga tidak ingin menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri."
"Omong kosong!" Liana menggebrak meja dengan keras, membuat piring dan gelas bergetar. "Kau pikir aku ini apa? Mainan yang bisa kau buang setelah bosan?"
"Bukan begitu, Liana. Tolong mengertilah..." Aku berusaha menenangkannya, tapi Liana keburu kalap.
Plakk! Tangannya melayang cepat menampar pipiku, keras hingga terasa panas. Aku terperangah, tak menyangka akan ditampar di depan umum begini.
Belum habis rasa terkejutku, Liana menyambar gelas anggur dan menyiramkan isinya ke wajah dan kemejaku. Cairan merah pekat itu membasahi kemeja putih yang kukenakan. Aku hanya bisa ternganga saking syoknya.
"Dasar brengsek! Aku benci padamu! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" Liana berteriak histeris. Ia membanting gelas hingga pecah berhamburan di lantai, sebelum beranjak pergi meninggalkanku yang masih membeku.
Kejadiannya begitu cepat hingga aku tak sempat bereaksi. Aku hanya termangu menatap kepergian Liana dengan perasaan campur aduk. Rasa bersalah, malu, dan jengkel bercampur jadi satu. Bisik-bisik di sekelilingku terdengar bagai dengungan lebah yang mengganggu.
Aku menghela napas berat. Tak pernah mudah mengakhiri hubungan, tapi ini juga bukan pertama kalinya bagiku. Sudah puluhan wanita kucampakkan dengan cara yang sama. Biasanya aku bisa langsung menepis rasa bersalahku, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Mungkin karena ekspresi terluka di wajah Liana, atau sorot kecewa di matanya yang tak bisa kulupakan.
Dengan langkah gontai aku beranjak dari kursiku menuju toilet. Kuabaikan pandangan menghakimi dari para pengunjung lain, juga bisik-bisik yang menyuarakan simpati pada Liana dan memakiku. Masa bodoh dengan mereka semua.
Di toilet, aku menatap bayanganku sendiri di cermin. Wajahku terlihat kacau dengan noda anggur di mana-mana. Kemeja putihku juga kini ternoda kemerahan. Sambil membasuh muka, kuhela nafas panjang dan berusaha menjernihkan pikiranku.
Benarkah yang kulakukan selama ini? Apakah aturan 30 hariku ini memang jalan hidup yang kupilih? Akankah aku selalu seperti ini, melompat dari satu hubungan ke hubungan lain tanpa pernah serius pada seorang wanita?
Bayangan wajah Mama berkelebat di benakku. Raut kecewanya saat mengetahui aku kembali memutuskan pacar. Nasihatnya yang tak pernah bosan kudengar, agar aku berhenti bermain-main dan mulai serius mencari pendamping hidup.
Tapi aku menggelengkan kepala kuat-kuat, mengusir keraguan itu. Tidak, aku sudah memilih jalanku dan akan ku jalani sebaik mungkin. Hubungan asmara hanya membawa luka, aku tak mau tersakiti lagi. Aku tak mau mengulang kesalahan Papa dan Mama.
Kuhapus sisa-sisa noda anggur sekenanya, lalu melangkah keluar toilet dengan dagu terangkat. Masa bodoh dengan mereka yang menghakimiku. Ini hidupku, aku yang berhak mengaturnya sesukaku.
Saat aku kembali ke meja, Liana sudah tidak ada. Hanya tersisa taplak meja yang basah oleh anggur, juga serpihan gelas yang berserakan. Aku mendengus kesal, terpaksa harus membereskan kekacauan yang ditinggalkannya.