Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Anything For You

Anything For You

Ana Sue

5.0
Komentar
419
Penayangan
18
Bab

Andre mencintai Samantha dalam diamnya, tetapi masalah mulai bermunculan semenjak hubungan Andre dan tunangannya menuju keretakan. Di saat Andre bimbang dengan perasaannya, muncullah Yansen, dokter yang menangani penyakit Samantha, menaruh hati pada wanita itu, dan berjanji akan bersama Samantha apa pun yang terjadi. Lantas siapa yang akan berlabuh di hati Samantha?

Bab 1 Kenyataan

[Samantha]

The pain started years ago, but I’d lived with it for so long at that point, I’d accepted it as an inevitable part of me – Ashley D. Wallis

Aku sudah benar-benar muak dengan rasa sakit yang kurasakan bertubi-tubi menghajar tubuhku. Lagi-lagi aku harus kembali ke rumah sakit yang sama, menemui dokter yang sama, karena penyakit yang sama pula. Beberapa minggu yang lalu, aku baru saja menyelesaikan operasi pengangkatan tumor yang berada di dalam rahimku, dan sekarang aku kembali lagi ke rumah sakit, karena ternyata masih ada sakit yang teramat sangat pada awalnya kupikir disebabkan oleh tumor tersebut, tak juga kunjung berkurang hingga hari ini. Tak ada yang berubah, rasa sakit itu masih juga sama, apa harus kulakukan?

Menunggu di ruang tunggu, sendirian, adalah sesuatu yang sangat menyebalkan. Aku datang terlalu awal hari ini, aku benar-benar lupa jika Dokter Yansen—dokter bedah yang menangani kedua penyakitku—memulai prakteknya pada pukul enam sore, dan aku datang pukul tiga siang, dengan relanya meninggalkan pekerjaan yang belum selesai di kantor.

Handphoneku berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang kukenal membuatku tersenyum, lagi-lagi Andre menggodaku dengan mengirim stiker-stiker aneh.

‘Hey, I’m not in the mood.’ Aku membalas dengan beberapa kata.

‘Hehehe … lagi apa, Non?’

‘Lagi di rumah sakit, cek up.’

Aku tak lagi membalas, meski Andre masih mengirimkan pesan kepadaku. Aku sedang malas, saat ini aku tak ingin bertemu atau berbicara dengan siapapun, yang berada di pikiranku saat ini hanya hasil dari laboratorium yang sebentar lagi harus kuserahkan pada dokter dan dia akan membacakannya. Apapun itu aku siap, aku sudah tak peduli lagi apa yang akan terjadi pada diriku, tak ada lagi kehidupan yang kuinginkan saat ini, aku hanya terdiam dan larut dalam pikiranku, aku sudah lelah, sangat lelah.

Pernikahanku batal bulan Januari yang lalu, John—tunanganku seorang lelaki yang sangat naif—membatalkannya sepihak tanpa memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya John lelaki yang cukup baik, tapi ... entah kenapa aku malah sedikit bersyukur karena pernikahan itu pada akhirnya batal—meski tak sepenuhnya batal tetapi mengalami penundaan sementara untuk alasan yang tak pernah dijelaskan olehnya, aku tak ambil pusing. Setelah pembatalan itu, aku memutuskan untuk melakukan operasi, John juga mendukungku.

Sewaktu aku operasi pengangkatan tumor, dia datang menemaniku, tapi hal itu tak akan pernah mampu bagiku, untuknya menebus kesalahan yang sudah membuatku jengkel padanya. Meski sebenarnya aku tak begitu menginginkan adanya pernikahan, tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk membangun sebuah keluarga. Semua kulakukan untuk Papa, ya, untuk laki-laki tua yang selalu menganggapku sebagai gadis kecilnya. Bagi Papa, selamanya aku adalah gadis kecil manis dan mungil seperti dulu, kadang rasa khawatirnya yang berlebih membuatku merasa kasihan, jika dia harus kehilanganku. Papa ingin aku menikah, dan memiliki anak sebelum terjadi sesuatu padanya, jadi aku mengabulkannya.

Tak ada yang spesial dengan awal perkenalanku dengan John. Aku dan John berkenalan di rumah sakit ini awal tahun lalu, saat itu dia sedang melakukan test darah, dan aku sedang melakukan konsultasi dengan dokter yang menanganiku. John mengajakku berbicara di ruang tunggu, membunuh rasa jenuh pada diri masing-masing, kemudian berakhir dengan dia meminta nomor teleponku, aku memberikan nomorku, semenjak itu dia rajin menghubungiku. Hubungan kami pun berlanjut, padahal saat itu aku pun sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang berada di satu lingkungan kerja—aku akan menceritakannya nanti. Dengar ... aku tak berniat memainkan hubungan atau perasaan siapapun, tetapi ... aku juga tak bisa menolaknya. Ada sesuatu yang kucari dari kedua hubungan yang saat itu kujalani dengan keduanya, aku ingin mencari kembali sebuah rasa yang mungkin sudah terlupakan olehku. John, laki-laki yang cukup menarik, sekilas aku merasa dia sedikit mirip dengan Rio Dewanto, suami dari Atiqah Hasiholan. Aku senang melihat cara John tersenyum ketika dia menggodaku. Meski aku dan John sudah hampir menikah, aku dan dia tak pernah melakukan hal itu, sex before marriage. Entahlah, aku tak pernah meminta, demikian dengan John. Lagipula, aku sendiri masih ragu dengan hubunganku dengannya. Pernikahan seperti sebuah momok menakutkan yang seolah bisa membunuhku kapan saja, itu sangat kurasakan membesar dari hari ke hari, aku tak belum siap dengan namanya sebuah komitmen seumur hidup! Padahal usiaku sudah menginjak kepala tiga, lewat sedikit. Tapi aku memiliki alasan di balik semua ketidaksiapanku.

*

Ruang tunggu rumah sakit masih saja dipadati pengunjung yang ingin segera mengetahui beban yang berada di dalam tubuh mereka, apakah berbahaya atau tidak, sama halnya dengan diriku, yang masih harus menunggu sekitar lima belas menit lagi.

Bau rumah sakit yang tak pernah ramah terhadap indera penciumanku membuatku sedikit merasa risih, ingin rasanya kedua kakiku melangkah pergi tanpa harus berkonsultasi lebih jauh mengenai apa yang sekarang ini bersarang pada tubuhku.

Tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, notifikasi pesan dari BBM muncul di layar teratas handphone milikku. Sebuah pesan dari seseorang yang kukenal, Andre.

‘Hey, where are you now, Dear?’

‘At the hospital, ada apa, Ndre?’

‘Well, see you soon in few hours.’

‘I’ll wait for your coming.’

Hanya itu beberapa pesan singkat yang dikirimkannya. Aku belum pernah melihat secara langsung wajah lelaki bernama Andre, seorang penulis jenius dan pintar yang selalu dipuji oleh para senior-senior di group. Aku tak ambil pusing, aku hanya ingin melihat seperti apa sosoknya, apa betul dia benar-benar seorang manusia? Leave it, aku hanya bercanda, sudah pasti dia manusia.

Kenapa dokter yang biasa menanganiku begitu lama sih, sebenarnya pasien dengan penyakit seperti seperti apa yang sedang ditanganinya sekarang, sudah lebih 15 menit dari yang seharusnya. Tak henti-hentinya aku menatap jarum jam yang bergerak semakin lambat di pergelangan tanganku. Tuhan, aku masih ada janji lain sehabis ini, apakah aku masih harus berlama-lama duduk di ruang tunggu, meski ruangan ini memakai AC tapi bukan berarti aku merasa kerasan jika harus berlama-lama berada di dalamnya. I admit that, I need a treatment, tapi mengapa begini lama? Hal yang paling tak kusukai adalah; menunggu.

Satu per satu pasien yang semula ada bersamaku di ruang tunggu yang sama mulai berkurang, hingga pada akhirnya menyisakan aku duduk menahan jengkel dengan gadget berada di tangan—aku bermain game menghilangkan rasa jenuh.

“Samantha Lee!” sebuah suara cukup lantang memanggil nama lengkapku, membuatku langsung berdiri, meraih tas tangan yang kuletakkan di bangku kosong tepat di sampingku. Aku benar-benar sudah jenuh.

*

“Jadi?” kedua mataku menatap Dokter Yansen, dokter muda yang berparas tampan, dengan tubuh gagah, berkulit putih, wajahnya yang oriental, tak pernah sebelumnya terbayang olehku ada dokter bedah setampan dirinya, dia berdiri di hadapanku setelah memeriksa tensi darah.

“Sam, kau yakin masih sanggup menahannya?” tanyanya dengan suara khas; berat dan serak-serak basah, namun terdengar seksi di telingaku, sekilas seperti suara Ed Sheeran—lupakan saja, aku sedikit ngawur.

“Dok, tak perlu basa basi, nanti akan basi betulan, cukup katakan saja berapa lama lagi? Aku tahu apa yang aku hadapi sekarang,” jawabku agak ketus, pria tampan di hadapanku hanya tersenyum semringah, memerlihatkan deretan gigi putih bak mutiara yang berbaris sedemikian rapi, sembari memegang amplop berisi hasil lab yang seharusnya dibacakan secepatnya. Sial memang, membuatku tak fokus!

“Samantha, yang satu itu dapat membuat—“

“Cukup Dok, apapun itu, aku yang merasakannya, aku yang menanggungnya, aku belum siap untuk operasi.”

“Tunggu dulu, jangan main memotong kalimatku begitu saja, meski kautahu apa yang akan kukatakan. Kau masih sanggup menahan rasa sakit untuk yang satu ini? Kau masih mampu bergelut dengan rasa nyeri yang membuatmu berada di neraka? Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu, apa yang kau mau sebenarnya?”

“Yang aku mau? Jika bisa … aku tak ingin diapa-apakan sama sekali. Aku sudah tak punya kehidupan, itu adalah jawaban di luar akal sehatku, Dokter. Cukup jawab saja sekarang, jika aku menolak dioperasi, berapa lama aku bisa bertahan?”

“Aku tidak bisa memastikannya, penyakitmu dapat membuatmu kehilangan kesadaran sewaktu-waktu, kau tahu penyakitmu sangat berbahaya, kenapa kau mau menyiksa dirimu? Apa kau kira, kau hanya cukup dengan penahan rasa sakit yang disuntikkan ke tubuhmu setiap saat? Kau tak ingin memperpanjang waktumu?”

“Dokter, hidup ini adalah milikku, meski aku hanya meminjam tubuh ini, ada saatnya aku harus mengembalikan kepada pemilik yang sah. Aku tak peduli berapa lama lagi aku sanggup bertahan, aku sudah benar-benar lelah dengan semuanya. Aku tak peduli dengan sekitarku, aku juga tak peduli berapa lama lagi aku hidup. Jangan pernah dokter memintaku untuk melakukan ini atau itu, aku kehilangan segalanya, masa lalu telah membuatku seperti ini, tak ada lagi yang bisa kuharapkan, apa yang harus kulakukan?”

Dokter Yansen menatapku, tatapannya seperti menatap orang gila yang sedang frustasi, ya, ya silakan dia beranggapan bahwa aku ini orang gila, aku benar-benar tak peduli apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat, seolah sedang menahan beban yang teramat sangat. “Semua terserah padamu, aku sebagai doktermu hanya berusaha melakukan yang terbaik untukmu.”

“Aku berterima kasih, sekarang sebutkan saja berapa lama aku bisa bertahan?”

“Kau—“

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Ana Sue

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku