Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Falling for him

Falling for him

Esteifa

5.0
Komentar
214
Penayangan
34
Bab

Katanya hati manusia itu seperti angin, mudah sekali berganti arah. Theo pernah mendengar hal serupa itu, dan ia percaya. Mengingat seberapa pernah ia menjadi saksi sekaligus korban dari kejamnya hati yang berubah arah. Namun, kepercayaannya goyah. Theo melihatnya, seorang gadis, dengan hati dan pendirian yang begitu teguh meski digoda susah payah, pribadi yang malu jika disamakan dengan angin. Jaane Kim, menganggap jatuh cinta hal paling terakhir yang ingin dirasakannya. Dan bagi Theo, hal itu seperti tantangan untuknya, mengingat belum pernah ada gadis yang menolak mengikuti melodi seruling yang ia mainkan. Bisakah Theo mendapatkan apa yang ia inginkan? Akankah Jaane luluh dengan melodi sang Pied pipper? Inilah kisah merah muda mereka, musim semi, dandelion serta angin. Satu paket merah muda untuk mengundang hadirnya kupu-kupu di hati pembaca.

Bab 1 Pertemuan pertama

Pemuda tinggi yang kini memasang ekspresi masam itu masih menggunakan seragam dari sekolah lamanya, masih dengan tas hitam dipunggung yang tidak berisi apa-apa. Laki-laki itu tengah duduk di meja makan, mendengarkan ceramah di pagi hari agar hatinya kembali putih suci.

"Kau sudah besar, tau lah mana yang benar dan mana yang tidak. Mana yang harus dilakukan dan mana yang jangan. Ibu sudah tua, Te, jangan buat Ibu terus-terusan pusing memikirkanmu. Sudah tiga tahun di SMA kau berpindah sekolah lebih dari lima kali, kenakalanmu itu sudah diluar nalar. Apalagi dengan usiamu- ya Tuhan! Katakan berapa usiamu tahun ini?"

"Dua puluh," jawab Theo pelan, telinganya sudah sangat panas. Ia tak mampu melakukan apapun, hanya berharap agar ini semua segera berakhir.

"Dua puluh, Te. Dan kau bertingkah seperti anak baru puber saja! Kau sudah dewasa, pikirkanlah apa yang baik untukmu sendiri mulai sekarang." Baru saja Theo hendak menjawab, sang Ibu melanjutkan.

"Jika seperti ini terus, universitas mana yang mau menerimamu? Dan jika kau tidak kuliah siapa yang akan meneruskan perusahaan Ayah? Usia dua puluh tahun masih di kelas sebelas. Jadi di usia berapa kau akan lulus kuliah, Te. Dan di usia berapa kau akan menikah. Ibu pusing, Te! Ibu pusing!" pungkas wanita berdress rumahan itu sambil memegangi kepala.

Theo mendekati Ibu-nya lalu memijat kepalanya. "Ibu pusing karna terlalu banyak berfikir, makanya jangan difikirkan," cicit Theo lagi.

Sang Ibu menabok lengan Theo keras-keras, seakan tak habis pikir dengan pola pikir putra bungsunya tersebut. "Jika bukan aku yang memikirkan, terus siapa lagi? Kau saja tidak mau berfikir tentang dirimu sendiri."

"Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku sendiri, jadi Ibu tidak usah terlalu memikirkanku lagi."

"Mana bisa begitu," balas Ibu tak terima, tidak ada satu orangpun didunia yang bisa menyuruh seorang ibu untuk berhenti memikirkan putranya.

"Bisa lah, Bu. Dia sudah punya keinginan," sahut suara bariton yang baru saja turun dari lantai atas.

Seorang pria bersetelan kemeja biru tua dan celana bahan formal itu tersenyum, memamerkan pipi berlubang. Theo mencibir secara otomatis. Kehadiran kakak sulungnya tidak pernah menjernihkan keadaan. Ibu selalu pro kakaknya, dan Theo hanya akan berakhir jadi bahan untuk dibanding-bandingkan.

"Kau harus membimbingnya, bilang Ibu jika dia membuat masalah lagi," ujar Ibu Theo pada Namu- kakak Theo.

"Baik, jadi sekarang bebaskan dia, Bu. Kalau tidak, dia akan terlambat," balas Namu menenangkan, berhasil membuat Theo bebas dari kungkungan nasihat pagi sang Ibu, menyuruh Theo untuk segera berangkat sekolah.

"Cepatlah! Kita sudah terlambat."

Dahi Theo menyirit, "Apa maksudnya?" Otaknya kembali berfikir "Jadi sekolah baruku, adalah sekolah tempatmu mengajar, kak?!"

Benar. Theo bahkan tidak tau kalau ia resmi bersekolah di tempat kakaknya mengajar.

"Iya, Ayo cepat. Kau yang menyetir." jawabnya melemparkan kunci mobilnya pada Theo.

Oke, Theo mau mengaku bahwa ia memang anak lelaki bandel yang sulit melakukan perintah, namun ia juga kurang suka berbuat onar, tidak suka sama sekali malah. Jadi bukankah berlebihan jika ibu mengirimnya ke sekolah dan membuatnya diawasi setiap saat. Jelas sekali ibu membuangnya ke sekolah yang sama dengan Namu agar ia tak lepas dari pengawasan.

Theo memandang kunci ditelapak tangannya yang mengadah, "Aku memakai mobilku sendiri saja."

Setelah mengatakan itu Theo melemparkan kembali kunci mobil itu pada pemiliknya.

"Tidak bisa. Nanti kau bolos lagi," sahut Namu, tak setuju.

"Tidak, aku tidak akan bolos."

Namu hanya menatap adiknya itu dengan alis terangkat. Sebuah tanda mutlak kalau anak sulung keluarga Kim itu sama sekali tidak ingin dibantah. Setelahnya Theo memasuki mobil di bagian kemudi. Kakak-nya itu memang keterlaluan tegas.

Theo harus siap dengan penjara baru yang keluarganya buat.

--

Gadis delapan belas tahun yang menggunakan seragam ungu itu mendecak keras, gadis itu mengusap wajahnya lalu menghembuskan nafas kasar. Niatnya melampiaskan emosi malah berujung menambah emosi. Jaane tau mobil yang dibelikan Ayahnya setelah liburan semester kemarin itu merupakan mobil mahal dan dari produsen terkenal, tetapi Jaane tidak tau kalau ban mobil dari 'produsen terkenal' ini sangat tipis.

Gadis bersurai coklat itu membuka pintu mobil lalu mengambil ponselnya. Dengan cepat, Jaane mendial nomor Lica- salah satu sahabatnya. Hanya nada sambung yang terdengar, entah kemana gadis jangkung itu pergi hingga panggilan Jaane pun tidak dijawabnya.

Jaane mendial nomor Lica lagi, satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi memperlihatkan jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir masuk, tapi Lica tidak juga menjawab. Jaane mengedarkan pandangan, jalanan beroperasi lancar tapi tidak ada satupun yang dikenalnya untuk meminta bantuan. Taksi pun tak terlihat di daerah ini. Setelah ketiga kalinya nada dering itu berhenti, Jaane meletakan ponselnya di saku. Menyerah. Masa bodoh, akhirnya dia bolos juga. Gadis itu mengambil tasnya, mencopot kunci, lalu mulai melangkah di bahu jalan. Mengambil arah berlawanan dari arah menuju sekolah.

Jaane mengambil ponselnya di saku, mengetikan pesan berisi perintah kepada Jung- adiknya untuk mengambil menghubungi orang dan mengambil mobilnya, lalu ponsel itu disetting dalam mode hening. Jaane terlalu malas untuk berbicara. Tak ingin membuat harinya lebih buruk lagi.

Langkah yang Jaane ambil belum genap sepuluh namun ia harus menghentikan langkah saat sebuah mobil berhenti disampingnya, Jaane mengamati mobil itu sejenak, hingga kemudian kaca gelap mobil sedan itu turun Jaane masih belum tau siapa pengemudi ini.

Jaane tidak mengenalnya, maksudnya, laki-laki berseragam sekolah yang duduk memegang setir itu. Lelaki bertampang acuh dengan rambut hitam legam dan kulitnya berwarna tan.

"Jane, kau mau kemana?" Pria dikursi penumpang sebelah menundukan kepala agar dapat terlihat, menampilkan stuktur wajah yang amat dikenal. Jaane tersenyum sedetik kemudian.

"Saya hendak ke sekolah, sir," jawab Jaane pada guru Bahasa inggris di sekolahnya.

Jaane berbohong? Iya, tidak mungkin juga dia menjawab 'saya mau pulang, sir. Ban mobil meletus' kejujuran semacam itu tidak terlalu diperlukan.

"Kau salah arah. Sekolah ada disana," balas Namu seraya menujuk depan. Yah, bahkan anak SD pun tau Jaane berjalan kearah yang salah.

"Tadi ban mobil saya meletus. Jadi saya mau mencari taksi disana," alibi Jaane.

"Ikut kami saja, disana juga tidak ada taksi."

"Tidak usah, sir. Saya berangkat sendiri saja," tolak Jaane cepat, bolos adalah satu-satunya agenda hingga sore nanti.

Tapi kemudian, laki-laki berseragam itu berdehem ketara seraya melihat jam di pergelangan tangannya.

"Sebentar lagi bel berbunyi, masuklah."

Menolak tidaklah mungkin lagi, mesin mobil sudah dinyalakan. Terpaksa. Tangan gadis itu membuka pintu belakang, lalu duduk di belakang kursi supir.

Bolos yang tertunda.

--

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku