Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Ia adalah Wuchen sang panglima perang. Dengan gagah berani, ia datang dengan sebuah laporan. Itu sudah pasti sebuah berita yang bagus. Menemui Andromeda Yang Mulia dengan berita buruk hanya akan membawa mereka pada kebinasaan.
"Lapor, Yang Mulia. Kami sudah menemukan keberadaan si penghianat dengan benar. Kali ini, kami sangat yakin bisa menangkapnya."
"Bagus. Laksanakan tugasmu dan berikan hasil yang memuaskan untukku! Sudah terlalu lama kita terkecoh dengan satu orang. Ini sungguh keterlaluan!!" Nyala api di sekitar tubuhnya masih terus meluap menandakan amarah yang belum bisa padam. "Dewan Keamanan Galaksi sudah mengecewakanku. Kali ini, aku serahkan misi ini padamu."
"Baik, Yang Mulia."
Jelas, Sang Andromeda merasa kesal dengan pekerjaan para Dewan Keamanan Galaksi. Bukan tidak mungkin bila mereka memiliki jaringan yang bisa membantu pelarian Zoro sampai bertahun-tahun.
"Pastikan abad ini kalian berhasil menemukannya atau … aku akan membuang kalian pada lubang hitam!"
Tak tertahankan lagi bagaimana amarah seorang penguasa galaksi. Tidak ada yang bisa menandingi bila sang penguasa sudah marah seperti itu. Perintah resmi telah dikeluarkan lagi, semua pasukan mulai berpencar ke seluruh galaksi dan mulai mencari keberadaan Zoro.
***
"Ah, ini sangat menyebalkan kenapa sih aku juga harus ikut dalam perjalanan wisata ini? Tak bisakah aku hanya tenang saja di rumah dan menikmati masa liburanku dengan tenang?!"
Tidak ada yang suka bila masa liburan yang damai masih harus berurusan dengan teman-teman satu kelas. Apalagi untuk seorang Nagisa yang introvert. Kedamaian di dalam kamar tanpa diganggu oleh siapapun adalah kesenangan dan surga tersendiri.
Nagisa hanya bisa mengomel sembari memasukan pakaian ganti dalam tasnya. Sebenarnya, tidak ada pemberitahuan tentang itu. Ia hanya sedang berjaga-jaga saja. Sudah pasti ada beberapa siswa yang 'sedikit' lebih nakal untuk membuatnya basah.
"Duh … sudah pasti mereka akan membuatku terpaksa menjadi basah kalau seperti ini. Kenapa juga harus ke pantai, sih? Menjengkelkan sekali!"
Lagi dan lagi, mulut gadis itu terus mengeluarkan kata-kata yang tak senang. Sampai-sampai, ia tak menyadari bila seseorang sedang memperhatikannya sedari tadi.
"Mau sampai kapan kamu mengeluh terus, heh?! Cepatlah berkemas! Ibu heran, sedari tadi … hanya suaramu saja yang kedengaran tetapi tidak ada tindakan yang selesai. Sebenarnya niat mau pergi enggak, sih?"
Wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu gadis itu terus berceloteh.
Alih-alih mendengarkan, Nagisa memilih untuk menggunakan headset di telinganya. Ia melanjutkan untuk berkemas sebelum akhirnya menuju ke sekolah. Di sana, bis yang akan membawa mereka sudah menunggu.
"Oi! Nagisa!"
"Cih, seperti biasa, Rendi dengan segala semangatnya kalau tentang karyawisata sekolah. Ugh! Ada ya, orang yang suka membuang waktu luang dengan panas-panasan?" batin gadis itu. Ekspresi wajahnya sangat datar, tidak memperlihatkan sedang kesal ataupun senang.
"Nagisa, duduklah di sampingku. Akan lebih aman seperti itu …."
Sesaat setelah Rendi mengatakannya, gadis itu lebih memilih pura-pura tertidur saja.
"Ini akan menjadi sebuah perjalanan yang sangat panjang. Mungkin kamu memang sangat lelah. Tidurlah …."
Itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar sampai akhirnya ia mendengar suara teman-temannya satu per satu menghilang dari sana. Bahkan, ocehan Rendi juga menghilang. Nagisa menjadi sedikit takut. Apa dia benar-benar tertidur dalam kepura-puraan? Ataukah sudah terjadi sesuatu selama perjalanan sampai seperti ini?
Tangan Nagisa mencoba meraih seseorang di sampingnya. Kosong! Pikiran sudah mulai tidak karuan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk membuka mata dan menemukan bila hanya dia seorang di sana.
Deg!
Deg!
Deg!
Dalam kesunyian itu, jantungnya bahkan terasa berdebar jauh lebih kencang. Ini terlalu menakutkan. Tidak ada siapapun di sana. Lebih lagi, ia merasakan pusing karena menyadri bila bis tadi sudah melayang entah mengapa. Mata Nagisa menyaksikan semua itu. Sebuah pemandangan yang mengagumkan sekaligus mengerikan.