Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Tet ...
Dengan mata masih terpejam ku gapai ponsel yang berdering di samping tempatku terbaring. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. Tuntutan kerjaan membuatku harus kerja lembur tiap hari
"Sayang, ini aku. Apa kamu sudah bangun?" suara seseorang di seberang telpon membuatku terhenyak. Suara yang begitu sangat kurindukan. Seseorang denga suara khasnya serak-serak basah.
Tut ...
Entah sengaja atau tidak panggilan itu tiba-tiba terputus. Tidak mau munafik, ada degup keras di jantungku mendengar suara di seberang telpon, entah sudah berapa lama suara itu tak terdengar. Buru-buru aku cek kontak WhatsAap, kulihat nomerku yang terblokir sudah terbuka.
"Mau apalagi manusia itu?" gumamku pelan sambil beranjak dari tempat tidur. Hampir sebulan lebih manusia brengsek itu menghilang bahkan sengaja memblokir kontak WhatsAap aku.
"Tenang Ve, tenang," ucapku dalam hati. Sambil menarik dan menghembuskannya, agar kemarahanku mereda.
"Seandainya kamu tidak punya masa lalu itu, seandainya kamu tidak punya status itu dan seandainya selisih umur kita masih bisa diperbaiki, aku tidak mungkin akan menyakiti kamu selama 6 tahun!"
Ucapan itu berapi-api tanpa titik koma bahkan berderu dengan nafasnya antara marah, sedih nangis, dan terisak.
Aku tercenung, terpaku, terdiam bahkan tak terucap satupun kata dari mulutku. Hanya saja hatiku dari tadi komat- kamit tanpa henti bahkan air mataku pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut berpartisipasi melelehkan kristal beningnya.
"Kamu pikir aku mau punya status sperti ini, kamu pikir aku mau punya masa lalu seperti ini, dan kamu pikir siapa yang perduli mencintai orang dengan selisih perbedaan umur yang begitu banyak!" teriakku dalam hati tapi mulutku terkatup rapat-rapat, hanya suara isak tangis mulai terdengar dari bibirku.
Yah! Itu pembicaraan sebulan kemarin sebelum lost contact dengan dia, Farhan. Seseorang yang bisa dibilang orang yang menempati posisi teratas di hatiku mulai dari 6 tahun yang lalu.
Pasti banyak yang tidak menyangka hubunganku dengan Farhan itu terbentang jarak bermil-mil. Bukan hanya LDR, tapi hubungan kami hubungan virtual, yang hanya dipertemukan lewat gadget dengan vc. Tapi hubungan ini bisa dibilang sudah sampai tahap serius. Hanya saja, semua kandas karena status yang aku miliki.
Aku bukan wanita yang sempurna lagi. Aku hanya wanita yang punya masa lalu kelam, dan status yang dipandang sebelah mata oleh semua orang.
Aku hanya wanita bekas orang, yang sangat mustahil bisa diterima di dalam keluarga yang berkasta dan bermartabat, apalagi aku hanya orang dari kasta susah.
Tet ...
Aku terhenyak mendengar ponselku berdering lagi. Rasanya sudah capek aku bertengkar dan ribut terus sama dia. "Apa lagi?" suaraku serak setengah menjerit.
"Sayang, maafin aku, ini memang kesalahanku, aku minta maaf," suara di seberang panik. Tapi kepalaku sudah berdenyut-denyut tak karuan.
"Itu lagi-itu lagi, selalu minta maaf," desisku sambil mengusap wajahku yang keruh. Aku terlalu bodoh, selalu memberikan maaf buat dia.
"Sudahlah, kita perjelas saja semua, aku capek begini! Kita sudahi saja hubungan tidak jelas ini,"
"Tapi, Sayang,"
Tut ...
Dalam sekejab aku tutup telfon itu. Yah, semua harus diselesaikan, biar rasa menggantung ini cepat kelar. Tidak ada lagi yang harus ditunggu dan diharapkan. Sungguh rasanya capek sekali dengan hubungan virtual ini. Enam tahun tak bertujuan, semua ngambang, nggantung tidak ada kepastian.
"Aku tidak mau putus, aku tidak sanggup kehilanganmu!" suara itu melengking keras. Bernada panik dan ketakutan. Sesaat aku terdiam membiarkan suasana itu hening. Mencoba membiarkan hati kami masing-masing bicara sendiri.
"Sebenarnya, mau kamu apa sekarang? Sudah jelas kita tidak bisa bersama. Dari awal, semua permasalahan ini hanya kamu yang bisa menyelesaikan, kamulah yang jadi kunci dari hubungan kita."
"Aku tahu, tapi intinya saat ini aku tidak mau hubungan kita berakhir."
"Egois!" celetukku menyambar ucapannya. Huh, kuhembuskan nafas dalam-dalam sambil terisak. Apa mungkin akan begini terus?
Terdengar tarikan nafas berat dari seberang telfon. Lama dia terdiam, membuatku jengah menunggunya.
"Kasih kesempatan aku lagi, Sayang. Aku mohon--"
Suara itu menghiba membuat hatiku menjadi lemah. Aku kembali menghela nafas dalam-dalam, mendegar permohonan itu. Mungkin ini sudah gila, dalam waktu 6 tahun aku selalu dicampakkan, digantung, bahkan aku sadar mungkin di sana dia punya wanita lain, atau bahkan aku hanya tempat pelampiasannya saja. Tapi entah kenapa aku masih memaafkan dan mengharapkan masa depan bersamanya. Aku masih setia di sini menunggunya, padahal secara logika itu hal yang tidak mungkin banget, aku bisa memilikinya. Berkali-kali aku tersakiti, tapi aku masih saja menjadi wanita bodoh, dengan menunggunya di sini. Inikah yang dinamakan cinta itu buta?
Enam tahun yang sia-sia. Menjadi korban hubungan virtual. Karena kecanggihan teknologi di zaman milenial membuat orang naif dan bodoh seperti aku, terjerembab ke dalamnya. Aku memang hanya wanita kampung, yang tidak memiliki kelebihan apapun. Apalagi dengan status yang aku sandang, semakin membuatku kelihatan hina.
"Bodoh!" desisku sambil mengepak-ngepakkan tanganku ke kepala. Melampiaskan sesuatu yang ada didalam hatiku.
"Sayang," panggilan di seberang telfon itu membuatku tersadar. Mengembalikan alam sadarku, sudah berapa lama aku mengabaikannya tadi.
"Hem," jawabku datar. Jangan marah lagi, ya?" lanjutnya. Aku hanya menghembuskan nafas panjang. Aku mengangguk pelan seraya menjawabnya. Membuat seseorang yang di sana mungkin sedikit lega.
******
"Selamat Pagi,"
"Pagi kak Move," jawab seseorang dari kejauhan. "Mata sudah kayak mata panda, Kak. Begadang lagi apa nangis lagi?" lanjut seseorang itu sambil nyengir.
"Hush!" ngeledekin orang tua aja. Balasku singkat. "Rei, hari ini kamu yang bertugas ke lapangan, kan?" tanyaku .
"Iya Kak, kenapa?"
"Oh, tidak kenapa-napa sich, kita sama-sama saja, hari ini ada hitung stok, Aku yag bertugas." jawabku menjelaskan.
"Ok, Kak,"
Begitu pembicaraan kami pagi ini. Sudah menjadi rutinitas setiap hari. Di sinilah aku bekerja memenuhi segala kebutuhan keluargaku. Meskipun pahit rasanya, tapi tidak munafik selama 9 tahun ini, pekerjaan inilah yang bisa membuatku melanjutkan nafas kehidupanku (sedikit lebay).
"Move!"
Aku menoleh mendengar panggilan itu. Kulihat manager keuangan sedang mengecek hitung stok di divisi kami. Sesekali dia mengerutkan kening sambil mengetuk-ngetukkan pena ke atas meja.
"Kamu tidak salah hitungkan, kok selisihnya banyak sekali?" suara itu bernada serius sambil terus melihat ke arah laporan pembukuan.
"Tidak, Pak! Saya sudah mengecek hampir 5 kali." jawabku sedikit panik sambil berkali-kali melihat pembukuan dan mencocokkan dengan barang.
"Tuhan! Apalagi ini? Kalau sampe laporan pembukuan tidak sesuai dengan hitung stok, yang ada pasti aku dipecat." ucapku dalam hati.
"Stok bulan ini banyak sekali yang kacau, Saya mohon tiap tim dan personal bisa bertanggung jawab atas pekerjaan masing-masing!" suara itu menggema, suara milik manager keuangan yang menjelaskan hasil kerja kami bulan ini. Suaranya yang lantang kadang membuat kami menunduk segan.
Sudah 9 tahun aku jadi superviser di perusahaan ini. Hampir tiap bulan selalu mengganti barang yang kurang. Heran juga aku, kemana barang-barang yang hilang itu. Setiap bulan pasti hitung stok tidak pernah sama dengan laporan pembukuan. Aku menggeleng- gelengkan kepala bingung.
Kuhembuskan nafas dalam-dalam, sambil menunduk. Terlihat kaki ramping dengan sepasang sepatu higheels sudah berdiri di hadapanku.
Kutatap dalam-dalam wajah itu, wajah yang sudah tak asing lagi. Seseorang yang sering muncul di media sosialku. Dan entah orang ini siapa? Seperti seorang paparazi. Aku sendiri tidak tahu dari mana dia dapet nomorku. Yang pasti orang ini punya maksud tertentu.
Dia cantik, nama nya Feronika Alfarest dengan tinggi badan 165 cm terlihat sangat proporsional. Wanita itu sangat cantik dan terlihat masih sangat muda dibandingkan diriku. Pagi ini, aku terima laporan bahwa dia karyawan baru di kantor ini sebagai superviser juga. Bahkan sebelumnya, dia sudah menjadi seseorang paparazi. Bisa muncul kapan saja di media sosial ku.
Ada beberapa kemungkinan paparazi ini bisa ada di sini sekarang. Mungkin dia ada hubungannya dengan Farhan, atau malah dengan si bos yang ya, ampun arogantnya minta ampun. Sembilan tahun kerja di sini, hanya beberapa kali saja aku bertatap muka. Karena memang kantornya di kantor pusat.
"Kita ada urusan yang akan panjang buat diselesaikan! Jadi, Aku harap mulai detik ini kamu persiapka n diri ksmu untuk menerima kenyataan yang mungkin tidak sesuai harapanmu."
Suara itu tepat di telingaku. Aku terkejut, kutatap pemilik suara itu. Dia, wanita cantik itu, tenang menatapku. Aku masih berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaanku. Sebenarnya, siapa perempuan ini. Kenapa bisa kenal denganku?
"Sebenernya, kamu siapa, apa tujuan kamu ada di kantor ini, dan dari mana kamu kenal aku sebelumnya? Kenapa tiba-tiba bisa mengenalku. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" ucapku panjang lebar.
Pertanyaanku yang bertubi-tubi itu tak satupun dijawabnya, bahkan dia meninggalkan aku dengan senyuman sinis, yang membuat aku memaki dalam hati.