Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Yang Tertunda

Hasrat Yang Tertunda

Bianca Lazuardi

5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
61
Bab

"Istri?" Megan mengerutkan keningnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Wajah dingin itu tersenyum sinis. "Ya. Kamu adalah istriku." *** Megan White-seorang scriptwritter film dan drama populer harus merelakan hidupnya yang damai, berubah seketika 360° dalam satu malam setelah kecelakaan yang menimpanya. Secara tiba-tiba ia terbangun di ranjang sang miliader dan menyandang status sebagai nyonya di istana Riley Charles.

Bab 1 Kecelakaan

Megan White duduk di sudut ruangan cafe Au lait, di temani laptop dan ponselnya. Ia mengenakan kaus putih berleher panjang yang dilapisi bomber biru gelap, menambah volume di tubuh kurusnya. Meg-begitu biasanya dia disapa, memilih wash jeans warna senada sebagai bawahan dan menambahkan topi putih dengan lambang NY, menekuk dalam, menutupi hampir separuh wajahnya.

"Kamu ingin mereka di ganti?" Baron-sang barista datang untuk menyapa customer VIP.

Megan mengernyit bingung.

Baron menunjuk piring dan cangkir di atas meja. Dia yakin dua hidangan itu tidak tersentuh sejak diantarkan pramusaji dua jam yang lalu.

"Oh," Megan tersenyum tipis begitu menyadari maksud Baron. "It's ok, Baron. Kamu tahu 'kan? Aku tidak suka sesuatu yang panas."

Baron mengangguk paham. "Kamu ingin sesuatu yang spesial untuk lunch?"

Megan berpikir sejenak. "Kurasa aku merindukan lasagna buatanmu." Matanya melebar begitu membayangkan tiap lapisan pasta ditutupi saus bechamel dengan potongan daging dan sayur.

Baron terkekeh geli. "Baiklah, aku mengerti."

"Oh," tahan Megan sebelum Baron beranjak dari tempatnya. "Jauhkan bawang putih dari makanan ku Baron." Pesannya.

Baron tergelak. "Kamu bukan bocah, Meg," ejeknya lalu bergegas meninggalkan Megan yang memasang wajah cemberut.

Megan kembali memusatkan perhatiannya ke layar laptop. Ia mendesah pelan begitu ponselnya kembali bergetar bersamaan dengan notifikasi baterai lemah. Megan mengalah, ia mengaktifkan airbuds di telinganya.

"Halo?"

[Meg, kamu di mana?]

Seperti yang Megan duga, suara yang muncul begitu ponsel terhubung bukanlah Nesa-asistennya, melainkan suara laki-laki bernama Derek.

"Bukankah aku sudah pernah memperingatkanmu tuan sutradara, berhenti menggunakan asistenku sebagai sandera," ujar Megan santai.

[Come on Meg, kamu tidak bisa begitu saja memutuskan kerja sama hanya karena masalah sepele.]

Megan mengernyit, kalimat Derek mengusik emosinya. Dia menutup layar laptop dan mengangkat cangkir ke bibirnya, menyesap espresso double shot di dalamnya.

"Dari awal aku sudah menekankan pada mu Derek, tidak ada perubahan apapun dalam naskahku," ucapnya tenang. Meredam emosi yang merangkak naik menuju pembuluh darah di otaknya.

Megan memotong ujung tiramisu, menikmati sensasi rasa manis dan pahit yang dihantarkan oleh signature dish cafe ini.

Megan mendengar desahan pasrah dari lawan bicara dan membuatnya menarik seulas senyum puas.

[Baiklah, aku menyerah Meg. Lakukan apapun yang kamu mau tapi aku mohon padamu segera ke lokasi.]

"Berikan ponsel pada Nesa," potong Megan. Dia tidak tertarik mendengar ocehan Derek lebih lama lagi.

[Meg.]

"Apa yang terjadi?"

[Para kru dan aktris menolak syuting, mereka sudah tahu kalau kamu keluar dari proyek ini.]

Suara Nesa setengah berbisik. Megan yakin Derek masih berada di sekitarnya.

"Baiklah. Dua puluh menit lagi aku tiba di lokasi," putus Megan.

Dia mendesah pelan, dari awal Megan sudah menunjukkan keraguan begitu tahu dia harus berkerja sama dengan Derek. Laki-laki itu di kenal sebagai sutradara yang kerap semena-mena dan senang mengutak-atik naskah sesuai keinginannya.

Selama ini Derek bekerja sama dengan penulis pemula, sehingga mudah baginya menekan para penulis muda itu. Membuat mereka hanya bisa pasrah dan menerima dengan berat hati saat karya yang mereka tulis dengan jerih payah berubah menjadi film murahan beraroma dewasa menjurus pornografi dalam setiap scene dan hanya di putar menjelang tengah malam dengan label rate 21+.

Sayangnya, untuk kali ini Derek harus bertemu Megan yang menolak mentah-mentah rancangan dari setiap adegan yang diaturnya. Bagi Megan, karyanya harus bisa di nikmati oleh penonton secara visual maupun audio. Megan mengedepankan alur cerita yang menarik dan bernilai, tidak hanya mengandalkan adegan berlendir yang memancing minat kalangan tertentu.

Pertikaian antara penulis dengan sutradara tidak dapat dielakkan hingga produser harus turun tangan. Akhir dari adu argumen di menangkan oleh Megan yang pada dasarnya didukung penuh oleh produser dan para investor.

"Mau kemana?" Tanya Baron begitu melihat Megan meninggalkan mejanya.

"Aku harus ke lokasi."

"Tunggu sepuluh menit lagi, lasagna mu segera siap. Kamu bisa membawanya dan makan di lokasi."

Megan menggeleng. "Tidak usah, aku tidak ingin berbagi dengan mereka. Letakkan di ruangan saja, aku akan memakannya saat pulang."

Kondominium Megan tepat berada, di lantai tiga gedung ini. Lebih tepatnya dia pemilik gedung berlantai tiga di mana lantai pertama dijadikan cafe yang di kelola oleh Baron sedangkan lantai kedua sebagai kantor sekaligus ruangan Baron.

"Baiklah, hati-hati," pesan Baron. "Kabari aku kalau kamu pulang."

Megan mengangguk kecil lalu melambai sebelum keluar dari cafe. Dia menuju mobilnya yang di parkir tidak jauh dari lokasi cafe. Sebelum menginjak pedal gas, Meg menyempatkan diri melihat penampilannya dari pantulan kaca spion tengah. Tidak ada yang istimewa, cukup untuk menggambarkan wajah yang belum tidur selama dua malam. SUV Crossover berwarna biru metalik milik Megan bergerak cepat membelah jalanan beraspal rata.

Konsentrasi Megan terusik begitu ponsel yang disematkannya pada car holder bergetar. Ia melirik nama di layar, Nesa kembali menghubunginya.

[Meg, kamu sudah berangkat?]

"Ya, aku OTW."

[Meg, para investor datang untuk mengecek lokasi syuting. Kurasa mereka sudah mendengar kabar tentang syuting yang tertunda dan sekarang Derek sedang menjelek-jelekkan mu di depan mereka.] Nada suara Nesa terdengar emosional saat menyebut nama Derek.

Meg terkekeh pelan. "Biarkan saja."

[Ah, Meg! Kamu tidak melihat wajah menyebalkan Derek saat menyebut nama mu.]

"Itu bukan pertama kalinya terjadi," batin Megan geli.

"Aku hampir sampai, lima menit lagi." Megan melirik layar maps di LCD mobil.

"Ok," sahut Nesa semangat.

Megan memutuskan sambungan ponsel. Keningnya mengernyitkan heran, melihat sebuah sedan merah melaju zig-zag tidak berarah dari arah yang berlawanan. Megan membunyikan klakson berkali-kali untuk menyadarkan supir yang mungkin tertidur di balik kemudi namun tidak ada respon. Megan membanting setirnya ke kanan untuk menghindari sedan merah yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya

[Ciettt ...]

*****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku