Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menikahi Om-Om
5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
10
Bab

Najla Grizella Rummie tidak pernah menyangka hidupnya yang sempurna dan bahagia akan berubah secepat itu. Kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan sewaktunya SD, membuatnya tumbuh menjadi gadis yang manja dan suka memberi tantrum. Terlebih saat wasiat sang ayah yang menikahkan dirinya dengan Ghailan Alam Faiq, teman sekaligus orang kepercayaannya, membuatnya merasakan hidup sebagai seorang istri tentara yang penuh dengan aturan.

Bab 1 Benci Om

Ghailan memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Wajahnya mengeras, sesekali melirik seorang gadis berseragam batik yang sesenggukan di sampingnya. Rasa lelahnya yang baru saja pulang latihan tak terasa lagi digantikan rasa marah pada gadis dengan seragam awut-awutannya.

"Najla tidak merokok, Om. Naj difitnah."

Ghailan menulikan telinga mendengar pembelaan gadis belia di sampingnya itu. Apa yang disampaikan guru BK gadis ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Ini kesepuluh kalinya dalam bulan ini Ghailan ke sekolah untuk menjemputnya di ruang BK dengan alasan yang kadang otak cerdasnya tidak bisa pahami. Bagaimana mungkin seorang gadis belia berwajah manis polos seolah tanpa dosa melakukan hal-hal luar biasa itu. Kedapatan bolos dengan memanjat tembok, berebut lipstick sampai cakar-cakaran, menghajar seorang cowok, mengempeskan ban motor guru, membakar buku perpustakaan, mencoret... Argh! Ghailan tak sanggup lagi mengabsen satu persatu ulah gadis ini.

"Naj-"

"Diam Najla. Om bilang, diam!" Ghailan menatap tajam gadis bernama Najla itu, gadis belia yang baru saja duduk di bangku SMA kelas 12 yang kini menjadi tanggung jawabnya dengan statusnya, Nyonya Ghailan Alam Faiq.

"Om jahat! Om enggak pernah dengar Najla. Naj benci om. Benci!"

Ghailan terkekeh sinis, "Om enggak peduli Najla."

Gadis di sampingnya itu semakin kesal. Ia tak segan melempar tas punggungnya pada Ghailan hingga mobil oleng hampir menabrak pembatas jalan.

"Najla!"

"Apa?! Om mau pukul?! Ini pukul! Najla benci sama, Om. Benci!" Najla mengarahkan wajahnya menantang Ghailan. Pria berseragam loreng itu hanya menghela napas. Ia menepikan mobil di pinggir jalan dan hanya diam membiarkan Najla memukulinya sesuka hati. Tenaga dari kepalan tangan gadis kecil itu tak berpengaruh sama sekali pada dirinya.

"Sudah?" tanyanya saat Najla tak lagi memukulinya, mungkin lelah sendiri karena jelas Ghailan tak merasa sama sekali harus menghentikan pukulan yang terasa seperti gelitikan itu.

"Najla benci, Om." Najla menangis sesenggukan, kesal karena Ghailan sama sekali tidak menanggapinya dengan serius.

"Nanti lanjutin di rumah. Bahaya kalau di jalan," ujar Ghailan lalu kembali memacu kendaraannya menuju salah satu kompleks mewah di mana Najla tinggal.

Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Satpam yang berjaga sudah menutup kembali pintu gerbang dan bergegas untuk membuka pintu rumah megah itu.

Ghailan melepaskan seatbelt yang membelit tubuh tegapnya lalu keluar dari mobil. Ia membuka pintu mobil samping dan tanpa beban mengangkat badan kecil Najla yang sudah terlelap setelah lelah menangis.

"Terima kasih, Pak. Tolong mobilnya dimasukkan dalam garasi," ucapnya pada satpam yang mengangguk patuh di depan pintu.

Ghailan masuk dalam rumah besar nan megah itu dengan Najla dalam gendongannya. Ia beranjak ke lantai dua setelah sebelumnya berpesan pada bibik untuk menyiapkannya makan malam.

Kamar yang didominasi warna pink dengan banyak tempelan gambar-gambar lelaki dari negara ginseng tertata dengan rapi. Ghailan membaringkan Najla dengan hati-hati. Tanpa sungkan melepaskan satu persatu kancing seragam Najla yang sudah berselancar di alam mimpinya. Setelah semua kancing terlepas, ia tak langsung melepaskan seragam Najla melainkan menaikkan selimut untuk menutupi badan gadis berumur tujuh belas tahun itu. Ghailan lalu berdiri membuka lemari dan mengambil sepasang piyama bergambar strawberry yang ada di tumpukan baju lainnya yang tersusun dengan rapi.

Ghailan menghembuskan napas kasar, menatap gamang sosok gadis remaja yang terlelap dalam bungkusan selimut. Jika saja keadaan ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia tak akan sebingung ini sekarang. Najla bukan lagi gadis berseragam merah putih yang bisa ia perlakukan sebagai anak sendiri. Najla seorang gadis belia dengan paras dan bentuk tubuh yang meskipun mungil tapi tetap saja terlihat pas pada bagian-bagian tertentu, yang menunjukkan bahwa ia tak bisa lagi sembarang menyentuhnya. Tapi bagaimana pun ia tak bisa membiarkan Najla tertidur dengan pakaian yang seharian ia pakai. Maka dengan ragu, disingkapnya selimut tersebut. Ghailan mengalihkan pandangannya ke tempat lain sedangkan tangannya melepaskan seragam yang membalut tubuh Najla. Setelah seragamnya terlepas, ia menggantinya dengan piyama kancing yang cukup memudahkannya menyelesaikan pekerjaan itu secepatnya. Ghailan menghembuskan napas lega setelah kancing terakhir terpasang dengan benar. Ditatapnya Najla dengan lekat sebelum kemudian meninggalkan kamar gadis itu.

***

"Najla belum turun, Bi?"

Bibi yang sedang menyiapkan makanan menggeleng.

"Belum, Pak. katanya non Najla mogok makan hari ini."

Ghailan menghela napas pelan, ia membalik piring lalu menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan dengan segelas air hangat di depannya. Ia baru saja selesai lari pagi. Saat ia bangun subuh tadi, Najla masih tertidur lelap.

"Dia sering begini, Bi?" tanya Ghailan setelah meneguk air putih di gelasnya.

"Baru kali ini, Pak. Dulu waktu masih ada tuan dan nyonya juga biasa begini, tapi nyonya selalu bawa makanan ke kamarnya," jelas bibi sembari menyerahkan jus apel pada Ghailan.

Ghailan mengangguk paham, kehilangan orang tua bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Kedua orang tua Najla yang merupakan seniornya telah tiada karena kecelakaan mobil sepulang dari mengantarnya ke bandara tujuh tahun lalu, ketika Ghailan akan berangkat ke Afrika sebagai pasukan pengamanan daerah konflik. Ia tidak mengetahui kabar meninggalnya dua sahabatnya itu sampai ia menelepon ke Indonesia di waktu luangnya. Perasaannya hancur mengetahui keadaan dua karibnya yang telah tiada tepat di hari keberangkatannya terlebih memikirkan putri mereka yang sangat muda, Najla.

Setelah selesai sarapan, Ghailan kembali ke kamar Najla. Ia membuka gorden yang menghalau sinar matahari menembus kamar gadis itu.

"Bi, jangan dibuka!" rengek Najla merasa terganggu dengan sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia mengambil bantal untuk menutup kepalanya. Selimut yang ia pakai sudah terjatuh ke lantai memperlihatkan tungkai putihnya yang hanya mengenakan rok abu-abu yang kini tersingkap setengah pahanya. Ghailan yang berdiri menyaksikan bagaimana gadis itu kembali menikmati tidurnya hanya bisa menggelengkan kepala.

Ghailan mendekati ranjang dan menurunkan rok Najla. Ia kemudian menarik bantal yang menutupi kepala Najla membuat gadis itu memerengut kesal.

"Bibi jangan rese deh," gumamnya kesal.

"Bangun!" Ghailan menyenggol kaki Najla.

"Ish!"

"Bangun atau om siram."

"Astaga tirani!" Najla terduduk dengan wajah bantalnya. Bibirnya memerengut kesal.

"Mandi lalu sarapan."

"Enggak!"

"Naj?!" tegur Ghailan penuh ancaman.

"Iya, ah! Bawel banget," semprotnya kesal. Najla beranjak dari ranjang dengan menghentak-hentakkan kakinya kesal menuju kamar mandi.

Ghailan yang sudah terbiasa dengan kekeraskepalaan gadis itu hanya bisa menghela napas lelah, menunggu gadis itu menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi yang akan sangat lama. Ghailan merapikan ranjang yang memiliki seprai pink itu. Setelah merapikan ranjang ia beranjak menuju meja belajar Najla, mengecek buku pelajarannya apakah terpakai dengan benar atau hanya berakhir menjadi pesawat-pesawatan seperti biasa. Ia cukup bangga saat melihat nilai-nilai gadis itu. Meskipun bandel, Najla adalah anak yang cerdas. Kecerdasannya sudah tentu mengalir dari DNA kedua orang tuanya yang merupakan orang-orang hebat yang sangat dihormatinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku