Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Lovely Angel

My Lovely Angel

Shasadewa

5.0
Komentar
423
Penayangan
72
Bab

Menikah dengan duda tampan kaya raya beranak dua bukanlah impian Renata. Tapi ia tak ada pilihan lain. Ia terpaksa melakukannya, demi mengubah julukan perawan tua yang ditujukan padanya serta menghindari kencan buta yang sering direncanakan sang ibu untuknya. Dafa Hutama, CEO tampan kaya raya dengan dua anak terpaksa menikahi Renata atas desakan ibu dan kedua anaknya. Ia terpaksa mengalah demi kedua anaknya yang sangat menginginkan Renata menjadi ibu sambungnya. Bagi Dafa tidak orang yang bisa menggantikan mendiang Arin di hatinya, sekali pun itu Renata. Bagaimana kisah si cantik Renata? kuy simak di setiap partnya!

Bab 1 Rumah Sakit Medika Hutama

Seorang dokter muda berparas cantik bernama Renata yang akrab dipanggil Ren oleh orang-orang sekitarnya kini telah resmi bekerja di rumah sakit Medika Hutama. Sebuah rumah sakit elit milik keluarga Hutama. Tak pernah terbayangkan oleh Renata bisa diterima bekerja di rumah sakit elit tersebut tanpa perantara ataupun promosi dari orang dalam. Berkat usaha dan kecerdasannya, ia mampu lolos dalam tes dan diterima bekerja di rumah sakit tersebut sebagai dokter anak.

Pagi ini, dengan langkah tergesa-gesa, Renata menyusuri lorong demi lorong karena ada seorang pasien baru yang membutuhkan pertolongannya.

"Semangat, Ren," ucap Renata sembari mempercepat ayunan langkahnya.

Saking semangatnya tanpa sengaja Renata menyenggol lengan seorang wanita paruh baya yang berjalan menunduk seperti sedang mencari sesuatu yang berada di dalam tasnya. Yap, wanita paruh baya tersebut mencari ponselnya. Namun naas, ponsel wanita tersebut terjatuh karena tersenggol oleh lengan Renata.

Brukk takkk

"Ma-maaf Bu, maaf kan saya tidak sengaja," ucap Ren merasa bersalah. Tangan Ren seketika langsung terulur ke bawah mengambil dan memeriksa ponsel si wanita paruh baya yang terjatuh akibat tersenggol olehnya.

Dengan muka ramah wanita tersebut justru tersenyum dan mengindahkan ucapan Renata karena ia juga merasa salah dalam hal tersebut.

"Tak apa, Dok. Saya yang salah karena terlalu panik mencari ponsel hingga tak melihat ada Dokter yang berjalan dari arah depan saya," ucap wanita tersebut dengan senyum ramahnya.

"Tidak ... Tidak, saya yang salah, Bu. Saya terlalu tergesa-gesa menyebabkan ponsel Ibu jatuh. Untung saja ponselnya tidak apa-apa, Bu. Sekali lagi maafkan saya ya, Bu," ucap Renata sambil mengelus punggung tangan wanita tersebut.

"Ahh ya ... maaf saya permisi dulu ya, Bu. Ada pasien yang harus segera saya tangani," ucap Renata sopan.

"Baik dokter ... silakan," jawab wanita ramah tersebut.

Renata mengayunkan kaki jenjangnya lebih cepat menjadi setengah berlari.

"Semoga saja aku tidak terlambat," batin Renata.

Sementara wanita yang Renata tabrak tadi masih diam di tempat memandangi punggung Renata berlalu. Wanita yang masih terlihat modis meski usianya tak lagi muda itu ternyata adalah Bu Anna, Ibu dari pemilik rumah sakit tempat Ren bekerja.

Namun meski Renata tak mengetahui siapa yang ia tabrak, Renata tetap ramah dan sopan, membuat Anna kagum pada sifat Renata.

Anna masih tercenung, ia mengingat-ingat wajah Renata, detik selanjutnya ia penasaran siapa dokter yang baru ia lihat tersebut. Anna mengira jika Ren adalah dokter baru hingga tak mengenali ataupun menyapa dirinya sebagai ibu si pemilik rumah sakit tempat ia bekerja.

"Cantik, baik, sopan dan idaman. Semoga Dafa mendapatkan jodoh yang seperti itu," gumam Anna sambil mengingat-mengingat senyum Renata.

Renata membuka knop pintu sebuah ruangan VVIP. Ia melihat seorang bocah laki-laki terbaring lemah di atas brangkar. Ia pun bergerak mendekat, diambilnya sebuah stetoskop yang ia simpan di dalam saku snelli-nya.

Renata memeriksa anak laki-laki tersebut, ia lantas mengambil sebuah termometer untuk mengukur suhu tubuh si bocah laki-laki tersebut. Ternyata anak itu mengalami demam tinggi.

"Maaf, Bu sejak kapan putra Ibu demam?" tanya Renata kepada seorang wanita paruh baya bertubuh gendut yang masih mengenakan setelan baju tidur.

"Sejak tadi malam, Dok. Den Kafa muntah-muntah dan panas badannya," adu wanita itu.

Renata mengangguk mengerti. Entah memeliki keberanian darimana, Ia lantas mengusap lembut pucuk kepala anak itu yang membuat sang empunya menggeliat dan membuka mata.

"Bunda," panggil Kafa.

"Den Kafa, apa Den Kafa lapar? Apakah Aden mengingankan sesuatu?" tanya perempuan tersebut.

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya lemah, ia menangis meronta hendak mencabut selang infus yang tertancap di tangannya.

"Aku mau pulang," rengek anak itu.

Dengan sabar dan telaten Renata membujuk anak tersebut agar mau diperiksa dan dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang lemah. Bukannya menjawab ia justru semakin kencang menangis. Beberapa kali anak laki-laki tersebut menangis dan memanggilnya "Bunda" yang membuat sesuatu di dalam hati Renata iba.

"Bunda ... bunda jangan pergi," rancau Kafa.

"Bunda, Kafa rindu bunda," ucap bocah laki-laki tersebut sambil menangis sesenggukan.

Seorang pengasuh meminta maaf, pengasuh itu mendekati Renata menjelaskan bahwa anak laki-laki tersebut sedang merindukan ibunya, ia ingin bertemu dengan ibunya.

"Maafkan Den Kafa, Dokter. Aden pasti sangat rindu dengan bundanya saat ini," ucap pengasuh tersebut tak enak hati.

"Memang bundanya kemana bu?" tanya Renata penasaran.

"Nyonya telah lama tiada, Dokter. Bahkan semenjak Aden masih bayi," beber si pengasuh.

"Oh ya ampun ... kasihan sekali anak ini," batin Renata.

Hati Renata merasa sakit mendengar cerita dari sang pengasuh. Ia berniat memberikan perhatian dan sedikit rasa sayang kepada anak laki-laki tersebut selama dirawat di rumah sakit. Setidaknya mungkin itu bisa sedikit mengobati rasa rindu kasih sayang seorang ibu yang belum pernah dirasakan oleh orang kecil bernama Kafa tersebut.

Dengan sebuah usapan lembut dari Renata Kafa akhirnya berhenti meracau dan tidur dengan pulas. Isak tangisnya pun perlahan melirih dan hilang. Renata pun pamit kepada sang pengasuh dan menitipkan sebuah pesan jika nanti Kafa masih demam dan muntah-muntah untuk segera memanggil dokter jaga, sang pengasuh yang diketahui bernama Ati pun mengucapkan terima kasih pada Renata.

"Jika nanti Kafa masih muntah atau demam tolong segera laporkan ke suster ya, Bu. Agar dokter jaga segera menanganinya," ucap Renata lembut.

"Baik, Dokter. Terima kasih banyak sudah membantu saya membujuk Den Kafa."

"Iya, Bu, sama sama. Baiklah kalau begitu saya pergi dulu, Bu."

Seorang wanita paruh baya dengan panik memasuki ruangan cucunya dan bertanya kepada sang pengasuh bagaimana kondisi sang cucu dengan sopan sang pengasuh menjelaskan keadaan anak majikannya tersebut.

"Kondisi Den Kafa sudah lumayan tenang, Nyonya. Tadi malam hingga pagi ini den Kafa demam tinggi dan tadi pagi menangis sambil mengigau memanggil manggil 'BUNDA' Nyonya. Untung tadi ada Bu Dokter baik yang mau membantu saya menenangkan Den Kafa," ucap Bi Ati.

"Dokter? Dokter yang mana Ati? Apakah Dokter yang sering menangani Kafa?" tanya Anna penasaran.

"Bukan, Nyah itu ... anu, sepertinya Bu Dokter baru di sini karena saya baru pertama kali melihat dokter anak tersebut Nyah," jelas Ati yang sering mengantar Kafa ke dokter.

Dengan cepat Anna sudah bisa menebak jika dokter baru yang dimaksud dengan Ati adalah dokter yang tidak sengaja ia temui tadi. Dalam hati Anna sempat berpikir ingin mengenalkan Dafa dengan dokter tersebut jika si dokter belum menikah namun pikirannya hilang begitu saja karena ia mengingat bahwa ia telah membuat janji untuk mengenalkan Dafa dengan anak sahabatnya.

"Ahhh semoga saja Dafa mau dan cepat menikah agar Kafa tidak seperti ini lagi," gumam Anna dalam hati.

"Do'akan ayah mu nak semoga ayahmu segera menikah agar ada seorang yang bisa kamu panggil bunda dan sayang denganmu Sayang," ucap Anna sembari mengelus puncak kepala Kafa.

"Amin semoga do'a Nyonya dikabulkan sama yang diatas. Kasihan Den Kafa, Nyah," kata Ati yang berdiri di samping Anna.

"Ati apa Tuan muda sudah kemari?" tanya Anna memastikan.

"Anu ... nggg belum Nyonya, Tuan Dafa belum kemari namun saya sudah memberitahunya," ucap Ati sambil menunduk takut.

"Anak itu benar-benar keterlaluan! anak sedang sakit tapi tetap saja masih bekerja. Awas saja jika tak segera kemari akan ku marahi dia," omel Anna kesal.

"Hanya karena mengagungkan kesetian cintamu, kamu sampai gila kerja," batin Anna.

"Ati cepat telpon lagi Tuan muda! Suruh dia segera ke rumah sakit!"

"Ba-baik nyonya." Ati yang mengetahui nyonya sedang kesal pun memilih diam dan menuruti semua permintaannya.

"Ahh ya satu lagi tolong suruh sopir menjemput Shafa tepat dan antar langsung ke rumah saya."

"Iya nyonya."

Ati segera melakukan panggilan dan mengirim pesan kepada Tuan mudanya sesuai dengan instruksi yang telah diberikan nyonyanya.

Anna menatap sendu ke arah bocah kecil yang sedang terbaring di brankar. Jika bisa, Anna ingin sekali menggantikan sakitnya karena Anna tak tega melihat keadaan Kafa seperti ini.

Anna sangat menyayangi cucunya tersebut. Ia bahkan rela melakukan apapun hanya untuk membuat kedua cucunya bahagia. Anna mengusap punggung tangan Kafa sambil menghujaninya dengan kecupan kecil. Ia menatap lamat-lamat wajah pucat itu, lalu mengulurkan tangannya membelai lembut pipi Kafa.

"Kafa sayang sembuhlah, oma kangen banget bercanda sama kamu nak." Anna mengusap lembut punggung tangan cucunya.

"Oma mohon Kafa kuat, sabar ya nak insyaallah oma segera mencarikan ayahmu pendamping agar ada yang memanjakan Kafa dan ada yang Kafa panggil bunda," ucap Anna lirih sambil menitikan air mata.

Sungguh hati Anna sedih sekali melihat Kafa terbaring lemah seperti ini. Bagaimana bisa bocah seriang Kafa ternyata menyimpan rasa sedih mendalam terhadap sosok mendiang Bundanya yang selama ini tak pernah ia katakan kepada siapapun. Kafa tergolong anak yang periang namun siapa sangka di balik keriangannya ia menyimpan kerinduannya akan sosok yang ia sering panggil bunda.

"Arin ... mama mohon bantulah Dafa untuk membuka hati agar Kafa dan Shafa memiliki sosok Bunda sambung yang dapat menyayangi dan memberinya perhatian," monolog Anna diam-diam menghapus jejak air matanya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Shasadewa

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku