Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
My Lovely, Ajeng

My Lovely, Ajeng

ArgaNov

5.0
Komentar
74
Penayangan
7
Bab

Walau pun berstatus istri sah, Ajeng tak pernah disentuh suaminya. Saat perjuangan Ajeng untuk menjadi istri berada di puncaknya, sang suami malam menikah dengan sahabat Ajeng. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah tak pernah dianggap, malah dikhianati pula. Andai saja Ajeng bisa bangkit, pilihan manakah yang akan diambilnya? Bolehkah Ajeng hidup bahagia?

Bab 1 Ajeng

Dhiajeng mengerjap tak percaya. Ia terpaku di pintu dan tak mampu bergerak lagi. Telinganya berdenging hebat. Hatinya menjerit dan memaki. Apa salahnya dirinya, apa kurangnya selama ini ia menjadi seorang istri. Ia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Ia tak akan sanggup bertahan jika tak berbuat apa-apa. Setelah meyakinkan diri jika yang dilakukan ini adalah benar adanya. Dhiajeng mendorong pintu hingga terbuka lebar. Dua orang yang ada tadinya sedang memadu kasih terlonjak kaget. Tidak menyangka jika akan mendapatkan penggunjung.

"Mas nggak nyangka aku ke sini, kan?" Ia berkata dengan tenang walau tak dipungkiri jika suaranya bergetar. Dilirik wanita yang berdiri canggung dengan tatapan kaget di sisi kiri suaminya. "Tidak menyangka hingga melakukan hal menjijikan ini di kantor." Dhiajeng kembali melihat suaminya.

"Kamu salah sangka Ajeng, Izha tadi hampir terjatuh makanya aku membantunya." Suami Dhiajeng berkelit. Peluh dingin membasahi dahi pria itu kini.

Terjatuh dan kemudian kalian berciuman." Dhiajeng menambahkan pejelasan. "Jika aku tidak datang, kamu akan bercumbu dengan wanita jalang ini." Ia tak lagi menyembunyikan kemarahannya. Sudah tidak sanggup lagi Dhiajeng pura-pura tak tahu. Ia sudah tak sanggup hanya menjadi pajangan untuk suaminya.

"Maaf, Pak, Bu, saya-saya mohon diri." Sekretaris suaminya yang bernama Hafizha itu mohon diri. Wajahnya terlihat ketakutan dan binggung.

"Tidak. Jangan ke mana-mana. Tetap di sini." Dhiajeng tidak ingin lagi menjadi boneka cantiknya yang selalu bahagia. "Mas, kamu harus memilih sekarang. Kamu pilih dia atau aku?" Matanya berair saat mengatakan itu. Jantungnya berdegup kencang dan perasaan cemas semakin kuat.

Suami Dhiajeng menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Hafizha sedang hamil anakku." Pria itu memberitahu Dhiajeng.

Dhiajeng tertawa. Hancur sudah pernikahan yang sudah hampir tiga tahun ia pertahankan. Hilang sudah cinta yang berusaha ia bangun dari nol. Ia dicampakan begitu saja. Dhiajeng mundur perlahan. Ia telah diusir dengan hanya satu kalimat. Dalam dunia suaminya-Aldo-Dhiajeng tak lagi memiliki tempat.

"Ajeng." Hafizha sang wanita kedua memanggil Dhiajeng pelan.

"Biarkan dia pergi." Aldo berkata dingin.

Sekali lagi Dhiajeng terusir dan rasanya semakin menyakitkan.

***

Ersya melihat wanita itu sekilas tadi ketika masuk ke gedung perusahaan. Matanya basah oleh air mata. Tanpa pikir panjang Ersya berlari menggejar. Pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk. Selama perkenalan mereka yang singkat tak sekali pun Ersya melihat gurat ekspresi lain selain kebahagiaan di wajah wanita bernama Dhiajeng itu. Matanya yang indah selalu berbinar dan penuh cinta. Itulah yang membuat Ersya bertahan untuk menggurus Kerjasama yang sejak awal dirasa Ersay tak menguntungkan. Tak mengapa merugi sedikit, ia ingin menikmati tatapan indah yang membuatnya bahagia.

"Dhiajeng!" Ersya memanggil. Wanita itu terus saja berjalan tanpa menoleh. Apakah panggilan Ersya kurang keras untuk didengar. "Ajeng!" Kali ini Ersya berteriak hingga ternggorokannya nyeri. Masih saja Dhiajeng berjalan, Ersya mempercepat langkahnya. Ia berhasil menggejar dan menangkap tangan Dhiajeng.

"Lepaskan aku!" Suara Dhiajeng parau. Ia menyentak peganggan tangan Ersya hingga terlepas. Namun, ia tak serta merta melanjutkan langkah kakinya. Bahunya naik turun menahan tangis. Air mata berurai lebih deras.

"Ajeng, kamu ...." Ersya tak bisa menjelaskan betapa ia ikut terluka melihat Dhiajeng terluka.

"Aku dicampakkan Ersya. Aku dibuang bagai mainan lama." Dhiajeng mengungkapkan perasaannya. Ia menunduk lebih dalam. Bahunya naik turun semakin cepat.

Ingin rasanya Ersya merengkuh Dhiajeng ke dalam pelukannya. Mengatakan jika masih ada dirinya di sini. Tetapi, posisinya benar-benar sama sekali tak menguntungkan. Ersya tetap saja hanya orang lain dalam pernikahan Dhiajeng. Ia menahan diri untuk tak melakukan hal itu susah payah.

"Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?" tanya Dhiajeng dengan suara parau. "Rasanya sakit sekali."

"Kamu bisa membalasnya jika mau. Sebelum itu kamu harus berhenti menangis." Ersya berkata dengan sungguh-sungguh.

"Bisakah?" Rupanya mendengar hal itu Dhiajeng tertarik. Ia sepertinya ingin membalas semua rasa sakit yang didapat. "Aku ingin menghancurkan mereka." Dhiajeng menghapus air mata dengan punggung tangannya. Memandang Ersya dengan sungguh-sungguh.

Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan dunia, akan kulakukan, batin Ersya yakin. Ia akan membantu Dhiajeng walau dirinya sendiri harus hancur.

***

"Pagi, Mas." Dhiajeng tersenyum sambil menatap anak tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

Seorang pria berjalan pelan sambil mengancingi lengannya dan tersenyum menatap Dhiajeng yang tengah sibuk di meja makan. Satu kecupan melayang di kenig Dhiajeng sebelum pria itu mendudukan diri di kursi dan menikmati pelayanan wanita cantik nan telaten ini. "Kopinya selalu harum," pujinya setelah menyesap cangkir porselen yang mengguap.

"Seperti kesukaan Mas tentu saja." Setelah selesai menata keperluan suaminya-Aldo-Dhiajeng duduk pada sisi kanan. Menikmati dengan tenang teh yang ia siapkan untuk dirinya sendiri. "Semuanya lancar saja di perusahaan, kan, Mas?" Dhiajeng bertanya, berusaha menjadi teman mengobrol yang baik untuk sang suami.

Aldo mengangguk. Cangkir kopinya sudah kosong. Ia bernapas dalam dengan pelan. "Baik, kita mendapatkan penawaran kontrak yang bagus minggu depan dari perusahaan asing." Aldo mengingat-ingat informasi yang diberikan sang sekretaris sebelum resign. "Sayang sekali Ade harus mundur setelah menikah," sesalnya.

"Masih belum ada yang cocok dengan kriteria Mas?" Dhiajeng terdengar khawatir. Walau tak pernah bekerja di bidang itu, ia tahu betapa penting tugas seorang sekretaris. Setelah selesai dengan kuliahnya, Dhiajeng langsung dinikahkan keluarganya dengan Aldo. Namun, kini Dhiajeng begitu mencintai Aldo. "Andai aku bisa bantu Mas."

Aldo tersenyum. Menyentuh pipi marun Dhiajeng. "Kamu sudah banyak membantu dengan membuatku rileks saat berada di rumah." Aldo berdiri, jam menunjukan pukul 7.00. "Mas berangkat, ya, hati-hati di rumah," ingat Aldo seperti biasa pada Dhiajeng.

Dhiajeng mengangguk. Ia membawa tas suaminya hingga pintu depan rumah dan sekali lagi menerima kecupan di kening. Sampai mobil sang suami menghilang, barulah Dhiajeng masuk kembali ke dalam rumah.

***

Dhiajeng menatap dua sahabat karibnya yang ribut menentukan gaun yang cantik untuk dipakai bersama. "Masih belum bisa nentuin yang paling bagus?" pancing Dhiajeng.

"Kemarin udah. Ini si Marimar bilang modelnya kuno dan ngancem nggak mau makai ke pernikahanku," adu Septina pada Dhiajeng yang hanya tersenyum kecil menyaksikan ekspresi lucu sang calon pengantin. "Bilangin nih sama temanmu yang banyak gaya, Jeng," tambah Septina. Ia menyandarkan punggung pada sofa warna krem dan bersidekap.

"Coba mana aku lihat?" Dhiajeng menggulurkan tangan, meminta brosur majalah Bridal yang mereka sengaja beli tiga bulan lalu untuk menentukan gaun pengiring pengantin. Septina ingin kedua temannya menemani saat ijab kabul dan juga resepsi dengan gaun yang senada dengannya. Selama beberapa saat Dhiajeng membalik majalah, matany terpesona pada gaun cantik berwarna pink sedikit keungguan. Gaya yang simple dan tidak menghilangkan kemewahan pada pakaian pengantin. "Yang ini gimana?" usul Dhiajeng sambil meletakan majalah di tengah meja.

Kedua temannya terlihat menjulurkan leher untuk melihat. Beberapa detik mereka menilai. Detik kemudian hampir bersamaan mereka berseru. "Nah, bagus yang ini!" serempak mereka berkata.

"Untung ada Dhiajeng yang seleranya level dewi." Teman Septina dan Dhiajeng yang bernama Hafizha mengangguk-angguk puas.

Septina geram, dicubitnya gadis yang baru bicara di sebelahnya dengan keras. Hingga hafizha terpekik dan banyak mata melihat mereka. "Ngomong sembarangan, kamu tuh yang banyak masalahnya," runggut Septina. Bibirnya maju-maju menggemaskan saat bicara.

"Septina udah on going ini, kamu kapan Hafizha?" Dhiajeng menaikkan alis ketika bertanya. Diantara mereka bertiga hanya Hafizha yang sampai saat ini tak jelas hubungan percintaannya. Kadang-kadang Dhiajeng mendengar selentingan kabar jika sahabatnya itu telah memiliki pacar. Lalu beberapa waktu kemudian ketika akan menanyakan kebenaran kabar itu, kabar lain datang, jika ia sudah putus. "Kamu nyari kriteria cowok kayak siapa, sih?" tanya Dhiajeng penasaran.

Septina duduk anteng sambil menyeruput minuman lecinya. Ia mendengarkan obrolan dua teman di depannya. "Iya, sebenarnya kriteria kamu kayak apa? Mungkin ada kenalan suaminya Dhiajeng dan calon suamiku nanti yang sesuai. Kan, kami jadi bisa nyomblangin kamu." Septina tidak mau kalah soal ini. Dahulunya ia takut sekali paling telat menikah, kini ketakutannya adalah menyaksikan salah satu sahabatnya menjadi perawan tua.

Hafizha menerawang. Ia sendiri hanya memakai rasa ketika pacaran dan tidak benar-benar dibawa serius. Ia masih terlalu menyukai kebebasan yang sedang dijalani kini. Fokus pada karir, begitu orang tuanya berkata. Karir yang harus ia tunda sebentar sebab perusahaan tempatya bekerja sedang menggalami pailit. "Yang bisa bikin aku jatuh cinta," jawabnya sekenanya.

Jelas Dhiajeng dan Septina bersorak. Kalimat Hafizha adalah impian setiap gadis. Bhulshit jika ada gadis yang menggatakan tak ingin menikahi pria yang dicintai. Septina beruntung, Dhiajeng harus merelakan untuk pelan-pelan jatuh cinta pada suaminya. "Serius, dong, Izha," ujar Dhiajeng kesal.

Hafizha terkekeh. "Pokoknya, baik, mapan, tampan ...." Pada kriteria tampan Hafizha terkekeh disusul teman-temannya. "Pokoknya kayak-kayak suamimu itulah Dhiajeng." Ia lebih memilih mencari figure paling dekat yang biasa dibayangkan semua orang.

"Emang suami Dhiajeng itu numer uno," tambah Septina sedikit meniru iklan minuman cappuccino di televisi. "Eh, tunggu-tunggu ... jangan-jangan kamu naksir mas Aldo, ya," goda Septina sambil menaik turunkaqn alisnya.

Dhiajeng tersenyum, ikut menggoda. "Beneran? Kalau buat kamu ambil, deh, ambil. Uhuk." Tawa Dhiajeng renyah menggoda.

Wajah Hafizha memerah perlahan. "Enggak makasih. Nanti Dhiajeng marah nggak mau temenan lagi sama aku," tolak Hafizha sangat berwibawa mengikuti gurauan sahabt-sahabatnya.

Mereka tertawa bersama setelahnya.

Dhiajeng meraih minumannya sendiri dan menyesapnya peralahan. Mengambil sepotong kentang goreng dan mencocol dahulu ke dalam saus sambal sebelum memasukan ke dalam mulut.

"Kamu sudah ketemu pekerjaan baru, Zha?" Septina bertanya sambil memandang Hafizha.

Gadis yang ditanya menggeleng perlahan. "Belum. Sekarang perusahaan banyak menerima fresh graduate, orang baru." Hafizha mendesah lemah.

"Dahulu kamu sekretaris, kan, Zha?" tanya Dhiajeng. Ditunggu sampai kepala Hafizha mengangguk mengiyakan. "Coba nanti aku tanya Mas Aldo, mudah-mudahan lowongan sekretarisnya masih kosong," tawar Dhiajeng. Akhirnya ia bisa membantu suaminya itu. Hafizha pasti tidak akan mengecewakan dirinya.

"Beneran?" Binar kebahagian terpancar di mata Hafizha. Senyum cerah gadis itu menggembang.

Dhiajeng mengangguk perlahan. "Asal jangan digaet saja masku nanti," godanya. "Kalau sampai kamu gaet ...." Dhiajeng membuat gerakan seperti orang yang sedang menyembelih dan kemudian kembali tertawa renyah bersama.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh ArgaNov

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku