Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Cermin itu sungguh bersih, sempurna memantulkan seluruh bayangan diriku, dari ujung rambut bahkan hingga ujung kaki. Kusentuh pita merah muda yang menghiasi kepala. Benda itu masih sama seperti pertama kali aku memilikinya, tak ada yang berubah sama sekali. Dari kepala, tanganku beralih menyentuh gaun selutut. Laksana gaun peri di negeri dongeng yang juga kudapatkan di waktu yang sama dengan pita merah muda itu. Hal-hal sederhana yang tidak akan pernah kulupakan. Di bagian pinggang gaun itu terdapat hiasan mutiara yang melingkar. Bagian kerahnya berbentuk V.
Dan bagian lengannya panjang juga transparan. Sepertinya tak akan pernah ada gaun terbaik di dunia ini melebihi gaun yang kukenakan sekarang.
Aku menghela napas kemudian menatap jam dinding. Sudah pukul delapan malam. Setengah jam lagi aku harus sampai di kafe itu seperti biasa. Tak boleh terlambat sedikit pun. Aku memakai sepatu kaca dan bersiap keluar. Orang yang sudah biasa menjemputku--lelaki berambut hitam pekat--kini sudah ada di depan rumah dengan mobil sedannya. Seperti biasa, sambil tersenyum dia membuka pintu mobil itu untukku.
"Silakan, Tuan Putri." Lelaki itu mempersilakanku memasuki mobil. Aku tersenyum kecil mendengar cara dia memanggilku. Sudah sejak lama aku mendapat perlakuan manis seperti ini. Skenario dari semesta. Hal yang sebetulnya tak pernah aku harapkan. Semuanya hambar. Kosong. Jiwaku sudah pergi sejak dua tahun yang lalu. Malam ini aku merasa menjadi hantu.
Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Suaranya menderu mulus di jalan raya. Aku menatap sejenak keluar jendela mobil. Jalan tak terlalu padat. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang di samping kami. Beberapa muda-mudi sedang kasmaran di pinggir jalan maupun di kafe-kafe kecil. Malam Minggu, malam yang sempurna untuk berbagi cinta. Saat yang sempurna untuk merayakan sesuatu. Aku menatap kosong pohon-pohon yang seakan sedang berjalan di sampingku. Semuanya berlalu begitu saja. Tak ada yang menyenangkan. Tak ada yang romantis.
Beberapa saat, suara deru mobil itu pun perlahan berhenti. Aku mengalihkan pandangan. Ternyata sudah sampai di kafe itu. Sejenak aku kembali menghela napas. Perlahan turun dari mobil itu. Tentu saja, lelaki yang sama kembali membuka pintu mobil untukku. Aku menatap kafe itu dengan tatapan sendu.
Untuk kesekian kali aku akan masuk ke tempat ini. Tempat yang harus kukunjungi setiap tahunnya. Aku menatap lelaki di sampingku yang belum menutup pintu mobil. Dia tidak seperti tadi, tidak lagi tersenyum.
"Masuklah, aku akan menunggumu di sini bahkan sampai kau keluar tepat tengah malam." Lelaki itu berucap sambil menutup pintu mobil.
Aku terdiam sejenak sebelum kemudian dengan berat melangkahkan kaki menuju kafe itu. Sepatu kaca ini terasa jauh lebih berat dari benda mana pun. Aku menahan napas begitu sampai di sana, dan masih harus kembali melangkah menuju lantai atas, menuju ruangan yang disiapkan khusus untukku.
Ruangan itu sama sekali tidak berbeda dari sebelumnya, bahkan sejak dua tahun yang lalu. Selalu didekorasi dengan gaya klasik favoritku. Ruangan yang selalu membuatku merasa sedang berada di negeri dongeng atau di rumah para peri kayu.
Aku duduk di kursi itu. Lagi-lagi, kursi yang sama, yang tidak pernah berubah sedikit pun. Semua bagian dari ruangan ini dibuat dengan bahan kayu. Diukir dengan sangat indah dan dengan bentuk yang menawan. Begitu eksotis juga teliti.
"Ini kuemu. Kue cokelat kesukaanmu. Dengan dekorasi yang sama dan tidak pernah berubah." Gadis berambut pirang itu meletakkan kue cokelat tepat di depanku. Kue yang hanya dihiasi satu buah ceri dan tulisan happy birthday di atasnya.
Aku menatap gadis berambut pirang yang tersenyum sekaligus menatap sendu ke arahku itu. Seperti biasa, dia selalu bisa membuat suasananya sama seperti dahulu.
"Terima kasih," ucapku singkat. Gadis itu menatap ke arah pintu. Tak ada siapa pun di sana.