/0/24416/coverorgin.jpg?v=3f42961cc95c0f05100f937190aa6aeb&imageMogr2/format/webp)
Udara sore itu menggetarkan, membawa serta aroma manis melati dan janji-janji masa depan yang cerah. Di hadapan panggung sederhana dengan dekorasi pita dan balon warna-warni, Lara-yang akrab disapa Lae-berdiri di antara barisan teman-teman seangkatannya, jantungnya berdegup kencang. Hari ini adalah hari kelulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan, gerbang menuju dunia yang lebih luas, penuh dengan peluang dan impian yang telah ia rajut selama ini. Senyum tak lepas dari bibirnya, membayangkan kedua orang tuanya yang pasti akan bangga melihatnya mengenakan toga dan membawa ijazah di tangan.
Mereka berjanji akan datang, duduk di barisan paling depan, dan bersorak paling keras.
Namun, janji itu tak pernah terpenuhi.
Ketika nama Lae dipanggil, dan ia melangkah maju untuk menerima gulungan ijazah, matanya menyapu kerumunan, mencari sosok ayah dan ibunya. Hanya kursi kosong yang menyambut pandangannya. Kecemasan mulai merayap, menipiskan kebahagiaan yang sebelumnya membuncah. Sebuah firasat buruk, seperti bisikan angin dingin di tengah terik matahari, menyergap hatinya. Firasat itu berubah menjadi kenyataan pahit beberapa jam kemudian, meruntuhkan seluruh dunianya dalam satu kali hempasan.
Sebuah kecelakaan tragis. Mobil yang membawa ayah dan ibunya, melaju dalam perjalanan menuju sekolah, bertabrakan dengan sebuah truk yang entah bagaimana kehilangan kendali. Kabar itu datang seperti sambaran petir di siang bolong, menghanguskan semua harapan dan kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Dalam sekejap, Lae bukan lagi seorang siswi lulusan SMK yang bangga, melainkan seorang yatim piatu yang sendirian. Tangisan pilu yang keluar dari dasar jiwanya tak dapat dihentikan. Dunia seakan berhenti berputar, dan warna-warni kehidupan seketika memudar menjadi abu-abu.
Hari-hari setelah itu adalah kabut duka. Rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan kini terasa dingin, hampa. Setiap sudut, setiap benda, seakan menyimpan memori orang tuanya, menusuk hati Lae dengan rasa rindu yang tak tertahankan. Ia seringkali terbangun di tengah malam, napas terengah-engah, mencari-cari sentuhan tangan ibu atau gurauan ayah. Namun, hanya kehampaan yang menyambutnya. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini benar-benar sendiri. Tak ada lagi bahu untuk bersandar, tak ada lagi suara lembut yang menenangkan. Hanya keheningan yang menyesakkan, ditemani gema kenangan yang terus menghantui.
Di tengah badai kesedihan itu, Lae tahu ia harus bertahan. Insting untuk hidup, sekecil apa pun, mendorongnya untuk bangkit. Ia tak bisa terus-menerus terpuruk. Orang tuanya pasti tidak ingin melihatnya menyerah. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Lae mulai mencari pekerjaan. Ia tahu ia tidak memiliki banyak pilihan. Lulusan SMK dengan pengalaman terbatas, ia harus menerima apa pun yang datang.
Nasib kemudian membawanya ke MIRALIS, sebuah butik yang terletak di jantung kota. Bangunan dua lantai itu tampak elegan dari luar, dengan manekin-manekin anggun memamerkan busana-busana eksklusif di balik etalase kaca. Meski ragu, Lae memberanikan diri masuk. Aroma kain sutra, wangi parfum mahal, dan gemerlap cahaya lampu kristal menyambutnya. Ia diterima sebagai asisten butik, sebuah posisi yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran, mulai dari merapikan pakaian, membantu pelanggan, hingga sesekali mendesain ulang pajangan etalase. Gaji yang ditawarkan tidak besar, namun cukup untuk menyambung hidup dan membayar sewa kamar kos kecil di pinggir kota.
Pekerjaan di MIRALIS adalah sebuah pengalih perhatian yang baik dari kesendiriannya. Lae mencoba fokus, menyerap setiap pelajaran baru yang ia dapatkan. Ia belajar tentang berbagai jenis kain, tren mode terbaru, dan cara berinteraksi dengan pelanggan yang beragam. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan kesedihan menguasai dirinya, meski terkadang, di sela-sela pekerjaannya, bayangan kedua orang tuanya tiba-tiba muncul, dan matanya berkaca-kaca.
Suatu sore, ketika Lae sedang sibuk menata manekin di bagian gaun malam, pintu butik terbuka, dan seorang pemuda masuk dengan langkah santai. Posturnya tinggi, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terlihat menarik, dan matanya tajam namun memancarkan kehangatan. Ia mengenakan kaus polos dan celana jins, kontras dengan suasana formal butik. Lae awalnya mengira ia adalah pelanggan, namun ia segera menyadari bahwa pemuda itu tidak menunjukkan minat pada busana. Ia malah langsung menuju ruang kantor pemilik butik.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu keluar dari ruangan dengan senyum tipis di bibirnya. Ia melihat Lae, yang sedang berdiri di dekat manekin, dan mata mereka bertemu. Jantung Lae sedikit berdebar. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang membuatnya merasa sedikit canggung namun penasaran.
"Hai," sapa pemuda itu, suaranya renyah. "Aku Reza. Putra pemilik butik ini. Kamu pasti Lae, karyawan baru yang Ibu ceritakan?"
Lae mengangguk, sedikit gugup. "Iya, saya Lae."
"Senang berkenalan denganmu, Lae," kata Reza, mengulurkan tangannya. "Aku sering mampir ke sini, jadi kita pasti akan sering bertemu."
Perkenalan itu adalah awal dari segalanya. Reza tidak seperti yang Lae bayangkan. Meskipun ia adalah putra pemilik butik, ia sama sekali tidak sombong atau angkuh. Sebaliknya, ia ramah, mudah diajak bicara, dan memiliki selera humor yang bagus. Reza sering mengunjungi butik, kadang untuk membantu ibunya, kadang hanya untuk sekadar menghabiskan waktu. Setiap kali ia datang, ia selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Lae.
Obrolan mereka dimulai dari hal-hal seputar pekerjaan, lalu merambah ke topik-topik lain yang lebih pribadi. Reza sering menanyakan tentang hari-hari Lae, tentang mimpinya, bahkan tentang perasaannya. Lae, yang biasanya tertutup tentang masa lalunya, tanpa sadar mulai membuka diri kepada Reza. Ia menceritakan tentang kehilangan orang tuanya, tentang perjuangannya untuk bertahan hidup, dan tentang bagaimana ia mencoba membangun kembali hidupnya. Reza mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, tanpa memberi nasihat yang tidak diminta. Ia hanya ada di sana, menjadi pendengar setia.
Kehangatan dan perhatian Reza perlahan mencairkan dinding es yang telah Lae bangun di sekeliling hatinya. Ia mulai merasa nyaman di dekat Reza, bahkan sesekali tertawa lepas bersamanya-sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Reza selalu berhasil membuat Lae tersenyum, bahkan di hari-hari terberatnya. Ia sering membawakan kopi atau makanan ringan untuk Lae, dan sesekali, ketika butik sudah sepi, mereka akan duduk di sudut, bercerita tentang apa saja hingga larut.
Perasaan itu tumbuh secara alami, seperti tunas yang mekar di musim semi. Dari pertemanan, hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Sentuhan tangan yang tak sengaja saat menyerahkan barang, tatapan mata yang bertahan lebih lama dari seharusnya, dan detak jantung yang berdebar lebih kencang saat Reza berada di dekatnya. Lae tak bisa menyangkal bahwa ia mulai jatuh cinta pada Reza. Dan Reza pun tak kalah.
Suatu malam, setelah butik tutup, Reza mengantar Lae pulang ke kosnya. Di bawah cahaya rembulan yang samar, di depan pintu gerbang kos, Reza meraih tangan Lae. "Lae," katanya, suaranya rendah dan lembut, "aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman."
Lae menatap matanya, dan ia melihat ketulusan di sana. Jantungnya berdegup tak karuan. "Aku juga, Reza," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dan di bawah taburan bintang, ciuman pertama terjadi. Ciuman itu manis, lembut, dan penuh janji. Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang menjadi kisah asmara yang indah. Mereka berpacaran secara diam-diam, tak ingin menarik perhatian di butik. Kencan-kencan sederhana di taman, makan malam di warung pinggir jalan, atau sekadar menghabiskan waktu bersama di kafe kecil, semua terasa begitu istimewa bagi Lae. Reza menjadi dunianya, tempat ia menemukan kembali kebahagiaan yang hilang. Ia merasa hidup kembali, seolah warna-warna yang sebelumnya memudar kini kembali cerah. Lae percaya, ia telah menemukan rumahnya, sebuah tempat di mana ia bisa mencintai dan dicintai sepenuh hati.
Namun, kebahagiaan itu, seperti embun pagi yang bertemu mentari, tidak berlangsung lama. Setiap kisah cinta, apalagi yang dimulai dari dua dunia yang berbeda, memiliki tantangannya sendiri. Dan bagi Lae dan Reza, tantangan itu datang dalam bentuk penolakan dari keluarga Reza.
Ibu Reza, Nyonya Amara, adalah seorang wanita yang sangat memegang teguh status sosial dan martabat keluarga. Ia adalah seorang pebisnis sukses, pemilik MIRALIS, dan sangat peduli dengan citra keluarganya. Baginya, pernikahan adalah tentang menyatukan dua keluarga yang setara, bukan sekadar dua individu yang saling mencintai. Ia sudah memiliki rencana untuk Reza, seorang gadis dari kalangan atas yang dianggap cocok untuk putra tunggalnya.
Kabar tentang hubungan Reza dengan Lae, seorang yatim piatu yang hanya bekerja sebagai asisten butik, sampai ke telinga Nyonya Amara. Reaksi pertamanya adalah kemarahan yang membara. Ia menganggap hubungan itu sebagai noda bagi reputasi keluarganya, sebuah kesalahan yang harus segera diperbaiki. Nyonya Amara memanggil Reza, dan terjadilah pertengkaran hebat yang tak terhindarkan.
"Apa yang kamu lakukan, Reza?!" bentak Nyonya Amara, suaranya menggema di ruang kerja pribadinya yang megah. "Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengan gadis seperti itu? Dia tidak sepadan dengan kita! Dia tidak punya apa-apa!"
Reza berusaha membela diri, menjelaskan perasaannya kepada Lae, tentang betapa berharganya gadis itu baginya. "Bu, aku mencintai Lae. Dia baik, tulus, dan dia tidak pantas Ibu katakan seperti itu."
"Cinta? Omong kosong!" Nyonya Amara menepis kata-kata Reza. "Cinta tidak bisa membeli masa depan, Reza! Kamu adalah pewaris bisnis ini. Kamu harus menikah dengan wanita yang bisa mengangkat derajat keluarga kita, bukan menurunkannya!"
/0/24786/coverorgin.jpg?v=8b4900a9b5e54ae058c619b10f342531&imageMogr2/format/webp)