Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Tolong tahan lift-nya!” teriak Clarie seraya berlari kecil menuju pintu lift. “Thanks,” ucapnya pada pria yang menahan pintu lift itu agar tetap terbuka.
Untung saja di dalam kotak besi itu hanya ada beberapa saja yang hendak naik, tidak sepenuh biasanya. Mungkin karena sudah hampir masuk jam kantor sehingga para pegawai sudah berada di ruangannya masing-masing.
Clarie menyisir rambut ikal cokelatnya dengan jarinya ke belakang. Dia terlambat bangun akibat bergadang menemani Daniele yang tengah patah hati semalam. Sahabatnya itu tidak pernah kapok untuk kembali menjalin hubungan meskipun sering kali disakiti oleh pria yang sama berulang-ulang.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai delapan ruangan kantornya. Bergegas gadis berusia dua puluh empat tahun itu melangkah cepat menuju ruangan asisten sekretaris. Dia pasti akan mendapat ceramah dari Miss. Turner karena datang telat.
Suara ketukan hak sepatunya berbunyi nyaring di lantai yang sudah sepi dengan pegawai itu. Sepertinya seluruh pegawai sudah berada di kubikelnya masing-masing dan memulai pekerjaan.
“Huft!” Clarie menahan napasnya, lalu kembali dia embuskan lagi.
“Selamat pagi, Miss. Turner. Maaf aku datang terlambat,” sapanya ramah tak lupa senyum manis pun dia lempar ke wanita berperut buncit itu.
Wanita berambut hitam yang baru saja memotong rambut panjangnya hingga sebahu itu menatap gadis yang baru saja muncul dengan tatapan sebal.
“Kau terlambat dua puluh menit, Clarie.”
“Ya, aku tahu,” balas Clarie lesu, seraya berjalan ke mejanya yang bersebelahan dengan meja Rebecca, atasannya.
“Kau tahu, dalam Minggu ini aku harus melatihmu untuk menggantikan posisiku, Clarie. Karena Tuan Henderson tidak mau orang baru,” ucap Rebecca seraya berjalan mondar-mandir merapikan berkas.
Rebecca akan melakukan cuti melahirkan selama enam bulan lamanya. Otomatis Clarie yang saat ini berposisi sebagai asisten Rebecca, mau tak mau harus menggantikan tugas wanita itu selama cuti.
“Kita mulai hari ini,” kata Rebecca lagi.
“Baiklah,” jawab Clarie seraya bangkit dari kursi putarnya dan merapikan penampilannya.
Clarie sudah satu tahun bekerja di perusahaan Hends.Corp dengan posisi sebagai asisten sekretaris. Selama itu pula Clarie belum pernah berhadapan langsung dengan Lucas Henderson, paling hanya sesekali berpapasan tak sengaja. Karena selama ini hanya Rebecca yang selalu mengurus jadwal harian bosnya itu.
“Bawa berkas-berkas yang harus ditanda tangani oleh Tuan Henderson, dan ikuti aku!” titah Rebecca seraya melangkah menuju pintu.
Clarie pun langsung mengekor, dan tak lupa membawa beberapa file yang sudah disiapkan oleh Rebecca. Langkah Rebecca menjadi lambat akibat perut besarnya, membuat Clarie merasa kasihan melihatnya. Seharusnya Rebecca sudah mengambil cuti sejak awal bulan lalu, tapi diurungkannya. Entah apa sebabnya.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk.”Terdengar suara dari dalam menyahut.
Rebecca mengode Clarie agar membuka pintu dan masuk lebih dulu. Gadis itu pun menurut, lalu membuka pintu.
Di depan sana, di balik meja itu duduk seorang pria yang tengah fokus di hadapan laptopnya. Clarie berjalan pelan menuju meja pria yang tak lain adalah bosnya itu. Lucas Henderson, pria berusia 35 tahun itu bukanlah pria sembarangan. Pria itu menikah dengan seorang model cantik bernama Marion Larsen dua tahun lalu.
Pria itu memiliki wajah yang tampan dan tatapan mata setajam elang. Bulu-bulu halus tumbuh di sekitaran rahangnya yang tegas, sehingga membuat wanita mana saja akan tergoda untuk membelainya.
Tiba-tiba Lucas mengalihkan tatapan dari layar persegi di depannya ke arah dua wanita yang baru saja masuk ke ruangannya. Clarie menelan saliva susah payah ketika tatapan mereka saling beradu. Gadis itu tidak yakin apakah pria di depannya menatap dirinya atau sedang menatap pada Rebecca.
“Apa kau sudah melatihnya, Bec?” tanya Lucas pada Rebecca.
Suara berat itu terdengar sangat seksi di telinga Clarie, membuat gadis itu kembali menelan salivanya.
“Tentu saja, Sir. Saya sudah melatihnya dengan baik dan dia akan bekerja dengan cekatan, benar kan, Clarie?”
“Ha!? Oh, ya benar sekali, Sir,” ucap Clarie gelagapan karena sejak tadi pikirannya melanglang entah ke mana.
Lucas menatap Clarie dalam.
“Mana berkas-berkas yang harus saya tinjau?” kata Lucas meminta.
Rebecca menyenggol bahu Clarie di sampingnya untuk menyerahkan berkas yang ada di tangan gadis itu.
Clarie berjalan mendekat ke meja Lucas dengan jantung berdegup kencang.
“Silakan, Sir,” ucapnya pelan.
Lucas meraih berkas itu dengan cepat.
“Buat dirinya fokus pada pekerjaannya, Bec. Aku tidak mau dia terlalu banyak melamun!” ujar Lucas tegas.
Clarie membelalakkan matanya mendengar ucapan tegas pria itu.