/0/14858/coverorgin.jpg?v=a6668d914bf0e0e8b652a837463e32ce&imageMogr2/format/webp)
"Panji, daripada pusing dan stres mikirin nasib kita yang habis kena PHK, mending kita main aplikasi MiChat aja. Wanita di sana cantik-cantik dan seksi-seksi," kata Bowo, rekan kerjaku itu sambil tersenyum miring.
Aku duduk diam di pojokan kafe, menatap cangkir kopi hitam yang sudah setengah dingin. Bowo duduk di seberangku, santai seperti biasanya. Kafe kecil ini biasanya tempat kami melepas penat setelah kerja, tapi hari ini suasananya berbeda.
Ada keheningan yang menggantung di udara, seperti beban tak terlihat yang tak terucapkan. PHK massal yang baru saja kami alami masih menghantui pikiranku. Perusahaan tempat kami bekerja selama bertahun-tahun gulung tikar, dan kami serta para karyawan yang lain pun ditinggalkan tanpa harapan.
Bowo menyeruput kopinya pelan, tampak tenang meski aku tahu dia sama frustrasinya denganku. Dia menghela napas panjang sebelum berbicara, memecah kesunyian.
Aku memandang Bowo, menelusuri wajahnya yang tampak santai, tetapi matanya menunjukkan kelelahan. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri dengan cara yang menurutku sia-sia. Aku menggeleng pelan.
"Sorry, bro. Tapi gue nggak berminat," jawabku singkat sambil meletakkan cangkir kopiku yang hampir habis.
Aku tidak bisa membayangkan jika diriku sampai terlibat dalam hal semacam itu, apalagi dengan Shira, istriku, yang selalu menunggu di rumah.
Bowo menatapku sejenak, lalu mengangkat bahunya, tak peduli. "Ya udah, terserah lo. Yang penting, gue nggak mau terus-terusan terjebak mikirin nasib buruk ini," ujarnya dengan nada acuh.
Dia mengambil ponselnya dan mulai sibuk dengan layar, tenggelam dalam dunianya sendiri.
Kini aku hanya bisa menghela napas pelan, merasa bahwa ada jurang yang semakin lebar antara aku dan Bowo. Dia bisa berlarut-larut dalam pelarian yang dangkal, sementara aku tak bisa begitu saja melupakan kenyataan pahit ini. Shira dan masa depan kami terus menghantui pikiranku.
Bowo masih bujangan dan bisa bebas menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dengan banyak wanita. Berbeda denganku yang sudah terikat dalam pernikahan dengan istriku.
Aku berdiri, meraih jaket yang kusampirkan di sandaran kursi. "Gue balik dulu, ya. Lo hati-hati di jalan," ucapku.
Bowo hanya melambai singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Keluar dari kafe, aku merasakan angin malam yang sejuk menyambutku, tapi tak cukup untuk mendinginkan kekhawatiranku. Jalanan di depan sepi, lampu-lampu jalan menyinari aspal yang basah setelah hujan sore tadi. Kaki-kakiku melangkah lambat, berat oleh beban pikiran yang tak kunjung hilang.
Shira... Apa yang akan kukatakan padanya nanti?
Aku tahu dia kuat, tapi aku tetap tak ingin mengecewakannya. Aku ingin menjadi suami yang bisa diandalkan, tapi sekarang, tanpa pekerjaan, rasanya masa depan kami begitu suram.
Langkahku terhenti sejenak di depan toko kecil yang sudah tutup. Aku merogoh saku, memeriksa ponselku, tapi tak ada pesan dari Shira. Biasanya, dia akan menanyakan kapan aku pulang. Aku menghela napas sekali lagi sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan yang gelap dan sepi seperti cerminan dari suasana hatiku yang gelap, penuh keraguan, dan ketidakpastian.
Aku hanya bisa berharap, entah bagaimana, segalanya akan membaik. Kini aku pun cepat-cepat mengendarai motorku menuju ke rumah, dimana aku yakin bahwa saat ini Shira pasti sedang menungguku.
---
Saat aku tiba di rumah, Shira menyambutku di depan pintu, seperti biasanya. Dia mengenakan daster usangnya, daster yang sudah berulang kali kulihat dan, sejujurnya, mulai membuatku bosan. Rambutnya diikat asal, wajahnya kusam dan berminyak, dengan beberapa jerawat yang menonjol. Tak ada sedikit pun riasan di wajahnya. Aku berusaha tersenyum, tapi dalam hati, ada rasa kecewa yang tak bisa kutahan.
/0/27634/coverorgin.jpg?v=0a9cbbeb2e3783fca6c461882b41b19f&imageMogr2/format/webp)
/0/15488/coverorgin.jpg?v=6b65d6e6c727adb06413d5b0aa8a016e&imageMogr2/format/webp)
/0/23409/coverorgin.jpg?v=bff9ac62bc8dbdd3a3e5c75c1ad9e5d8&imageMogr2/format/webp)
/0/3503/coverorgin.jpg?v=c46e147595459b0630344864f0be68e6&imageMogr2/format/webp)
/0/6622/coverorgin.jpg?v=e7eae051dee0b354c3ccd49c8e69f246&imageMogr2/format/webp)
/0/2314/coverorgin.jpg?v=83d6a252aa475c96b561cd00597ad4c5&imageMogr2/format/webp)
/0/2398/coverorgin.jpg?v=0b2b1c54e4252520e4b43f1d7776df14&imageMogr2/format/webp)
/0/3456/coverorgin.jpg?v=de716839bd98a0fdefee9093bf308d00&imageMogr2/format/webp)
/0/3755/coverorgin.jpg?v=e558c3fcb8aebec096bd5823ea51b0ff&imageMogr2/format/webp)
/0/4027/coverorgin.jpg?v=54ca138eca4dd4c2dd32806ddd744bd8&imageMogr2/format/webp)
/0/5359/coverorgin.jpg?v=31dc0782c37317ab6efea0d844053c45&imageMogr2/format/webp)
/0/15445/coverorgin.jpg?v=9237c6edf1bfb2243d6db3d85f70d75f&imageMogr2/format/webp)
/0/22567/coverorgin.jpg?v=7c92bcb6385ea72a8db1d758256db4ae&imageMogr2/format/webp)
/0/16754/coverorgin.jpg?v=d4db72e404c10eee92f590cbd35a266b&imageMogr2/format/webp)
/0/16151/coverorgin.jpg?v=a220e864e5dbf64d96768e682ffbbf09&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=309d2c68cdf00ae1a052e743831ec10a&imageMogr2/format/webp)
/0/23722/coverorgin.jpg?v=99d347a720b226ce13c8e6b617d987ca&imageMogr2/format/webp)
/0/12754/coverorgin.jpg?v=e6ce11975e25da3381ac05989a07a327&imageMogr2/format/webp)