Benih Lain di Kandungan Istriku

Benih Lain di Kandungan Istriku

haiyulia

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
22
Bab

Kian tak sengaja melihat benda kecil yang tergeletak begitu saja di bawah meja di samping tempat tidur. Diraihnya benda itu dan ia lihat dua garis merah tercetak dengan rapi di sana. Kian lantas bertanya-tanya tentang siapa pemilik test pack itu. Sempat ia mencurigai istrinya hamil. Namun, ia sadar bahwa dirinya tak bisa mendapatkan momongan. "Test pack siapa ini? Apakah istriku sedang hamil? Ah, bagaimana bisa hal itu terjadi? Aku kan hanya laki-laki mandul." Lalu, siapakah pemilik test pack itu? Benarkah benda itu milik Aurelie?

Bab 1 Awal Perkenalan

"Bagaimana? Sudah siap?"

Kian menoleh ke belakang dan mendapati ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar. Ia lantas bergerak mendekati wanita itu. Di depan ibunya, Kian hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan sang ibu.

"Kian bisa pergi sendiri, Ma," ucap Kian seraya melangkah menuruni satu per satu anak tangga itu dengan tangan yang digandeng oleh ibunya. "Lagipula, kalau Mama ikut nanti di sana tidak ada yang bisa dikerjakan," sambungnya.

"Mama akan menemanimu, Nak," sahut Tania dengan cepat. Bukan ia tidak mempercayai Kian untuk menjaga diri. Hanya saja, ia takut jika di jalan akan terjadi hal buruk pada putra bungsunya. Dan jika hal itu terjadi, jelas Tania tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Kian terkekeh sejenak sebelum ia meraih kedua tangan Tania dan menggenggamnya dengan sangat erat. Ia putar tubuh ibunya hingga berdiri berhadapan. Sepasang bola mata sipit yang terlihat lebih sayu itu menatap lekat wajah tua Tania. "Mau sampai kapan Mama tidak bisa mempercayai Kian?" tanya Kian dengan suara yang sangat lembut. Tak lupa senyum tipis, tetapi manis itu.

"Selama do'a Mama masih mengalir, percayalah kalau Kian akan selalu baik-baik saja," sambung laki-laki itu masih dengan suara lembutnya.

Helaan napas panjang Tania terdengar. Mendengar ucapan putranya, ia memang selalu berhasil kalah. Meskipun rasa khawatir itu tidak akan pernah sirna jika Kian bepergian tanpa dirinya. Akan tetapi, Tania juga tidak ingin memaksa Kian. Sebab, ia tahu jika putranya memang butuh ruang dan waktu untuk melakukan aktivitasnya sendiri. Baik, Tania harus menyadari bahwa Kian kini sudah tumbuh dewasa. Bukan lagi Kian yang seperti dianggapnya, Kian kecil yang menggemaskan.

"Trust me, Ma."

Tania mengangguk dan tersenyum. "Ya sudah. Kau hati-hati. Setelah dari rumah sakit, kau akan langsung pulang?"

Kian mengangguk cepat.

"Mama buatkan makanan favoritmu."

Kian langsung mengangkat ibu jarinya. "Ok!"

Tania melepaskan kepergian Kian setelah putra sulungnya itu berpamitan. Dengan tatapan sendu ia menatap punggung lebar Kian hingga benar-benar menghilang dari pandangan. "Maafkan Mama kalau belum bisa membuatmu nyaman dengan kekhawatiran Mama," bisik Tania hingga tanpa sadar air matanya lolos dari kelopak mata yang sudah mulai ditumbuhi keriput halus.

°°°

Langkah Kian melaju perlahan menapaki ubin-ubin putih bersih gedung putih itu. Seperti biasa, akan ada beberapa petugas rumah sakit yang menyapanya. Ya, Kian merupakan salah satu orang yang terbilang rutin mengunjungi bangunan itu. Bahkan, setiap minggunya. Tidak heran jika banyak petugas yang mengenalnya.

Hanya beberapa kali mengetuk pintu. Kian langsung memasuki sebuah ruangan yang sudah menjadi ruang wajib yang dikunjungi.

"Maaf, ya, aku terlam ...." Kalimat Kian tergantung begitu saja ketika yang ia temukan di dalam ruangan itu bukanlah orang biasanya. Namun, sosok perempuan yang duduk manis di kursi seraya menatapnya dengan kedua alis terangkat sempurna.

"Oh, maaf. Aku kira Dokter Aiman," ucap Kian seraya menundukkan kepalanya sedikit. Lalu, ia melihat perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum dengan manis. Dalam beberapa detik, Kian terpaku di tempat. Bohong jika Kian tidak terpesona dengan senyuman perempuan yang begitu manis itu. Apalagi, tatapannya begitu teduh.

Kian dengan cepat tersadar dan hendak beranjak ke luar.

"Tunggu saja di sini."

Suara perempuan itu berhasil menghentikan langkahnya. Tak hanya laju sepasang tungkai milik Kian saja yang terhenti. Akan tetapi, detak jantungnya juga seakan ikut berhenti. Suara itu ... Ah, terdengar sangat lembut dan sampai ke hati.

"Sepertinya, Dokter Aiman sebentar lagi balik," sambung perempuan itu dengan suara yang tak disadari berhasil membuat dunia Kian berubah.

Kian menoleh ke belakang setelah semuanya kembali normal. "Tidak apa-apa tunggu di sini?" tanya Kian dengan nada suara ragu-ragu.

"Ya, memangnya kenapa kalau tunggu di sini sama-sama?"

Kian pun hanya bisa tersenyum. Ia kemudian mendekat ke arah perempuan itu. Tangannya menyeret pelan kursi lain dan duduk.

Hening dalam beberapa saat. Hingga suara perempuan itu kembali terdengar. Namun, terdengar sedikit ragu.

"Hm, mau konsultasi, ya?"

Kian mengangkat kepala dan menatap perempuan itu. Lalu, mengangguk seraya mengulum senyum. "Konsultasi wajib," jawabnya.

Perempuan itu mengangguk. Ia paham maksud Kian.

"Kau juga?"

Perempuan itu menggeleng pelan. "Aku di sini hanya praktik," balasnya.

Kian mengulurkan tangan tanpa ragu. "Aku, Kian," ucapnya memperkenalkan diri seraya menunggu uluran tangannya disambut oleh lawan bicaranya. Ya, meskipun Kian sendiri tidak tahu apakah uluran tangan itu akan bersambut atau bahkan sebaliknya.

Akan tetapi, Kian merasakan tangannya tergenggam. Ia pandangi tangan putih mulus yang kini sudah berjabat dengannya itu.

"Namaku, Aurelie. Aurelie Razeta Giovandra," jawab perempuan itu seraya menunjuk sebuah name tag yang ada di bajunya.

Kian pun langsung menatap ke arah jari telunjuk perempuan yang sudah memperkenalkan dirinya dengan panggilan Aurelie itu. "Aurelie," ulang Kian.

Aurelie hanya tersenyum mendengar Kian menyebut namanya.

Lalu, tak lama pintu ruangan terbuka. Sosok yang kedua manusia di dalam ruangan itu tunggu datang juga.

"Maaf, ya, Rel, sudah membuatmu menunggu lama," ucap Aiman. Lalu, ia menatap Kian. "Sudah lama?"

Baik Kian maupun Aurelie hanya tersenyum.

"Dok, saya bisa tunggu sampai pekerjaan Dokter selesai dulu," ucap Aurelie yang paham, bahwa Aiman saat ini sedang kedatangan salah satu pasiennya.

"Maaf, ya, harus membuatmu menunggu lagi," ucap Aiman merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Dok," balas Aurelie. "Kalau begitu saya permisi dulu."

"Kau bisa tunggu di sofa saja, Rel. Setelah ini, kita bisa lanjutkan," ujar Aiman dan langsung diiyakan oleh Aurelie.

Hening setelah Aurelie beranjak menyisakan Kian dan Aiman yang duduk berhadapan kini. Terlebih Kian, laki-laki itu hanya diam memperhatikan Aiman yang fokus melihat sebuah hasil pemeriksaan dan sesekali menatapnya dengan tatapan datar.

"Bagaimana?" tanya Kian yang sebenarnya paham arti tatapan dokter sekaligus temannya itu. Kian sudah terlalu sering melihat ekspresi tersebut yang menandakan ada yang tidak beres.

"Kau pasti tahu, 'kan?" Aiman menatap Kian dengan serius. Ia melihat laki-laki itu hanya tersenyum sumbang. "Ki, kali ini saja dengarkan aku," sambung Aiman dengan nada memelas.

Hening.

"Jika kau tidak bisa mendengarku sebagai dokter. Dengarkan aku sebagai temanmu. Kondisimu saat ini ...."

"Yes. I know. Kau tidak perlu lanjutkan," ucap Kian dengan cepat memotong kalimat Aiman.

"Jika kau sudah tahu, kau bisa pikirkan matang-matang jalan keluar yang pernah aku katakan waktu itu."

Kian mengangguk. Lalu, tersenyum untuk memecah suasana yang terlampau serius itu.

"Aku serius."

"Aku juga tidak menganggapmu sedang bercanda," balas Kian cepat seraya tertawa kecil. "Gantengmu hilang jika terllu serius seperti itu."

Aiman hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan pasien sekaligus temannya itu. Namun, ia tahu apa yang dilakukan Kian hanya untuk mengalihkan kesedihannya. Aiman paham itu.

Kian mendekatkan wajah. Lalu, berbisik, "Juniormu cantik juga. Apa kau bisa memperkenalkanku dengannya?"

"Sialan!" umpat Aiman. "Bisa-bisanya kau berpikir sejauh itu."

Kian tertawa kecil. "Tapi, aku serius."

"Jika kau serius, aku bisa atur."

Kian sejenak terdiam. "Tapi, sepertinya tidak mungkin. Tidak akan ada perempuan secantik dia yang mau denganku."

"Itu hanya pikiranmu saja," balas Aiman. "Kau terlalu psimis."

Sebelum Kian kembali angkat suara. Aiman lebih dulu berucap lagi, "Tidak ada yang sempurna, Ki. Kau harus ingat itu."

Kian hanya terdiam. Lalu, tersenyum tipis. Setelah itu, Kian meminta undur diri.

Langkah Kian terhenti tepat di depan Aurelie yang masih setia menunggu Aiman. Ia layangkan sebuah senyum bersi terbaiknya. "Aku duluan, ya."

Aurelie membalas senyuman itu seraya mengangguk. Setelah Kian benar-benar pergi. Aurelie hanya bisa terdiam. Perbincangan Kian dan Aiman tentang kondisi Kian bisa ia dengar. Meski tidak dijelaskan dengan sangat rinci, Aurelie tahu ada sesuatu yang serius tengah terjadi. Akan tetapi, ia tidak bisa juga mencampuri hal itu, karena itu bukan ranahnya.

"Separah itu," monolog Aurelie dengan berbisik.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh haiyulia

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gemoy
5.0

Kami berdua beberapa saat terdiam sejanak , lalu kulihat arman membuka lilitan handuk di tubuhnya, dan handuk itu terjatuh kelantai, sehingga kini Arman telanjang bulat di depanku. ''bu sebenarnya arman telah bosan hanya olah raga jari saja, sebelum arman berangkat ke Jakarta meninggalkan ibu, arman ingin mencicipi tubuh ibu'' ucap anakku sambil mendorong tubuhku sehingga aku terjatuh di atas tempat tidur. ''bruuugs'' aku tejatuh di atas tempat tidur. lalu arman langsung menerkam tubuhku , laksana harimau menerkam mangsanya , dan mencium bibirku. aku pun berontak , sekuat tenaga aku berusaha melepaskan pelukan arman. ''arman jangan nak.....ini ibumu sayang'' ucapku tapi arman terus mencium bibirku. jangan di lakukan ini ibu nak...'' ucapku lagi . Aku memekik ketika tangan arman meremas kedua buah payudaraku, aku pun masih Aku merasakan jemarinya menekan selangkanganku, sementara itu tongkatnya arman sudah benar-benar tegak berdiri. ''Kayanya ibu sudah terangsang yaa''? dia menggodaku, berbisik di telinga. Aku menggeleng lemah, ''tidaaak....,Aahkk...., lepaskan ibu nak..., aaahk.....ooughs....., cukup sayang lepaskan ibu ini dosa nak...'' aku memohon tapi tak sungguh-sungguh berusaha menghentikan perbuatan yang di lakukan anakku terhadapku. ''Jangan nak... ibu mohon.... Tapi tak lama kemudian tiba-tiba arman memangut bibirku,meredam suaraku dengan memangut bibir merahku, menghisap dengan perlahan membuatku kaget sekaligus terbawa syahwatku semakin meningkat. Oh Tuhan... dia mencium bibirku, menghisap mulutku begitu lembut, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, Suamiku tak pernah melakukannya seenak ini, tapi dia... Aahkk... dia hanya anakku, tapi dia bisa membuatku merasa nyaman seperti ini, dan lagi............ Oohkk...oooohhkkk..... Tubuhku menggeliat! Kenapa dengan diriku ini, ciuman arman terasa begitu menyentuh, penuh perasaan dan sangat bergairah. "Aahkk... aaahhk,," Tangan itu, kumohooon jangan naik lagi, aku sudah tidak tahan lagi, Aahkk... hentikan, cairanku sudah keluar. Lidah arman anakku menari-nari, melakukan gerakan naik turun dan terkadang melingkar. Kemudian kurasakan lidahnya menyeruak masuk kedalam vaginaku, dan menari-nari di sana membuatku semakin tidak tahan. "Aaahkk... Nak....!"

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Gavin
5.0

Namaku Alina Wijaya, seorang dokter residen yang akhirnya bertemu kembali dengan keluarga kaya raya yang telah kehilangan aku sejak kecil. Aku punya orang tua yang menyayangiku dan tunangan yang tampan dan sukses. Aku aman. Aku dicintai. Semua itu adalah kebohongan yang sempurna dan rapuh. Kebohongan itu hancur berkeping-keping pada hari Selasa, saat aku menemukan tunanganku, Ivan, tidak sedang rapat dewan direksi, melainkan berada di sebuah mansion megah bersama Kiara Anindita, wanita yang katanya mengalami gangguan jiwa lima tahun lalu setelah mencoba menjebakku. Dia tidak terpuruk; dia tampak bersinar, menggendong seorang anak laki-laki, Leo, yang tertawa riang dalam pelukan Ivan. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka: Leo adalah putra mereka, dan aku hanyalah "pengganti sementara", sebuah alat untuk mencapai tujuan sampai Ivan tidak lagi membutuhkan koneksi keluargaku. Orang tuaku, keluarga Wijaya, juga terlibat dalam sandiwara ini, mendanai kehidupan mewah Kiara dan keluarga rahasia mereka. Seluruh realitasku—orang tua yang penuh kasih, tunangan yang setia, keamanan yang kukira telah kutemukan—ternyata adalah sebuah panggung yang dibangun dengan cermat, dan aku adalah si bodoh yang memainkan peran utama. Kebohongan santai yang Ivan kirimkan lewat pesan, "Baru selesai rapat. Capek banget. Kangen kamu. Sampai ketemu di rumah," saat dia berdiri di samping keluarga aslinya, adalah pukulan terakhir. Mereka pikir aku menyedihkan. Mereka pikir aku bodoh. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku