Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
FOTO SUAMI FAN KEPONAKANKU

FOTO SUAMI FAN KEPONAKANKU

Atiex Bhawell

5.0
Komentar
2.8K
Penayangan
50
Bab

Bagaimana cara Arini mengatasi permasalahan pelik dalam rumah tangganya dengan kehadiran orang ketiga yang merupakan keponakannya sendiri? Ada banyak hal diluar nalar yang akhirnya diketahui oleh Arini.

Bab 1 Musuh dalam selimut

Aku menatap wajah lelah lelaki yang kini terlelap di sampingku, dengkuran halusnya terdengar teratur pertanda telah pulas tidurnya. Beberapa titik peluh masih menghiasi dahinya seusai permainan panas kami melepas rindu.

Usia pernikahan kami menginjak tahun ke-14 dan telah dikaruniai dua orang putra nan tampan dan sholeh. Ardhani Yasif si kakak yang mengijak usia 12 tahun dan Arbani Yusuf yang berusia 8 tahun.

Mas Wahyu, suamiku bekerja sebagai sopir truk muatan antar kota, yang tidak setiap hari bisa pulang dan berkumpul dengan anak serta istrinya. Terkadang tiga hari baru pulang dan bahkan tak jarang satu minggu baru pulang.

Kami bukanlah berasal dari keluarga mapan yang kaya. Kami sama-sama berangkat dari nol, membangun rumah tangga ini dengan keringat dan air mata tak jarang kami menahan lapar hanya demi kedua buah hati kami agar perut mereka merasa kenyang.

Aku yang hanya bekerja sebagai buruh jahit di sebuah konveksi rumahan, hanya bisa membantu untuk kebutuhan dapur. Sementara biaya hidup lainnya bergantung pada penghasilan suamiku.

Alhamdulillah, dengan doa, usaha dan syukur yang terus kami ucapkan. Perlahan tapi pasti kehidupan kami mulai terbilang mapan dan layak. Suamiku sudah mampu membeli truk sendiri dan dua truk lainnya yang dijalankan oleh adik dan sepupunya. Sementara aku sendiri telah mampu memeperkerjakan lima orang tetangga kami yang membutuhkan pekerjaan.

Semua itu tak lepas dari doa, usaha dan rasa syukur atas apa yang Allah berikan untuk kami. Hingga satu bulan lagi pernikahan kami mengijak usia yang ke 14 tahun. Pasang surut badai kehidupan telah mampu kami lewati, semoga Allah senantiasa menjaga biduk rumah tangga kami.

🌻🌻🌻

Dert dert dert

Dengan mata menahan kantuk aku ulurkan tangan menggapai ponsel yang berada di atas meja kecil disamping kasur. Tanpa melihat siapa yang menghubungi sepagi ini, aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.

"Hallo. . .assalamualaikum, Rin!" Sapa seorang wanita dari seberang sana yang aku hafal suaranya, dialah kakak sulungku, mbak Murni.

"Walaikumsalam, Mbak! Ada apa kok pagi-pagi banget telepon?"

"Ini, Rin! Mau kabarin kalau Salwa ketrima kuliah di universitas A dekat tempat tinggalmu. Mbak mau minta tolong untuk sementara biar Salwa tinggal di tempatmu sambil nyari kontrakan yang dekat kampus gitu, boleh Rin?" jelas mbak Murni.

"Ya boleh dong, Mbak! kapan Salwa mau datang?"

"Rencananya pagi ini, Rin! Naik bus biar sampai sana gak kemalaman!"

"Oh, ya sudah Mbak, nanti biar mas Wahyu yang jemput ke terminal kebetulan dia lagi di rumah."

"Yaudah kalau gitu, maaf ya Rin kalau merepotkan!"

"Gak repot kok Mbak, santai saja."

"Terimakasih ya, Rin! Assalamualaikum!"

Setelah mengucap salam aku kembali menyimpan ponsel ke atas meja dan bersiap membersihkan diri untuk melaksanakan shalat subuh. Sebelum berlalu ke kamar mandi aku membangunkan suamiku lebih dulu.

Usai melaksanakan ibadah dua rekaat, aku gegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Sedangkan suamiku kembali merebahkan dirinya di kasur.

"Pagi, Bunda!" sapa Ardhan, anak sulungku yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya.

"Pagi, Sayang! Adek mana, Kak?"

"Masih mandi, Bund!" jawabnya yang sudah bersiap meneguk susu coklat yang telah aku siapkan.

Aku kembali fokus dengan penggorengan, tak lama muncul sang adik yang juga sudah rapi dengan seragamnya.

Dengan cepat aku menyajikan nasi goreng buatanku ke hadapan dua belahan jiwaku ini.

"Kalian sarapan dulu ya, Bunda mau panggil Ayah sebentar!"

"Ayah pulang, Bund?" tanya si bungsu. Memang semalam suamiku pulang sudah larut dan dua bocah ini sudah tidur lelap jadilah mereka tak tahu jika ayahnya pulang.

Aku yang hendak masuk kamar urung sebab suamiku juga telah membuka pintu dan bersiap menemui dua jagoan kami.

"Yeiy, Ayah pulang!" sorak si adik yang memang sangat dekat dengan ayahnya.

Mas Wahyu mengusap lembut pucuk kepala dua anaknya bergantian. Kemudian bergabung dan sarapan bersama.

"Oh ya, Mas, tadi mbak Murni telepon katanya Salwa mau datang."

"Oh ya? Jam berapa sampai?"

"Mungkin sebelum maghrib sudah sampai terminal, Mas. Naik bus katanya! Nanti bisa tolong jemput dia gak Mas di terminal?"

"Bisa, sekalian nanti Mas mau tukeran mobil sama Iwan. Iwan mau pake truk untuk angkut barang pindahan sepupunya. Mas disuruh pake mobil avanzanya dia. Kita bisa jemput sama-sama, kan?"

"Akunya gak bisa, Mas! Hari ini harus menyelesaikan seragam keluarganya bu Nani. Lagian nanti si Adek ngaji rutin."

"Ya sudah, nanti minta nomor teleponnya Salwa aja kalau gitu biar gampang hubunginya kalau dia udah sampai."

Kami menikmati sarapan langka ini dengan hikmat. Sesekali terdengar celoteh si Adek yang menceritakan kegiatannya pada sang ayah. Berbeda dengan si Kakak yang memilih untuk fokus makan tanpa suara.

Usai sarapan, mereka berangkat sekolah dengan diantar oleh mas Wahyu. Sungguh aku bahagia melihatnya, mas Wahyu adalah tipe suami yang sayang dengan anak-anaknya. Mengutamakan keluarga diatas segalanya.

Pernah satu kali, ia berangkat membawa muatan menuju pelabuhan Lampung dan baru sekitar tiga jam perjalanan si Kakak jatuh dari motor dengan di bonceng pamannya hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Mas Wahyu memilih pulang dan meninggalkan muatannya di pinggir jalan hanya demi memastikan si Kakak baik-baik saja.

Usai mereka hilang dari pandangan, gegas aku kembali ke dalam untuk menyelesaikan pekerjaanku. Bebersih rumah, mencuci dan menjemur pakaian adalah tugas wajib sebelum beralih menuju kios samping rumah yang aku jadikan tempat mengais rezeki dengan beberapa orang tetangga rumahku.

Alhamdulillah, di tahun ke empat aku membuka konveksi ini setidaknya sudah dua sepeda motor yang berhasil aku beli secara cash. Satu aku pergunakan untuk pribadi dan satu lagi untuk kebutuhan kios.

Usai menjemur pakaian, aku gegas menju kamar untuk bersiap-siap menuju kios. Dengan cepat berganti pakaian dan mengenakan hijab instan yang senada dengan gamisku. Saat hendak mengambil ponsel yang berada di atas meja, netraku menangkap layar ponsel yang menyala.

Rupanya ponsel suamiku, yang menyala. Entah dorongan dari mana hingga tanganku terulur untuk memeriksanya padahal biasanya aku abai dengan ponselnya.

Lima panggilan tak terjawab dari kontak yang ia beri nama Slw dan dua pesan yang ia kirimkan. Salah satu pesan berupa gambar.

Dengan rasa penasaran yang menggebu aku buka pesan gambar tersebut. Bagai disengat listrik ribuan volt, tubuhku menegang, jantung berdetak lebih cepat, keringat dingin merembes di dahiku. Tanganku gemetaran memegang ponsel suamiku. Mulutku menganga tak percaya dengan apa yang aku lihat, foto dua orang yang aku kenal. Suamiku dan keponakanku tengah tanpa busana.

Jemariku beralih pada pesan yang belum terbaca.

[Sengaja aku mau datang kesana biar bisa sering-sering begini sama kamu, Sayang] pesannya diikuti emot cium berderet.

Air mata luruh tanpa permisi, berbagai pertanyaan berseliweran melintas di kepalaku. Sejak kapan mereka seperti ini? Jemariku lincah menscroll percakapan mereka dari atas. Percakapan menjijikkan antara om dan keponakan yang tak tahu malu. Bahkan dari percakapan itu pula aku mengetahui bahwa mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Ya Allah, ujian macam apa ini? Suamiku bermain gila dengan keponakanku sendiri. Apa kurangku selama ini? Rela menahan lapar demi menemaninya merangkak meniti karir dari nol tapi beginikah balasannya.

Benar kata orang bijak bahwa ujian laki-laki itu ada tiga, yaitu harta, tahta dan wanita. Jika suamiku lulus dengan ujian pertama dan kedua, maka di ujian ketiga inilah yang membuatnya gagal yaitu, wanita. Tapi kenapa harus dengan Salwa? Keponakanku sendiri.

Sesak dada ini bagai dihimpit sebongkah batu besar. Lalu, apa mbak Murni tahu soal ini? Aku menarik nafas berusaha menetralkan amarah yang memuncak. Sungguh aku hanya wanita biasa yang jauh dari kata sempurna apalagi shaleha. Namun jika mas Wahyu berniat menikah lagi tentu aku akan memikirkannya dengan baik, sebagaimana ajaran agama yang aku pelajari. Tapi, kenapa harus dengan Salwa? Ya Allah, ya Rabb! Dan apa ini? Mereka bahkan telah berzina di belakangku.

Salwa anak dari kakakku yang pertama, usianya masih sembilan belas tahun. Dia juga yang paling rajin mengujungi kami di pinggiran kota Lampung ini. Hampir sebulan sekali ia sempatkan datang ke rumah, ada atau tidak adanya mas Wahyu di rumah. Apakah sejak itu mereka bermain api di belakangku? Hingga dengan sengaja ia memilih kuliah di kampus yang tak tersohor dibanding dengan tempat tinggalnya yang di tengah kota besar?

Lalu, kenapa tadi mas Wahyu seperti terkejut dengan kedatangan Salwa? Atau mereka memang telah merencanakan ini sebelumnya? Kembali jemariku bergulir mencari percakapan mereka perihal ini, namun nihil tak kutemukan percakapan yang membahas kedatangannya selain dari dua pesan yang telah aku baca ini. Apakah melalui telepon? Kembali aku beralih pada riwayat panggilan, dan benar saja dari nama-nama yang menghubungi suamiku, nama Slw-lah yang paling sering melakukan panggilan.

Aku memejamkan mataku, perih hati ini tak mampu lagi aku tepis. Suami yang aku banggakan, yang aku agung-agungkan, suami yang sholeh dan sayang keluarga, nyatanya tak ubahnya seorang musuh di dalam selimut. Mereka benar bermain cantik dan rapi hingga tak tercium aroma kebusukannya. Tapi Allah lebih sayang padaku, Ia tunjukkan belang suamiku yang sesungguhnya.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Apakah harus mengikuti alur permainan mereka? Sungguh aku tak punya hati sekuat karang yang mampu bertahan dari deburan ombak kehidupan. Atau harus melabrak mereka berdua dan melampiaskan amarah dengan kekerasan? Tapi, sungguh untuk melakukan itu terbayang senyum ceria kedua putraku. Jika aku melukai fisik suamiku dan gundiknya, dan mereka menuntutku ke jalur hukum lantas aku di penjara, siapa yang akan memperjuangkan hak kedua anak sholeh itu?

Aku larut dalam pikiranku, sembari menikmati sesak dan perih hati ini atas pengkhianatan suamiku. Aku remas ponsel dalam genggamanku menyalurkan rasa kesal dan amarah yang membuncah. Hingga suara dari luar menarikku kembali ke alam nyata.

"Bund! Kamu di mana?"

Gegas aku menghapus air mata yang meleleh, dan mengembalikan ponsel suamiku pada tempat semula. Menetralkan degub jantung yang kian berpacu, seiring derit pintu terbuka.

Dia tersenyum menatapku yang masih terpaku, memikirkan dengan cara apa aku membalas sakit di hati ini.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku