Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
BAB 1
Dea menahan perih, tangan kiri dan kanan menekan perut, rasa sakit menusuk kini tak tertahankan. Membungkukkan pinggang untuk meredakan sakit, keringat dingin sudah membanjiri pelipis dan kening. Sakit seperti ini awalnya dianggap biasa saja, tapi lama kelamaan semakin sering terjadi. Obat ulu hati yang di belinya di apotek, hanya mampu meredakan sementara. Mencoba memberanikan diri pergi ke dokter praktek letaknya tidak jauh dari kantornya.
Antrian masih dua orang lagi sebelum namanya di panggil, dengan kesekian kalinya orang memandangnya aneh. Dea merubah posisi kanan, dan merubah sekian menit ke kiri lagi, begitu selanjutnya selama tiga puluh menit. Sampai saatnya, ibu tepat di sebelah kirinya menepuk bahunya.
"Sakit banget perutnya embak?".
Dea mengangguk, masih bertahan dengan posisi membungkuk. Suasana ruangan serba putih, kini mulai sepi.
"Sakit apa embak?" Tanyanya lagi.
Dea menggeleng, jika saja ia sudah tau tidak mungkin ia ke dokter peraktek ini untuk memeriksanya.
"Belum tau bu, kalau pun saya tahu saya tidak mungkin periksa kesini, saya pasti akan langsung ke dokter ahlinya".
"Iya juga sih" sahut ibu itu, Dea tidak mengetahui nama ibu itu sebenarnya dan baginya tidak begitu penting untuk berkenalan, karena menahan rasa sakit sudah menguras energi dan tenaganya.
Tepukan bahu di sebelah kirinya terjadi lagi. Dea menoleh otomatis ke arah ibu yang menegurnya tadi.
"Ada apa lagi bu".
"Nama embak Dea Diandra ya?".
Dea mengerutkan dahi tidak percaya bahwa ibu itu mengetahui nama lengkapnya.
"Ibu tau dari mana nama lengkap saya?" Mulai menaruh rasa curiga , masalahnya ia tidak pernah menyebutkan namanya kepada sembarangan orang yang tidak dikenal.
"Itu di panggil sama perawatnya" tunjuk ibu itu ke arah perawat di meja counter.
Dea baru menyadari dan mencoba berdiri, tidak lupa menyengir, memberikan senyum terbaiknya.
"Makasih ya bu, saya duluan ya".
Dea berjalan kearah perawat, dan duduk di depan perawat yang terlihat ramah menyambutnya. Ramahnya tidak kalah dengan teller di Bank yang sering di kunjunginya.
"Nama ibu, Dea Diandra silahkan masuk, mari saya antar" ucapnya ramah dan lembut.
Dea mengikutinya dari belakang, menuju pintu berwarna putih. Pintu terbuka suasana di dalam sungguh mencekam. Dea akui, ia tidak suka suasana yang berbau medis seperti ini, apapun namanya klinik dan rumah sakit tetap terlihat horor.
Dea mengamati tiap tata letak ruangan yang di susun sangat rapi dan bersih. Dea duduk tepat di depan meja kosong tidak berpenghuni. Suara pintu dari belakang terbuka, Dea menoleh ke belakang.
Pria berjas putih, dengan rambut pendek yang sedikit dibiarkan berantakkan, tubuh atletis, kulit sawo matang, bagian dagunya terlihat di tumbuhi bulu-bulu halus yang sepertinya sengaja dibiarkan tumbuh. Jika di pandang ia lebih cocok berprofesi sebagai host di acara My Trip My Adventure yang sering di tontonnya setiap minggu.
Dea memposisikan duduknya kembali. Entah kenapa rasa sakit perutnya berkurang hanya memandang dokter itu. Name tag tertera huruf vokal Dr. Raka Pratama Sp.PD.
Dokter itu tersenyum ramah, memamerkan deretan gigi putihnya. Dea menelan ludah, mencoba tidak gerogi.
"Sore Ibu Dea Diandra" ucapnya ramah, suaranya sedikit berat khas laki-laki.
"Sore juga Dok" jawab Dea dengan suara pelan.
"Keluhan ibu apa?" Tanyanya lagi.
"Hemm dokter, jangan panggil ibu dong, soalnya saya belum menikah" ucap Dea.
Sumpah demi bumi dan langit , ia bukan mempromosikan setatus dirinya yang masih lajang, kesannya seperti ingin memikat dokter ganteng di hadapannya, tetapi hanya tidak enak di panggil ibu, cukup di kantor saja ia di panggil ibu oleh anak buahnya, kesannya seperti memiliki anak dua.
"Maaf jadi sebaiknya, saya panggil embak Dea saja".
"Itu lebih baik dok".
Dokter Raka tersenyum ke arahnya. "Apa keluhan embak Dea?".
Dea kembali menahan perutnya dengan tangan, ia baru sadar bahwa rasa sakitnya kembali datang.
"Perut saya sakit banget dok" ucap Dea.
"Sudah berapa lama?"Tanyanya lagi.
"Sudah hampir dua bulan ini dok, saya pikir sakit perut biasa, tapi belakangan ini hampir setiap hari sakitnya kumat".
Dokter Raka berdiri, memegang dahi dan lehernya dengan kedua jarinya. Sepertinya ia sudah mencurigai sakit yang di deritanya.