Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Sang Gus Dokter

Cinta Sang Gus Dokter

Rohanih_lestari

5.0
Komentar
419
Penayangan
7
Bab

: Gus Zidan Aditama jatuh cinta kepada cucu pemilik pesantren Al-Wahab karena keunikan yang tidak semua gadis di luar sana miliki. Hanya dengan satu kali senyuman polosnya saja, membuat dunia Gus Zidan terasa berhenti. Dia melamar gadis unik itu sebagai istrinya walapun Gus Zidan tahu jika gadis itu memiliki banyak kekurangan untuk menjadi istri yang sempurna baginya. Ning Zulfa Airsyah Humairah, cucu dari pesantren yang begitu dihormati. Ning Zulfa jauh dari kata sempurna, banyak petinggi pesantren yang ingin menjadikan dirinya sebagai istri, namun ketika mereka tahu bahwa Ning Zulfa memiliki kekurangan yang tidak bisa mereka terima, mereka membatalkan lamarannya pada saat itu juga. Ini tentang kisah cinta sang Gus dokter bersama istrinya Ning Zulfa penyuka kucing dan hujan yang memiliki sikap seperti anak kecil berusia 5 tahun.

Bab 1 Gadis dibawah senja

"Tugas seorang Dokter itu mengobati bukan menyakiti."

-(Gus Zidan dalam cerita Cinta Sang Gus )

Lampu di dalam ruangan operasi menyala, jarum suntik yang tajam menembus kulit seorang pasien, lalu pasiennya tersebut pingsan tidak sadarkan diri.

Beberapa jam para petugas rumah sakit lalui dengan penuh ketelitian agar tidak melakukan kesalahan dalam melakukan operasi.

Keringat dingin muncul di sekitaran pelipis dokter yang memakai sebuah masker dan sapu tangan itu.

Seorang suster atau bisa di katakan patner kerjanya dengan cepat mengusap keringat tersebut namun dokter itu mundur sebagai tanda penolakan.

Operasi sudah di lakukan dan berjalan dengan semestinya, pasien tersebut di bawa keruang rawat meninggalkan ruangan operasi.

Dokter itu membuka sapu tangan dan masker pada wajahnya. Wajahnya yang putih seputih susu terlihat bersinar di bawah lampu rumah sakit. Bibir tipisnya itu tertarik keatas mengingat dirinya telah berhasil melakukakan operasi dengan baik.

Pria dengan almamamer dokter itu melirik jam tangannya, waktu menunjukkan jam empat malam. Dirinya sangat lelah karena seharian ini ia tidak beristirahat, ketika jadwal istirahat pun ia tinggalkan karena hari ini lumayan banyak pasien yang membutuhkan bantuannya.

"As'salamualaikum Pak Zidan."

"Wa'alaikumsalam Suster Arin."

Arin Wahadarina, salah satu suster sekaligus patner Gus Zidan ketika sedang melakukan tugas operasi.

"Waktu subuh sebentar lagi akan tiba, pak Zidan akan pulang atau tinggal di rumah sakit sampai pagi tiba?" tanyanya tersenyum manis.

"Tidak, saya akan pulang, kebetulan pagi-pagi saya akan pergi ke Surabaya untuk menghadiri acara milad di sana. Suster Arin sendiri? Akan menginap apa gimana?"

"Sepertinya begitu, bukankah tidak baik gadis seperti saya keluar malam-malam?"

Gus Zidan tersenyum sambil menunduk untuk menjaga pandangannya. Arin adalah teman sekampusnya dulu, mereka sama-sama sekampus namun beda jurusan. Arin mengambil jurusan perawat, sejak saat itulah mereka bertemu. Setelah lulus mereka berdua di pertemukan kembali di rumah sakit Jayandra sebagai koas. Karena berkat kepintaran dan juga kerja keras mereka, Gus Zidan akhirnya bisa mendapatkan jabatan seorang Dokter dan Arin yang memang menginginkan menjadi seorang Suster sejak dulu akhirnya tercapai juga.

"ZIDAN!"

Suara yang memanggil namanya membuat Gus Zidan mengalihkan pandangannya kearah koridor rumah sakit yang sepi. Terlihat seorang gadis dengan pakaian suster berwarna putih yang sama seperti yang di kenakan Arin sedang berlari kearahnya.

"Ikut pulang! Gue nebeng oke?!"

Gadis itu merangkul pundaknya membuat Gus Zidan berdecak kesal. "Kak Rachel jangan pegang-pegang saya! Kita bukan mahram! Sudah berapa kali saya bilang seperti itu pada kakak?!" Gus Zidan menepisnya lalu berdecak kesal. Dari kecil sampai sekarang, Rachel memang tidak pernah berubah padanya, selalu bersikap layaknya saudara kandung namun faktanya tidak.

"Apaan sih anjir, lebay banget loh. Lo dan gue itu saudara-"

"Kita enggak memiliki hubungan sedarah kak!"

"Kita satu ibu-"

"Ibu angkat bukan ibu kandung," ralat Gus Zidan lalu beberapa detik kemudian sebuah pukulan keras mendarat tepat kearah kepalanya.

"Bosen aku lihat kalian berdua berantem kaya gitu," celetuk Arin lalu terkekeh ketika melihat wajah Gus Zidan yang sebal melihat Rachel lagi-lagi memukulinnya tanpa sebab.

"Gue cekik lo lama-lama! Kalo bukan anaknya Umi Rara, udah gue hajar lo sampai habis. "

"Apa faedahnya coba mukulin orang kaya gitu? Udah ah saya pergi duluan, kak Rachel nginep aja di rumah sakit temenin Suster Arin di sini saya akan pulang sendirian."

"Ogah banget! Gue capek pengen tidur di kamar gue yang nyaman! Lo, Arin, pulang ke rumah gue sekalian nginep, gue mau curhat tentang Dokter Zayen tentang sikapnya yang selalu marahin gue selama jadi patner kerjanya."

"Enggak ah, aku mau istirahat bukan mau dengerin curhat kamu," tolak Arin tegas. Lagi-lagi ia di jadikan teman curhatannya Rachel. Rachel itu kalo curhat kaya ngajak berantem. Arin pernah mendapatkan pukulan dari Rachel karena Rachel melampiaskan kekesalan tentang Dokter Zayen padanya.

"Lo harus nginep malam ini! Gue enggak mau tahu- loh Zidan kemana?!" ucap Rachel terpotong karena Gus Zidan tiba-tiba sudah menghilang nampak ia sadari.

"ZIDAN! ADIK DURHAKA KAMU!" teriak gadis itu menggema di koridor yang sepi.

****

"Abang Zidan mau ikut keacara Milad pesantren Al-Wahab?" tanya Gus Raffi pada abangnya-Gus Zidan yang sedang mengendong adik kecilnya-Ning Ma'wa yang sedang menjilat permen lolipop.

"Kenapa? Njenengan enggak suka kalo saya ikut juga?" tanya Gus Zidan lalu menurunkan Ning Ma'wa di kursi mobil bagian depan.

"Bukan gitu maksud Raffi, bang. Abang Zidan enggak masuk rumah sakit hari ini? Bukankah jadwal abang selalu padat?"

Gus Zidan menarik sabuk pengaman pada Ning Ma'wa yang asik memakan permen lolipopnya.

"Kepala rumah sakit memberikan abang cuti tiga hari, mungkin karena abang selalu merawat pasien abang dengan sangat baik makanya Dokter Panji memberikan kesempatan abang untuk berlibur."

"Heleh!" teriak Gus Raffa meledek. "Sombong!"

Gus Rayhan dan Ning Rara berjalan kearah mereka dengan membawa perlengkapan barang bawaan kebelakang bagasi.

"Susu Ning Ma'wa sudah kamu ambil Fi?" tanya Ning Rara pada anak keduanya. Anak berusia 10 tahun itu mengangguk lalu mengangkat botol susu yang sengaja ia kalungi di lehernya.

"Awas kamu Fi! Susu Ning Ma'wa jangan kamu minum lagi!" sentak Gus Zidan membuat Gus Raffi mengacungkan jari tengahnya.

"Muhammad Raffi Aditama!!" peringat Gus Rayhan menatap anaknya tajam. Makin hari makin nakal juga anaknya ini, ini semua gara-gara keseringan bergaul dengan anaknya Rafael sepertinya.

"Marahin Bi!" kompor Gus Zidan memilih duduk di depan kemudi.

"Minta maaf sama abang Zidan!" tegas Gus Rayhan membuat Gus Raffi mendengus memutar bola matanya.

"Maaf bang!"

"Gak bakalan saya maafin, Njeneng selalu mengulangi kesalahan yang sama."

Gus Zidan menyalankan mobilnya untuk memanaskannya terlebih dahulu sebelum mereka berangkat.

"Loh?! Kok marah sih?!" panik Gus Raffi mencondongkan badannya kedepan.

"Duduk Raffi! Sebenar lagi mobilnya mau jalan!" bentak Ning Rara, anak keduanya itu benar-benar pengen ia buang tapi udah terlanjur sayang.

Ning Rara tiba-tiba masuk kedalam mobil dan duduk di samping Gus Raffi memasangkannya sabuk pengaman.

"Abang Zidan enggak mau maafin Raffi umi!" adunya sambil meminum botol susu yang terpasang di lehernya.

'"Heh!" sentak Gus Zidan membalikan badannya lalu mengambil botol susu itu dengan cepat. "Saya kan sudah bilang jangan diminum lagi susu Ning Ma'wa kok ngeyel sih?!"

"Gak sengaja yaelah bang." Gus Raffi memeluk perut Umi untuk mencari perlindungan.

"Udah gede juga tapi masih aja ngendot!" ledek Gus Zidan menaruh botol susu itu dilehernya sendiri, jaga-jaga agar Gus Raffi tidak bisa mengambilnya lagi.

Gus Rayhan menghela napas. "Kalian bisa diam gak?" Hanya Gus Rayhan yang kalem diantara mereka bertiga.

"Bisa bi." Gus Raffi paling takut sama Abinya, dia trauma pernah mendapatkan bentakan setiap ia menyetorkan hapalan Al-Qur'an dan kitab padanya.

"Jalankan mobilnya sekarang Zi, kita sudah ketinggalkan jauh dengan rombongan para santri yang lain."

Gus Zidan mengangguk lalu segera menjalankan mobilnya keluar dari gerbang pesantren.

"ABANG BERHENTIIN MOBILNYA!"

Cekitt!

"Astagfirullah Zidan!" teriak Gus Rayhan ketika istrinya dan anak ketiganya terbentur oleh kursi mobil. "Kamu enggak papah?!" tanya Gus Zidan lebih tepatnya pada istrinya dan Ning Ma'wa tidak menghiraukan Gus Raffi yang terjatuh kedepan karena tidak sempat memakai sabuk pengaman.

"Aku enggak papah mas," jawab Ning Rara lalu menarik telinga Gus Zidan cukup kencang. "Kamu mau Umi cepet mati hah?!"

"Kok jadi Zidan sih yang di salahin? Tuh, Raffi yang tiba-tiba teriak buat Zidan kaget aja tahu!" Gus Zidan mengusap telinganya, pasti merah karena tarikan umi begitu sangat keras padanya.

"Kamu juga Raffi, kenapa teriak-teriak kaya gitu sih?!"

Ning Rara juga menarik telinga Gus Raffi tak kalah tarik seperti pada Gus Zidan tadi.

"Aduh-aduh! Umi lepasin! Sakit tahu! Umi mau buat telinga Raffi copot?!" ringis Gus Raffi. "Lepasin dong, Mi! Sakit tahu ini! Raffi teriak cuman mau bawa kucing kesayangan Raffi. Raffi lupa mau bawa Olif ke Surabaya."

Ning Rara melepaskan tarikan pada telinga Gus Raffi ketika suaminya menyentuh tangannya.

"Yaudah cepetan bawa kucingnya, satu detik abi tungguin, kalo sampai kamu enggak datang-datang juga abi tinggalin kamu."

"Satu detik?" tanya Gus Raffi tidak percaya. Apakah ia salah dengar karena efek tarikan pada telinganya tadi?

"Iya satu detik."

"Satu detik mana bisa! Belum jangan bercanda deh, gak lucu tahu!"

"Satu menit di mulai dari sekarang!"

Gus Raffi dengan terbirit-birit berlari keluar mobil. Mana kucing kesayangannya lagi asik makan lagi. Mau tidak mau, ia harus menyeter kucing tersebut membuat tangan kanannya mendapat cakaran dari Olif karena menganggu waktu makannya.

🐈🐈🐈🐈

Lima jam waktu yang mereka habiskan selama di perjalanan sampai akhirnya mereka sampai juga bersama rombongan para santri yang lain.

Gus Rayhan dan Ning Rara keluar dari mobil sibuk mengamankan para santri yang mabuk perjalanan menggunakan bus pesantren.

Gus Zidan membuka sabuk pengaman Ning Ma'wa yang sedang tertidur pulas, pria itu mengendongnya dengan hati-hati.

Ketika keluar dirinya disambut oleh para santriwan dan santriwati Al-wahab yang berteriak memanggil namanya terutama para santriwati yang begitu heboh melihat dirinya mengendong Ning Ma'wa.

"Abang! Gimana caranya bukain sabuk pengamannya!" teriak Gus Raffi panik karena abangnya pergi meninggalkan dirinya sendirian di dalam mobil.

Gus Raffi mengotak-atil sabuk pengamannya sampai akhirnya terlepas juga.

"Abang Zidan tungguin Raffi!"

Gus Zidan tersenyum hangat pada pria yang menyambut kedatangannya dengan ramah.

"Saya membutuhkan sebuah kamar untuk menidurkan adik saya apa ada?"

Kang Ndalem yang ditugaskan untuk menyambut kedatangan para keluarga Aditama menunduk sopan.

"Ada Gus, mau sekalian kulo antarkan?"

Gus Zidan mengangguk.

"Mari ikuti kulo, Gus."

Gus Raffi mendengus ketika dirinya bisa menyusul Gus Zidan. "Abang durhana! Ninggalian adiknya sendiri di dalam mobil!"

"Kamu udah gede ngapain saya nungguin kamu coba?" tanya Gus Zidan disela-sela jalannya.

"Sebagai abang yang baik seharusnya abang nungguin Raffi tahu!"

"Bocah," ledek Gus Zidan membuat Gus Raffi mengerucutkan bibirnya sebal.

"Tahu ah!"

"Sudah sampai Gus, ini tempat peristirahatan Njenengan selama kalian berada di tempat ini, kalo begitu kulo izin pamit karena masih banyak perkerjaan yang harus kulo kerjakan."

Gus Zidan tersenyum tulus lalu mengangguk. "Sukron yah kang udah mau ngaterin saya sampai sini."

"Iya Gus, sama-sama, as'salamualaikum warahmatullahi wabarakatu."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu."

Gus Zidan masuk kedalam diikuti oleh Gus Raffi dibelakang.

Gus Zidan membaringkan Ning Ma'wa yang tertidur diatas sofa.

"Njenengan jagain Ning Ma'wa sebentar, saya mau bantuin anak-anak hadroh buat turunin barang-barang didalam mobil."

Gus Raffi menggeleng dengan cepat.

"Enggak mau! Males pengen beli mobil!"

Gus Zidan berdecak kesal. "Abang kasih uang nih, yakin gak mau?" Pria berpakaian muslim coklat itu menunjukkan beberapa lembar uang didepan wajah Gus Raffi.

"Kalo gini mah Raffi juga mau lah bang!" Gus Raffi mengambil uang tersebut dengan cepat.

"Jagain Ning Ma'wa, kalo sampai njenengan gangguin Ning Ma'wa sampai nangis! Saya ambil lagi uangnya!"

Gus Raffi memberikan hormat pada Gus Zidan.

"Siap komandan!"

Gus Zidan pergi setelah meninggalkan kecupan dipipi tembeb Ning Ma'wa.

Suasana pesantren Al-wahab benar-benar sejuk seperti pesantren tempat dirinya tinggal. Ia menunduk sejenak menatap langkah kakinya.

Dari kejauhan Gus Zidan bisa melihat panggung yang begitu mewah buat acara nanti malam.

Pesantren Al-wahab mengundang Gus Rayhan dan seluruh anak santri untuk datang diacara Milad. Tidak hanya itu juga, pesantren Al-Wahab meminta pada anak Hadroh untuk tampil di malam nanti.

"Bagus mana? Kenapa dia gak kelihatan?" tanya Gus Zidan membantu anak hadroh menurunkan beberapa alat hadroh. Para santri Al-wahab juga ikut membantu.

"Pergi kerumah Ndalem sama Gus Rayhan buat ketemu Kiayi Wahab."

Gus Zidan mengangguk mengerti.

"Biar saya bantu Gus."

"Enggak usah, saya bisa sendiri kok."

Gus Zidan mencegah seorang santri yang akan membantunya mengangkat peralatan hadroh.

"Tidak apa-apa Gus, alatnya berat biar saya ikut mengangkatnya."

"Baiklah."

*******

Gus Zidan menggulung setengah lengan bajunya sebatas siku siap untuk melakukan wudhu.

Setelah selesai membaca do'a sesudah wudhu, ia keluar dari toilet.

Di koridor masjid langkah kakinya perlahan berhenti ketika pandangan matanya tidak sengaja melihat seorang gadis yang sedang berlari-lari dibawah senja yang sebentar lagi akan menghilang.

Gadis itu tersenyum sangat indah membuat jantungnya berdesir hebat.

"Masyallah." Gus Zidan memegang dadanya yang berdetak hebat. Sungguh, ia belum pernah merasakan perasaan yang ia rasakan sekarang. "Perasaan apa ini?"

Gadis dibawah senja itu yang sedari tadi menatap keatas langit-langit menunduk membuat pandangan antara mereka berdua bertemu.

Gadis itu tertawa membuat lengsung pipinya terlihat jelas di matanya. Tangan putihnya melambai kearahnya sambil meloncat-loncat.

"Ning Zulfa! Ayo pulang! Waktu magrib sebentar lagi tiba!"

Seorang wanita berteriak dari arah belakang Gus Zidan lalu melewatinya dengan begitu saja. Ternyata gadis itu melambaikan kearah wanita itu bukan padanya.

"Senjanya sudah mulai hilang, kita pulang, Kiayi pasti lagi nyariin Ning saat ini."

Gus Zidan masih diam di tempat sampai gadis dengan nama Ning Zulfa itu menghilang dari pandangannya.

"Ning Zulfa," gumamnya merasakan jantungnya masih berdetak hebat.

Untuk pertama kalinya ia merasakan perasaan aneh dalam hatinya.

Entah perasaan apa itu, ia tidak tahu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku