/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
Hujan begitu derasnya mengguyur seluruh kota Jakarta, beberapa manusia kalang kabut mencari tempat berteduh agar tak terkena hujan. Terlihat seorang gadis cantik, rambut panjang terurai dengan mata sipit dan senyum yang menawan, tengah berdiri di teras rumah sakit Harapan Jaya menatap langit yang mendung karena hujan. Ia memejamkan matanya seakan menikmati setiap rintik hujan yang membawanya pada masa lalu yang penuh kebahagiaan. Setiap detik bahkan setiap menit ia sangat merindukan sosok yang sangat ia cintai, cinta pertama yang ia kenal sejak lahir, namun takdir berkata lain.
Sosok itu malah pergi meninggalkan dirinya saat masih berusia 17 tahun. Saat di mana dirinya membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah, dimanja ayah dan dipeluk ayah. Harapan itu harus kandas ditangan seorang pelakor, wanita yang tega merebut suami ibunya, wanita yang tega merebut kebahagiaan seorang anak, wanita yang telah merampas semua harapannya.
Sebulir air hangat menetes kepipinya yang mulus, ia membuka matanya yang memerah karna menangis merindukan sosok ayahnya. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca, ia menutup mulutnya dengan punggung tangan kanannya, berharap hujan menutupi semua kesedihan yang tengah ia rasakan.
“Dokter, ada pasien yang harus ditangani sekarang.” seseorang baru saja mengagetkannya dengan tergesa-gesa
Segera dihapusnya air mata dan ia pun menoleh ke sumber suara “Bukankah Dokter Arman yang bertugas hari ini?” tanya gadis itu
“Dokter Arman di Singapura, Dok. Beliau sedang seminar dengan dokter senior.”
“Kenapa tidak memanggil Dokter Metha saja?”
“Dokter Metha sedang berada di luar kota, Dokter.”
Gadis itu kembali menatap jalanan yang basah akibat hujan deras tadi. Meski hujan mulai reda, ia bahkan enggan untuk melangkah dari sana. Niatnya untuk mencari sang ayah kembali ia urungkan, mengingat wajah wanita iblis yang tega merampas kebahagiaannya. Dendam ibunya yang belum sempat ia balaskan, kebenciannya pada wanita itu melebihi kebenciannya pada sang ayah. Meski rindu, terpaksa disembunyikan. Gadis itu tak mau terlihat lemah dimata orang yang mengenalnya, ia ingin terlihat kuat meski hatinya hancur.
“Dokter, pasien baru saja mengalami kecelakaan dan butuh penanganan sekarang,” lanjut suster Eva dengan raut muka khawatir.
“Baiklah, Sus. Lima menit lagi aku ke dalam.” Gadis itu berkata tanpa menoleh ke belakang.
Pandangannya tertuju ke seberang jalan yang terdapat taman kota yang asri dan sejuk. Banyak anak-anak yang bermain di sana setelah hujan reda. Gadis itu mengusap lembut pipinya yang kembali dibanjiri air mata dan meninggalkan tempat ia berdiri semula.
Leddy Andriani, dokter muda yang cantik dan menawan ini tengah berjalan di lorong rumah sakit tempat ia bekerja. Leddy menuju ruangannya untuk mengambil beberapa alat untuk memeriksa pasien dan melangkah menuju IGD tempat pasien yang baru mengalami kecelakaan. Dokter Leddy segera melakukan pemeriksaan akustik dengan menggunakan Stetoskop, matanya terbelalak mendapati detak jantung pasiennya begitu lemah.
“Suster, segera persiapkan ruang operasi. Kita harus melakukan tindakan cepat untuk pasien ini!” perintahnya pada suster Eva
“Tapi, Dok. Apa kita tidak meminta persetujuan dulu dari keluarganya?” suster Eva menatap dokter Leddy dengan penuh tanda tanya.
“Apakah pasien diantar keluarganya?”
“Tidak dokter, pasien hanya diantar supir taxi.” ia menatap supir itu dengan sudut matanya.
“Kalau begitu, kita tidak perlu menunggu keluarganya. Pasien harus segera ditolong.” Leddy menatap suster Eva dengan penuh keyakinan.
“Baik, Dok.”
Suster Eva berlalu meninggalkan ruangan itu begitu pun dengan dokter Leddy yang bergegas ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian operasi, lengkap dengan sarung tangan dan masker menutup hidung.
Setelah persiapan operasi selesai, suster Eva dan beberapa suster lainnya mendorong bed pasien ke ruang bedah. Di sana pasien dipasangi nebulizer untuk membantu pasien bernapas selama proses operasi dan beberapa alat lainnya seperti electrosurgical unit yang berfungsi untuk mengurangi keluarnya darah yang akan mengganggu proses operasi nantinya.
Sebab pasien mengalami luka yang cukup parah akibat kecelakaan yang merenggut seluruh anggota keluarganya. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan dihantam truk yang melintas dari arah yang berbeda. Beling kaca mobil itu tertancap tepat mengenai bagian wajah bawah mata kirinya, yang mengharuskan dokter Leddy untuk mengambil tindakan nekat ini.
“Semua siap?” Dokter Leddy baru saja memasuki ruangan itu setelah mensterilkan pakaian dan tangannya.
Meski gugup, Leddy berusaha untuk menolong pasiennya yang malang itu. Bahkan, ia siap menerima konsekuensi dari Pimpinan karena mengambil resiko terlalu besar.
“Persiapan sudah siap, dokter.” Suster Eva menghampiri dokter Leddy yang terlihat ragu untuk melakukan tindakan itu.
Setelah memantapkan hatinya, dokter Leddy melirik suster Maya dan memberi isyarat kepadanya. Suster Maya mengangguk dengan pasti dan berjalan ke sudut ruangan untuk menyalakan lampu tanda operasi. Suster Eva meletakkan kain Linen ke wajah pasien yang akan di operasi.
“Scapel.” dokter Leddy meminta pisau operasi kepada suster Eva dan memulai pembedahan itu.
Dengan penuh hati-hati, dokter Leddy merobek sedikit demi sedikit bagian bawah matanya. Jika ceroboh, maka operasi akan gagal karena beling itu tepat di bawah matanya yang dekat dengan bola mata. Darah mengalir saat dokter Leddy membedah bagian itu yang kemudian dibersihkan oleh suster Eva.
“Forceps.” suster Eva memberikan alat operasi yang diminta dokter Leddy untuk membuat luka bedah sedikit menganga, agar memudahkannya untuk mengangkat benda yang bersarang di wajahnya itu.
“Pinset,”
Leddy meraih pinset yang diberikan suster Eva, dengan berhati-hati ia mengangkat beling itu agar tak terjadi pendarahan. Namun, semua di luar ekspetasinya, saat beling itu terangkat darah di wajah itu muncrat ke muka Leddy. Ia terkejut dengan noda darah yang menempel di wajahnya. Dengan sigap suster Eva membersihkan noda darah itu dan keringat dokter Leddy.
“Dokter, baik-baik saja?” tanyanya pelan yang diikuti anggukan dokter Leddy.
“Kita lanjutkan,” ucapnya sembari meletakkan beling itu di baki steril.
“Dokter, pimpinan akan segera datang.”
Leddy terkejut mendengar bisikan suster Maya tentang kedatangan pimpinan. Ia menelan ludahnya dan menatap podium yang bersebelahan dengan ruang operasi, hanya kaca sebagai pembatasnya. Leddy menatap pimpinan yang melotot tajam kearahnya.
“Semua akan baik-baik saja, sayang. Kamu pasti bisa, karena kamu wanita yang kuat.” Suara ibunya menggema ditelinganya, Leddy kembali fokus pada pasien yang ada di depannya.
Dibulatkan tekad, dimantapkan hatinya lagi untuk menyelamatkan pasiennya, “Bantu aku dengan doamu, Ibu,” lirihnya dalam hati. Ia menekan luka itu dan menjepitnya dengan suture forceps agar memudahkan proses penjahitan.
“Dokter, detak jantungnya lemah,” ucap suster Maya yang bertugas untuk memantau pasien monitor.
Pimpinan yang mendengar itu meminta dokter Farhan untuk menghentikan tindakan dokter Leddy. “Cepat hentikan gadis itu,” ucapnya geram.
“Kita beri dia waktu untuk menyelesaikan tugasnya.” Dokter Farhan masih setia memandang Leddy yang berusaha untuk menyelesaikan tugasnya.
“Aku bisa ibu, aku pasti bisa. Aku berjanji padamu untuk menolongnya apapun yang terjadi, restui aku ibu, doakan agar putrimu ini berhasil menyelesaikan tugas berat ini,” Batin Leddy.
Meskipun ia seorang dokter, tapi hatinya mudah rapuh ketika melihat orang sekarat di depannya. Ia kembali fokus, ia mengaktifkan defibrillator agar bisa mengembalikan irama jantung pasiennya ke fase normal. Usahanya tidak sia-sia, detak jantungnya kembali normal.
“Syukurlah.” Leddy bernapas lega dan menyeka keringat dan air mata yang sempat menetes.
“Kita lanjutkan, dokter?” tanya suster Eva.
“Kita bisa suster, kita pasti bisa. Mari kita selesaikan,” Balas Leddy yang diikuti senyuman dari suster Eva.
Ia mulai menjahit luka itu dan dilanjutkan oleh suster Eva. “Kamu lanjutkan, aku tau kamu bisa,” lanjutnya sembari meninggalkan ruang operasi.
Selepas keluar dari ruang operasi, Leddy melepas masker yang menutup hidungnya dan bergegas ke ruang ganti. Namun, ia dicegat oleh pimpinan yang tengah meredam amarah.
“Kenapa kamu melakukan itu, dokter Leddy?” tanyanya dengan mata melotot.
“Aku melakukan apa?” balas Leddy dengan tenang. Karena merasa tidak melakukan kesalahan, ia membuang muka ke kanan.
“Saya tunggu surat pengunduran mu 2 jam lagi.” Pimpinan yang kesal dengan sikap Leddy yang tak mengacuhkan, malah memecat dokter Leddy tanpa alasan.
/0/6203/coverorgin.jpg?v=20250120175042&imageMogr2/format/webp)
/0/16704/coverorgin.jpg?v=d5c2877c62f02be8cddc10bb73713c32&imageMogr2/format/webp)
/0/21133/coverorgin.jpg?v=2b3e2c16ec5b819069c407f4a87beb9d&imageMogr2/format/webp)
/0/8077/coverorgin.jpg?v=8297417fcfcc55e675e7a5898da132f4&imageMogr2/format/webp)
/0/7597/coverorgin.jpg?v=cefc29f6d11655747ae502fe3d49070f&imageMogr2/format/webp)
/0/6054/coverorgin.jpg?v=cd2cbe497d2e4b6dd12ac5c53834a548&imageMogr2/format/webp)
/0/17322/coverorgin.jpg?v=42ab220d18228ed2cbfbbe34b318616c&imageMogr2/format/webp)
/0/6480/coverorgin.jpg?v=7b42e334b6b42ad5c0d3092eaacb4684&imageMogr2/format/webp)
/0/5817/coverorgin.jpg?v=5ef438976c051573a4e21b55f5f410c1&imageMogr2/format/webp)
/0/4346/coverorgin.jpg?v=e99ad841c1d7ed14fd14bd07f0817b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/7027/coverorgin.jpg?v=75220ee91a5a06d65d76a3fd76c4fce3&imageMogr2/format/webp)
/0/15065/coverorgin.jpg?v=28936aea89b55535db921173a459096c&imageMogr2/format/webp)
/0/15780/coverorgin.jpg?v=4dceae18cd8653a26ddcb313f48d3eec&imageMogr2/format/webp)
/0/13100/coverorgin.jpg?v=afe254af17e871e6088cf43bee5fc044&imageMogr2/format/webp)
/0/17365/coverorgin.jpg?v=6db8622c3069ac6f74d1e2e5fb155f63&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=83f6dd3af71ea3068b6d2868bc1debf9&imageMogr2/format/webp)
/0/2562/coverorgin.jpg?v=1c0bc876cf31e2917d8e16ad7eb33bc5&imageMogr2/format/webp)
/0/5715/coverorgin.jpg?v=a434b913e9c44fad1ab8c1500c38b6d6&imageMogr2/format/webp)
/0/4247/coverorgin.jpg?v=084a3a9b57319d8195e2577f605c01bc&imageMogr2/format/webp)