Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Cinta Sang Dokter Pujaan

Terjerat Cinta Sang Dokter Pujaan

QNad

5.0
Komentar
151
Penayangan
10
Bab

Leddy harus rela kehilangan pria yang dicintainya demi kembali ke wanita yang menjadi masa lalu dari pria itu. Meski terasa sangat sakit dan hanya dijadikan pelampiasan saja, nyatanya Leddy tidak setegar yang dikira. Dia depresi dan mengalami kecelakaan yang membuat ia pergi untuk selamanya. Hal itu yang membuat sahabat sekaligus saudara Leddy menjadi murka. Metha tidak terima dan ingin membalaskan dendam nya pada mereka yang telah menyakiti Leddy. Namun, Metha tak bisa melakukan hal itu karena sudah ada orang lain yang terlebih dahulu melakukannya.

Bab 1 Kenangan

Hujan begitu derasnya mengguyur seluruh kota Jakarta, beberapa manusia kalang kabut mencari tempat berteduh agar tak terkena hujan. Terlihat seorang gadis cantik, rambut panjang terurai dengan mata sipit dan senyum yang menawan, tengah berdiri di teras rumah sakit Harapan Jaya menatap langit yang mendung karena hujan. Ia memejamkan matanya seakan menikmati setiap rintik hujan yang membawanya pada masa lalu yang penuh kebahagiaan. Setiap detik bahkan setiap menit ia sangat merindukan sosok yang sangat ia cintai, cinta pertama yang ia kenal sejak lahir, namun takdir berkata lain.

Sosok itu malah pergi meninggalkan dirinya saat masih berusia 17 tahun. Saat di mana dirinya membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah, dimanja ayah dan dipeluk ayah. Harapan itu harus kandas ditangan seorang pelakor, wanita yang tega merebut suami ibunya, wanita yang tega merebut kebahagiaan seorang anak, wanita yang telah merampas semua harapannya.

Sebulir air hangat menetes kepipinya yang mulus, ia membuka matanya yang memerah karna menangis merindukan sosok ayahnya. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca, ia menutup mulutnya dengan punggung tangan kanannya, berharap hujan menutupi semua kesedihan yang tengah ia rasakan.

"Dokter, ada pasien yang harus ditangani sekarang." seseorang baru saja mengagetkannya dengan tergesa-gesa

Segera dihapusnya air mata dan ia pun menoleh ke sumber suara "Bukankah Dokter Arman yang bertugas hari ini?" tanya gadis itu

"Dokter Arman di Singapura, Dok. Beliau sedang seminar dengan dokter senior."

"Kenapa tidak memanggil Dokter Metha saja?"

"Dokter Metha sedang berada di luar kota, Dokter."

Gadis itu kembali menatap jalanan yang basah akibat hujan deras tadi. Meski hujan mulai reda, ia bahkan enggan untuk melangkah dari sana. Niatnya untuk mencari sang ayah kembali ia urungkan, mengingat wajah wanita iblis yang tega merampas kebahagiaannya. Dendam ibunya yang belum sempat ia balaskan, kebenciannya pada wanita itu melebihi kebenciannya pada sang ayah. Meski rindu, terpaksa disembunyikan. Gadis itu tak mau terlihat lemah dimata orang yang mengenalnya, ia ingin terlihat kuat meski hatinya hancur.

"Dokter, pasien baru saja mengalami kecelakaan dan butuh penanganan sekarang," lanjut suster Eva dengan raut muka khawatir.

"Baiklah, Sus. Lima menit lagi aku ke dalam." Gadis itu berkata tanpa menoleh ke belakang.

Pandangannya tertuju ke seberang jalan yang terdapat taman kota yang asri dan sejuk. Banyak anak-anak yang bermain di sana setelah hujan reda. Gadis itu mengusap lembut pipinya yang kembali dibanjiri air mata dan meninggalkan tempat ia berdiri semula.

Leddy Andriani, dokter muda yang cantik dan menawan ini tengah berjalan di lorong rumah sakit tempat ia bekerja. Leddy menuju ruangannya untuk mengambil beberapa alat untuk memeriksa pasien dan melangkah menuju IGD tempat pasien yang baru mengalami kecelakaan. Dokter Leddy segera melakukan pemeriksaan akustik dengan menggunakan Stetoskop, matanya terbelalak mendapati detak jantung pasiennya begitu lemah.

"Suster, segera persiapkan ruang operasi. Kita harus melakukan tindakan cepat untuk pasien ini!" perintahnya pada suster Eva

"Tapi, Dok. Apa kita tidak meminta persetujuan dulu dari keluarganya?" suster Eva menatap dokter Leddy dengan penuh tanda tanya.

"Apakah pasien diantar keluarganya?"

"Tidak dokter, pasien hanya diantar supir taxi." ia menatap supir itu dengan sudut matanya.

"Kalau begitu, kita tidak perlu menunggu keluarganya. Pasien harus segera ditolong." Leddy menatap suster Eva dengan penuh keyakinan.

"Baik, Dok."

Suster Eva berlalu meninggalkan ruangan itu begitu pun dengan dokter Leddy yang bergegas ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian operasi, lengkap dengan sarung tangan dan masker menutup hidung.

Setelah persiapan operasi selesai, suster Eva dan beberapa suster lainnya mendorong bed pasien ke ruang bedah. Di sana pasien dipasangi nebulizer untuk membantu pasien bernapas selama proses operasi dan beberapa alat lainnya seperti electrosurgical unit yang berfungsi untuk mengurangi keluarnya darah yang akan mengganggu proses operasi nantinya.

Sebab pasien mengalami luka yang cukup parah akibat kecelakaan yang merenggut seluruh anggota keluarganya. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan dihantam truk yang melintas dari arah yang berbeda. Beling kaca mobil itu tertancap tepat mengenai bagian wajah bawah mata kirinya, yang mengharuskan dokter Leddy untuk mengambil tindakan nekat ini.

"Semua siap?" Dokter Leddy baru saja memasuki ruangan itu setelah mensterilkan pakaian dan tangannya.

Meski gugup, Leddy berusaha untuk menolong pasiennya yang malang itu. Bahkan, ia siap menerima konsekuensi dari Pimpinan karena mengambil resiko terlalu besar.

"Persiapan sudah siap, dokter." Suster Eva menghampiri dokter Leddy yang terlihat ragu untuk melakukan tindakan itu.

Setelah memantapkan hatinya, dokter Leddy melirik suster Maya dan memberi isyarat kepadanya. Suster Maya mengangguk dengan pasti dan berjalan ke sudut ruangan untuk menyalakan lampu tanda operasi. Suster Eva meletakkan kain Linen ke wajah pasien yang akan di operasi.

"Scapel." dokter Leddy meminta pisau operasi kepada suster Eva dan memulai pembedahan itu.

Dengan penuh hati-hati, dokter Leddy merobek sedikit demi sedikit bagian bawah matanya. Jika ceroboh, maka operasi akan gagal karena beling itu tepat di bawah matanya yang dekat dengan bola mata. Darah mengalir saat dokter Leddy membedah bagian itu yang kemudian dibersihkan oleh suster Eva.

"Forceps." suster Eva memberikan alat operasi yang diminta dokter Leddy untuk membuat luka bedah sedikit menganga, agar memudahkannya untuk mengangkat benda yang bersarang di wajahnya itu.

"Pinset,"

Leddy meraih pinset yang diberikan suster Eva, dengan berhati-hati ia mengangkat beling itu agar tak terjadi pendarahan. Namun, semua di luar ekspetasinya, saat beling itu terangkat darah di wajah itu muncrat ke muka Leddy. Ia terkejut dengan noda darah yang menempel di wajahnya. Dengan sigap suster Eva membersihkan noda darah itu dan keringat dokter Leddy.

"Dokter, baik-baik saja?" tanyanya pelan yang diikuti anggukan dokter Leddy.

"Kita lanjutkan," ucapnya sembari meletakkan beling itu di baki steril.

"Dokter, pimpinan akan segera datang."

Leddy terkejut mendengar bisikan suster Maya tentang kedatangan pimpinan. Ia menelan ludahnya dan menatap podium yang bersebelahan dengan ruang operasi, hanya kaca sebagai pembatasnya. Leddy menatap pimpinan yang melotot tajam kearahnya.

"Semua akan baik-baik saja, sayang. Kamu pasti bisa, karena kamu wanita yang kuat." Suara ibunya menggema ditelinganya, Leddy kembali fokus pada pasien yang ada di depannya.

Dibulatkan tekad, dimantapkan hatinya lagi untuk menyelamatkan pasiennya, "Bantu aku dengan doamu, Ibu," lirihnya dalam hati. Ia menekan luka itu dan menjepitnya dengan suture forceps agar memudahkan proses penjahitan.

"Dokter, detak jantungnya lemah," ucap suster Maya yang bertugas untuk memantau pasien monitor.

Pimpinan yang mendengar itu meminta dokter Farhan untuk menghentikan tindakan dokter Leddy. "Cepat hentikan gadis itu," ucapnya geram.

"Kita beri dia waktu untuk menyelesaikan tugasnya." Dokter Farhan masih setia memandang Leddy yang berusaha untuk menyelesaikan tugasnya.

"Aku bisa ibu, aku pasti bisa. Aku berjanji padamu untuk menolongnya apapun yang terjadi, restui aku ibu, doakan agar putrimu ini berhasil menyelesaikan tugas berat ini," Batin Leddy.

Meskipun ia seorang dokter, tapi hatinya mudah rapuh ketika melihat orang sekarat di depannya. Ia kembali fokus, ia mengaktifkan defibrillator agar bisa mengembalikan irama jantung pasiennya ke fase normal. Usahanya tidak sia-sia, detak jantungnya kembali normal.

"Syukurlah." Leddy bernapas lega dan menyeka keringat dan air mata yang sempat menetes.

"Kita lanjutkan, dokter?" tanya suster Eva.

"Kita bisa suster, kita pasti bisa. Mari kita selesaikan," Balas Leddy yang diikuti senyuman dari suster Eva.

Ia mulai menjahit luka itu dan dilanjutkan oleh suster Eva. "Kamu lanjutkan, aku tau kamu bisa," lanjutnya sembari meninggalkan ruang operasi.

Selepas keluar dari ruang operasi, Leddy melepas masker yang menutup hidungnya dan bergegas ke ruang ganti. Namun, ia dicegat oleh pimpinan yang tengah meredam amarah.

"Kenapa kamu melakukan itu, dokter Leddy?" tanyanya dengan mata melotot.

"Aku melakukan apa?" balas Leddy dengan tenang. Karena merasa tidak melakukan kesalahan, ia membuang muka ke kanan.

"Saya tunggu surat pengunduran mu 2 jam lagi." Pimpinan yang kesal dengan sikap Leddy yang tak mengacuhkan, malah memecat dokter Leddy tanpa alasan.

Dokter Farhan yang berada di sana kaget mendengar pimpinan yang dengan cepat mengambil keputusan memecat dokter terbaik di rumah sakit itu. "Tapi, kenapa dipecat, Pak?" tanyanya tak percaya.

"Aku tidak melakukan kesalahan apapun, lantas mengapa aku harus memberikan surat pengunduran diri itu." Leddy menatap pimpinan tajam.

"Kamu mengambil keputusan yang bisa membahayakan nyawa pasien. Kenapa tidak menghubungi dokter senior dulu, apa kamu pikir kamu sudah hebat dengan melakukan tindakan berbahaya tadi?" bentaknya.

Leddy tersenyum sinis dan melangkah pelan mendekati pimpinan yang tengah berkacak pinggang. "Apa kamu pikir aku dokter ceroboh? Atau kamu sengaja mencari kesalahan agar dapat menyingkirkanku dari sini?" Bisiknya pelan.

"Dengar pimpinan yang terhormat, aku tidak akan menyerahkan surat itu," ucapnya berlalu.

"Kau akan menyesal Leddy," teriak pimpinan yang mengalihkan seluruh pandangan karyawan dan pasien yang berlalu lalang.

Leddy menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap pimpinan yang telah mengangkat bendera perang dengan dirinya. "Benarkah? Seharusnya Bapak berpikir dulu sebelum bertindak, jangan membuat amarahku memuncak. Bapak tahu sendiri, kan? Jika aku sudah marah, semua rahasia Bapak pasti akan diketahui oleh seluruh dunia," ucapnya sembari mendekat.

"Seharusnya kamu bersyukur aku masih peduli denganmu. Berbeda dengan ayahmu yang menghilang entah kemana."

Pernyataan pimpinan berhasil membuat Leddy terluka, bahkan luka lama itu kembali menganga. Ia kembali menatap pimpinan yang tersenyum kearahnya, tangannya mengepal ingin memukul wajah pimpinan yang terlihat menjijikkan itu. Namun, dokter Farhan menahan tangannya yang gemetar.

"Lain kali jangan mengambil tindakan yang bisa membahayakan nyawa pasien," bisiknya.

"Lantas, apa kabarnya dengan ibuku? Bapak bahkan membiarkannya sekarat di UGD tanpa ada penanganan, Bapak pikir aku tidak tahu? Aku tahu semuanya, Bapak sengaja membunuh ibuku agar bisa merebut harta kekayaan kakek yang seharusnya jadi milikku," Teriak dokter Leddy yang meluapkan semua amarah yang selama ini dipendamnya.

Bibirnya bergetar, tangisnya menjadi jadi mengingat sang ibu yang harus meregang nyawa ditangan pamannya sendiri. Paman yang selama ini jadi inspirasinya, paman yang begitu disayanginya, paman yang selalu ada saat dirinya membutuhkan sosok ayah. Namun, kenyataan pahit itu harus diterimanya, bahwa pamannya lah yang telah membunuh ibunya, pamannya yang memisahkan ia dengan ibunya.

"Aku melakukan tindakan yang benar, Paman. Aku tidak mau yang terjadi pada ibuku, juga terjadi pada orang lain," lanjutnya terisak-isak.

Kali ini suara Leddy seperti tercekat, ia menutup wajahnya dan kemudian menghapus air mata itu. "Dokter senior tidak ada di sini, apa aku harus melihat dia meregang nyawa seperti halnya ibuku? Maaf Paman, jika itu yang Paman inginkan aku tidak bisa." Leddy berbalik meninggalkan pimpinan bersama dokter Farhan yang menatap punggungnya menghilang dilorong rumah sakit.

***

Leddy berjalan gontai memasuki ruang kerjanya, tangisnya bahkan belum reda. Air mata itu terus saja mengalir ketika melihat frane foto ibunya di atas meja kerjanya. Leddy sosok anak yang sangat menyayangi ibunya, bahkan ia tahu ibunya tengah bersedih saat ditinggal ayahnya.

Ia meraih frane itu dan memeluknya erat, "Ibu," isaknya.

Tanpa ia sadari ada sepasang mata yang tengah menatapnya dari luar. Leddy saat ini sangat merindukan ibunya, ia merindukan kasih sayang sang ibu, merindukan kekonyolan ibunya, semua ia rindukan. Selama ini ia menahan tangisnya meski ia merindukan kenangan itu, "Bawa aku pergi , Ibu," lirihnya seketika mengusap foto ibunya yang tersenyum.

Ponselnya bergetar menandakan pesan WA masuk, ia meraih benda itu sembari mengusap pipinya yang dibanjiri air mata.

"Sayang aku di luar, kamu sudah selesai bertugas, kan?"

Ia meletakkan kembali ponselnya dan menatap frane foto ibunya, "aku janji akan membalaskan dendammu Ibu, tunggu saja. Akan kupastikan bajingan itu mendapat balasan yang setimpal," batinnya.

Leddy kemudian keluar dari ruangannya dan menuju parkiran. Di sana ia melihat kekasihnya menunggu dirinya, gadis itu tersenyum ketika Mahe pacar Leddy melambaikan tangan kearahnya.

"Sayang, maaf, aku tadi ada operasi," ucapnya ketika menghampiri Mahe.

"Iya, sayang. Aku mengerti, kok. Sampai malam pun aku pasti menunggu," balas Mahe dengan sebuah senyum yang berhasil membuat hati Leddy meleleh.

"Kita jadi, kan, mencari ayahmu?"

Perkataan Mahe membuat senyum di wajah Leddy kembali memudar, "lain kali saja, sayang. Aku lelah," ucapnya sembari masuk ke dalam mobil Mahe.

***

Senja pun datang, matahari tak lagi menampakkan diri setelah berganti malam yang penuh dengan bintang. CRV putih tampak melaju membelah jalan kota Jakarta yang ramai dengan kendaraan lainnya berlalu-lalang. Mahe masih setia memandangi wajah gadisnya dan sesekali melirik ke depan agar mobilnya tidak oleng.

"Apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Mahe yang memecah keheningan. Sedari tadi, mereka hanya diam tanpa ada yang berani membuka percakapan terlebih dahulu.

Leddy mengangguk pelan, "aku yakin." Ucapnya tanpa menoleh sedikit pun.

Mahe paham sekali dengan keadaan Leddy saat ini, ia hanya perlu menyokong gadis itu agar Leddy bisa melupakan semua kesedihannya. Sejak beranjak dari rumah sakit tadi, Leddy menangis di dalam mobil Mahe yang membuat pria itu bingung. Bahkan, bertanya pun Mahe tak mampu. Mahe ingin memberikan ruang pada Leddy untuk menumpahkan semua rasa yang berkecamuk di dalam hatinya.

"Kita makan dulu, ya?" Mahe kembali bersuara

"Aku tidak lapar."

"Aku takut kamu sakit, Leddy. Sedari tadi kamu belum makan, aku nggak mau terjadi apa-apa padamu." Mahe terlihat khawatir.

"Aku lelah, Mahe. Aku mau pulang, tolong jangan paksa aku." Leddy menoleh dengan mata berkaca-kaca, kelopak matanya terlihat sembap, entah ia sedih dengan ucapan pamannya atau ia merindukan ibunya.

"Baiklah."

Mahe melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Leddy. Rumah yang terletak di komplek perumahan elit dengan corak batik warna merah keemasan. Leddy bergegas turun dari mobil Mahe ketika mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya.

"Kamu istirahat, ya. Jangan memikirkan apapun lagi, kamu harus jaga kesehatan. Aku sayang kamu." Mahe mengecup lembut kening Leddy.

"Hati-hati, ya." Balas Leddy yang berusaha memberikan senyum terbaiknya.

***

Leddy masuk ke dalam rumah saat mobil Mahe menghilang dari pandangannya. Dengan raut wajah yang sedih, Leddy menuju kamarnya dan merebahkan diri di kasur empuk miliknya untuk melepas lelah. Pikirannya kacau dan menerawang menatap langit-langit kamar yang dihiasi bintang kecil berkelip-kelip hasil dekorasi ibunya. Sebulir air mata sempat menetes meratapi kehidupannya yang sekarang. Namun, detik itu juga langsung dihapusnya.

Leddy kemudian bangkit dari kasurnya dan menuju ke jendela kamar. Gadis itu menatap halaman rumah yang sering jadi tempat bermain baginya dan juga sang ayah. Namun, kini hanya tinggal kenangan yang tersisa dalam hidupnya, gadis itu tak lagi merasakan indahnya kasih sayang dari seorang ayah sejak perempuan itu hadir. Kehidupannya berubah total karena wanita itu, wanita yang telah merampas kebahagiaannya. Masa lalu ayahnya adalah seorang pengusaha barang antik yang bisa dibilang sukses, beliau memiliki rekan kerja yang banyak. Bahkan, cabang perusahaannya ada di mana-mana termasuk luar negri, sekarang ayahnya menghilang entah ke mana.

Leddy menutup gorden, lalu duduk di kursi, dia mengambil album kenangan di dalam laci meja riasnya. Sudah lama dia tidak melihat album itu, dibukanya album yang tampak usang dan berdebu itu, kemudian dia tersenyum tatkala melihat foto kebersamaannya dengan ayah dan ibunya.

"Ibu, andaikan ibu ada di sini, pasti ibu nggak akan membiarkan air mata ini menetes, Bu. Semuanya jahat, nggak ada satu pun yang mengerti aku. Bantu aku untuk menapaki Bumi yang kejam ini, Bu, aku mohon bantu aku." Leddy menangis ketika melihat foto ibunya yang tengah membersihkan lukanya akibat jatuh dari sepeda.

***

Seulas senyum tergambar jelas di wajah Mahe, sekarang pria itu sedang menikmati udara segar malam dari balkon. Kedua tangannya menggenggam pembatas pagar yang terbuat dari stainless. Mahe memandang langit yang enggan menampilkan hiasannya, udara yang dingin membawa pikirannya ke mana-mana, pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Leddy. Pertemuan tak di sengaja saat dirinya depresi mengetahui calon istrinya mengalami kecelakaan. Sekilas terlintas wajah calon istrinya yang tengah menari-nari di dalam benaknya.

"Kamu di mana, sayang?" batinnya

"Bantu aku agar bisa melupakanmu. Sejujurnya aku masih mencintaimu."

Tanpa disadarinya, ada seseorang yang sedang menunggu panggilan masuk darinya. Mahe menghela napas panjang, gerimis datang membasahi jalanan perlahan-lahan. Mahe memutuskan untuk berpindah tempat meninggalkan balkon menuju kamarnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku