Rani dan Rangga
"Kamu hanya punya satu kesempatan terakhir, Rani. Satu kesempatan saja. Tidak ada lagi yang kedua. Ini terakhir kalinya kukabulkan permintaanmu,.."
Aku mendengar sayup-sayup suara lelaki tua yang berada di kejauhan namun terasa begitu jelas semua kata-kata terucapkan.
"Apa maksudmu yang terakhir?"
"Kamu telah banyak meminta padaku selama hidup...kini waktumu telah habis di dunia,..."
"Ja...jadi, aku sudah mati saat ini? Ttta, tapi..."
"Tidak ada lagi tawar menawar untukmu, Rani. Telah kuberikan semua yang kamu mau ketika kita masih hidup, dan kini di alam ini aku tidak bisa lagi memenuhi semua permintaanmu,"
"Kita? Apakah aku mengenalmu?" kucoba untuk mengingat suara pria tua yang semakin menjauh itu.
"Apakah sebelumnya aku pernah bertemu denganmu?"
"He he he... Kamu lupa denganku kah Rani? Dengan penampakanku ini?"
Tiba-tiba suara itu menguat kembali dan mendekatiku. Aku membalikkan badan hingga tampaklah sosok Pakdhe, lelaki tua yang telah lama kuanggap sebagai Pakdhe-ku sendiri. Aku begitu heran dan bingung mengapa sampai tidak kukenali suaranya di dunia serba membingungkan ini.
"Padahal aku belum lama meninggalkanmu," suara itu kini mewujud menjadi sesosok pria berperawakan tambun. Rambutnya yang keriting telah memutih semua dan tawanya yang khas menertawakanku.
"Ha ha haaaa... Kamu seharusnya belum sampai disini, Rani. Ayo, kembalilah ke dunia. Ku nerikan ku satu kesempatan terakhir,"
"Pakdhe? Pakdhe kenapa ada di sini..."
"Sudah jangan banyak bertanya. Kamu di sini masih belum waktunya. Ayo kembalilah ke dunia lagi dan wujudkanlah impianmu,"
"Impian apa, Pakdhe? Aku kangen bercerita pada Pakdhe... Seperti dulu lagi ketika,.."
"Hooop!!! Sudahlah. Air matamu semua telah kuhitung sejak awal mula disini. Sekarang jangan lagi banyak berbicara, akan kuminta Penjaga untuk membawamu kembali. Temuilah dia. Dan selesaikan yang telah kalian mulai. Sumpah itu tetap berlaku hingga kalian berdua kembali ke sini."
Aku tak bisa menahan tangisku lagi dan ingin memeluk Pakdhe yang tidak sempat ku temui kala akhir hayatnya di dunia. Aku pun masih belum bisa mencerna perkataannya yang tidak sepenuhnya kupahami, dan ketika aku ingin mendekatinya mendadak sosoknya menghilang tanpa jejak.
"Pakdhee... Mengapa Pakdhe pergi lagi? Aku kangen Pakdhe,...!!!"
Aku menangis tersedu-sedu menyesali kepergian beliau untuk kedua kalinya di alam serba tak jelas ini. Aku mulai mencoba menyeka air mataku ketika kembali terdengar suaranya untuk yang kedua kalinya.
"Aku telah meminta para Penjaga untuk mengembalikanmu ke dunia. Waktumu belum selesai. Jangan lagi mencariku di sini. Aku akan selalu menjagamu meski tidak bisa kamu temui lagi. Ingat, kalian harus menyelesaikan apa yang telah kalian mulai... Carilah Rangga untuk terakhir kalinya!"
Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba kepulan asap putih mulai mendekati kakiku, naik menuju pinggangku dan mulai naik menutupi tubuhku hingga ke tenggorokan dan semakin terasa hangat...hingga menutup kedua mataku dan tak bisa kulihat apapun lagi...
...
Aku membuka mataku perlahan meski terasa sangat berat sekali. Perlahan pula ku coba memperhatikan sekitarku, ternyata aku masih di kamar perawatan rumah sakit. Aku tak ingat apa yang terjadi sebelumnya, yang jelas lengan kiri ku masih terpasang infus dan terasa nyata sekali sakitnya.
Berarti aku sudah kembali ke dunia!
Apakah yang terjadi padaku sebelumnya, aku belum mencoba untuk berpikir lebih lama ketika ku sadari jarum infus yang paling kubenci membatasi gerak lenganku. Ada apakah gerangan sehingga aku ada di ruangan ini, sendiri pula tanpa seorang pun yang menemani. Atau kemana mereka semua?
Aku mencoba mengingat semua kejadian yang telah kualami sebelum terakhir ingatanku kembali, namun kepalaku masih terasa berat dan pening tak terkira. Semakin kucoba untuk mengurutkan kembali semua ingatanku, semakin terasa sakitnya.
Kucoba untuk meraih air putih dalam botol yang ada di meja sebelah tempat tidurku. Rasanya hausku rupanya menjadi. Kutegakkan posisi dudukku dan mulai sedikit demi sedikit menghabiskan air minum yang tersisa. Habis!
Sambil menatap ruangan kamar yang kutempati sendirian ini dalam keheningan, aku mengusap mataku dan berulangkali kutepuk pipiku. Benarkah ini adalah dunia real yang kuhadapi saat ini, bukan dunia astral yang beberapa menit lalu kurasakan?
Ya, aku masih disini hingga semua mata dan pipiku selesai kutepuk-tepuk. Macam orang linglung saja sendirian aku di ruangan ini tanpa siapapun...dan bahkan dimana ponselku?
Kucoba menelusuri satu persatu ornamen di ruangan yang terasa dingin dan angkuh ini tanpa siapapun yang kukenal. Tetapi begitu kusadari, mengapa peralatan medis dan perabot di kamar ini terasa asing bagiku?
Tempat tidur di kamarku ini rasanya dari model yang kuno sekali untuk era millenial. Ranjangnya masih berpinggiran besi murah dengan pegas yang berbunyi setiap aku bergerak barang sedikitpun. Dan interiornya... Gambar dan tulisan yang ada di ruangan ini seperti tidak tercetak dari mesin digital yang biasa kutemui, malah seperti hanya dari huruf mesin tik saja. Dan jendela kamarku masih bertumpuk-tumpuk ala kaca nako rumahku yang lama, yang kini rasanya sulit kutemukan pada rumah jaman sekarang.
Terlebih ketika kulayangkan pandangan ke luar jendela. Lho, kok paviliun rumah sakitnya masih model lama dengan koridor yang panjang menuju kamar masing-masing pasien? Kok tidak masuk kategori modern minimalis seperti yang ku lihat sebelumnya di rumah sakit tempatku biasa berobat.
Aku mencoba mencermati keadaan lingkungan di sekitarku. Tidak mungkin, pikirku. Kemana semua orang berada? Sebuah rumah sakit tidak mungkin sedemikian terasa sepi dan hening seperti ini. Dan di mana ponselku? Ponselku!!!
Aku tidak menghiraukan infusku yang masih menancap. Kucoba mencari di bawah kasurku yang ternyata masih terisi kapuk, bukan busa pada umumnya. Sungguh terasa berat karena harus kuangkat dengan lengan kananku saja sementara yang kiri terikat infus. Hingga akhirnya aku menengok ke bawah ranjang dan sepasang mata bersinar dari bawah ranjang mengagetkanku.
Aku langsung refleks meloncat saking kagetnya dan ketakutan. Herannya jarum infusku lepas sendiri dari botolnya tanpa banyak drama. Dan tidak ada setetespun darah yang mengucur seperti biasanya saat aku harus berulangkali menahan sakit ketika hendak dimasukkan jarum infus.
Mengapa tidak ada darah yang menetes samasekali? Dan perlahan sinar itu mendekatiku yang tercekat tak bisa lagi bergerak saking takutnya. Tenggorokanku serasa tercekik ketika ingin mengucapkan satu kata yang seharusnya kuucapkan namun rasanya takkan berguna sebab kepada siapa aku harus meminta?
"Tt,..tolong,..!!!"
Aku hanya mampu berbisik perlahan sambil tersedu ketakutan ketika sinar itu mendekatiku dan mendadak semua terasa gelap dan berputar...
Sinar itu bergerak menyelimuti kakiku dan merambat naik ke wajahku... Perlahan tapi pasti kehangatan menutupi seluruh tubuhku dan rasanya sangat ringan sekali hingga akupun tak sadar lagi.
Ingin aku berteriak namun tak ada satu kata yang terucap. Sinar itu membungkus tubuhku dan membawaku terbang dari tempatku berbaring.
"Mari, ku kembalikan kamu ke dunia nyata lagi, Tuan Putri..." terdengar suara lain yang menyertaiku dalam perjalanan berbungkus cahaya itu.
Aku tak merasakan apapun ketika akhirnya membuka mata kembali. Akhirnya aku telah kembali ke kamarku yang tercinta!
Meski aku masih bertanya tanya siapakah sosok yang membawaku dalam perjalanan tadi...